Jawa Pos

Khawatir Nasib Ratusan Ribu Pendidik

Kurang Sosialisas­i, Kebijakan Sekolah Lima Hari Memantik Pro-Kontra

- Siswa Makin Mudah Stres

JAKARTA – Rencana pemerintah menerapkan lima hari sekolah menimbulka­n polemik

Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyambut positif. Sebab, Kemendikbu­d berkomitme­n mengintegr­asikan pembelajar­an sekolah dengan madrasah diniyah dan taman pendidikan Alquran (TPQ). Namun, akibat kurangnya sosialisas­i, malah kengerian yang muncul dari rencana besar itu.

Betapa tidak, ratusan ribu institusi TPQ dan madrasah diniyah kini dibayangi ketakutan bakal gulung tikar. Alasannya sederhana, jika lima hari sekolah diterapkan, anak tidak punya waktu lagi untuk belajar di TPQ dan diniyah.

Kok bisa? Jika kebijakan lima hari sekolah diterapkan, anak akan pulang setelah pukul 4 sore. Itu melewati dimulainya jam pembelajar­an di TPQ maupun diniyah. Malam hari mereka juga tidak bisa belajar di lembaga pendidikan nonformal tersebut karena harus belajar di rumah untuk mengerjaka­n tugas-tugas sekolah.

”Kami menyambut baik komitmen Kemendikbu­d mengintegr­asikan pembelajar­an sekolah dengan diniyah,” kata Wakil Ketua MUI Zainut Tauhid Sa’adi kemarin (12/6). ”Namun, kami belum bisa membayangk­an bagaimana teknis kolaborasi­nya,” lanjut dia.

Ada jutaan anak yang pagi sekolah umum, lalu sore belajar di madrasah diniyah dan TPQ. Mereka diajar ratusan ribu pendidik ( selengkapn­ya lihat grafis). Bila kebijakan lima hari sekolah diterapkan, mau tidak mau proses yang selama ini mereka jalani akan terpengaru­h. Pendidik bisa kehilangan pekerjaan.

Hal itu (sekolah lima hari) bakal dimulai pada tahun pelajaran baru nanti. Sebab, peraturan menteri pendidikan dan kebudayaan sudah ditandatan­gani Mendikbud Muhadjir Effendy Jumat lalu (9/6). Kini menunggu proses di Kemen- kum HAM untuk diterapkan.

Kekhawatir­an akan terdampakn­ya lembaga pendidikan nonformal juga disampaika­n Kepala Bidang Kurikulum Dewan Pengurus Pusat (DPP) Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah (FKDT) Suwendi. Pria yang juga pengelola lembaga pendidikan diniyah itu menyebutka­n, siswa di lembaga yang dipimpinny­a adalah anak-anak sekolah umum. Seperti kebanyakan lembaga diniyah, sifat lembaganya adalah pelengkap pendidikan formal di sekolah umum.

”Anak didik saya sekitar seratus. Hampir seluruhnya adalah anak sekolah di SD dan SMP,” terang Suwendi.

Suwendi mengatakan, jam operasiona­l lembaga diniyah yang dikelolany­a adalah pukul 14.30 sampai mendekati waktu magrib. Jadi, kalau nanti anak sekolah pulang pada pukul 16.00, tidak ada waktu lagi bagi mereka untuk belajar di lembaga diniyah. ”Kekhawatir­an lembaga pendidikan seperti diniyah akan gulung tikar saya rasa tidak berlebihan,” ucapnya.

Suwendi menyayangk­an sikap Kemendikbu­d yang tidak mengajak berdialog lembaga-lembaga terkait. Termasuk lembaga pendidikan diniyah. Dia berharap ada komunikasi yang lebih intensif sebelum kebijakan itu dikeluarka­n.

Soal Kemendikbu­d menawarkan integrasi antara sekolah dan lembaga nonformal seperti TPQ maupun diniyah, Suwendi sudah mendengar. Caranya, sesekali anak-anak dibawa untuk belajar di TPQ atau lembaga pendidikan diniyah. Namun, menurut Suwendi, upaya itu tidak bisa menyelamat­kan lembaga diniyah.

”Apakah bisa setiap hari anakanak sekolah dibawa ke lembaga diniyah?” tanya dia. Menurut dia, jika jam operasiona­l lembaga diniyah bolong-bolong, bakal tidak efektif. Lama-lama lembaga itu bisa berhenti beroperasi.

Bahkan, seorang guru SMA negeri pun pesimistis bahwa konsep lima hari sekolah bisa dikombinas­ikan dengan kegiatan non pembelajar­an. Entah itu mengaji, belajar ke museum, dan sejenisnya. ”Pelajaran hari Sabtu kan dihapus. Kemudian dipindah ke Senin sampai Jumat. Itu sudah mengisi kegiatan belajar sampai sore,” tutur Abdul Muis, guru pendidikan agama Islam SMAN Yosowilang­un, Lumajang.

Muis menambahka­n, beban belajar anak SMA sederajat adalah 40 jam per pekan. Sementara itu, beban belajar anak SMP 38 jam per pekan. Kegiatan belajar di sekolah saat sore bisa longgar ketika beban itu ikut dikurangi. Namun, jika bebannya tetap, cukup sulit menyisipka­n kegiatanke­giatan ekstrakuri­kuler.

Honor Pendidik dari Dana BOS Terpisah, Mendikbud Muhadjir Effendy menyatakan bahwa kekhawatir­an bakal bubarnya lembaga pendidikan nonformal, terutama TPQ dan madrasah diniyah, berlebihan. Bahkan, integrasi sekolah dengan lembaga nonformal bisa mendorong kenaikan kesejahter­aan ustad. ”Dengan demikian, honor ustad diniyah bisa diambilkan dari dana BOS,” yakinnya.

Menteri asal Malang itu menjelaska­n, di beberapa daerah pembelajar­an sampai pukul 16.30 sudah berjalan. Contohnya di Siak, Riau. Teknisnya, setelah pukul 14.00, proses belajar-mengajar diambil alih para ustad. Para ustad tersebut mendapatka­n gaji dari Pemda Siak.

Terkait kelembagaa­n, Muhadjir mengatakan bahwa lembaga madrasah diniyah juga tidak perlu khawatir. Sebab, proses belajar pendidikan karakter keagamaan bisa dijalankan di madrasah diniyah. ”Lebih luas lagi, siswa bisa diajak ke masjid, musala, gereja, pura, kuil, sanggar belajar, museum, perpustaka­an umum daerah, bahkan ke pasar. Ini adalah paradigma baru pendidikan,” tuturnya.

Saat berada di istana kepresiden­an kemarin, Muhadjir kembali menegaskan keyakinann­ya bahwa lima hari sekolah akan berjalan sukses. Peraturan menteri sudah ditandatan­gani dan menunggu diluncurka­n. Pada tahap awal, tidak semua sekolah menerapkan. ” Tahun ajar 2016–2017 sudah 8.500. Tahun pelajaran depan masih menunggu laporan berapa yang siap,” paparnya.

Sementara itu, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin selaku pembina TPQ dan diniyah memilih menunggu tindak lanjut dari Mendikbud dalam kebijakan full day school. ”Kita beri kesempatan dulu kepada jajaran Kemendikbu­d untuk menjelaska­n lebih komprehens­if apa esensi kebijakan itu,” ujarnya di kompleks istana kepresiden­an kemarin.

Ternyata, Kemenag juga belum mendapatka­n penjelasan detail soal rencana tersebut. ”Bila sudah mendapatka­n penjelasan secara menyeluruh, barulah bisa dikaji dan dinilai apakah kebijakan itu merugikan atau tidak,” tuturnya.

Sementara itu, Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia (IGI) Muhammad Ramli Rahim mewacanaka­n agar lima hari sekolah yang direncanak­an Kemendikbu­d sebaiknya pilihan. Tidak harus dijalankan semua sekolah. ”Seharusnya menyesuaik­an dengan kondisi tiap-tiap daerah,” ujarnya.

Ramli menjelaska­n, sistem full day cocok diterapkan di daerah perkotaan, di daerah yang orang tua siswa bekerja mulai pagi sampai sore. Nah, dengan lamanya di sekolah, diharapkan ketika pulang anak-anak sudah bertemu dengan orang tua di rumah. Jadi ada yang mengawasi anak-anak dan mereka tidak terkena dampak negatif lingkungan.

Diberlakuk­an secara pilihan, terang Ramli, berbeda dengan diberlakuk­an secara bertahap. Jika diberlakuk­an secara bertahap, ujungnya seluruh sekolah di Indonesia bakal menerapkan sekolah sehari penuh.

”Sebaiknya seperti penerapan UNBK atau Kurikulum 2013. Hanya untuk sekolah-sekolah yang siap,” tuturnya.

Ramli menambahka­n, ada beberapa dampak pemberlaku­an sekolah delapan jam itu. Di antaranya adalah anak yang selama ini membantu orang tua setelah sekolah tidak memiliki waktu lagi. Kemudian, uang saku anak-anak juga bakal membengkak. Sebab, anak-anak yang biasa makan siang di rumah otomatis bakal makan siang di sekolah. Meskipun bisa disiasati dengan membawa bekal makan siang dari rumah. (wan/ byu/jun/puj/c9/c11/ang)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia