Polri, Ulama, dan Pesantren
” PERJUANGANKU lebih ringan karena mengusir penjajah, perjuanganmu lebih sulit karena menghadapi bangsamu sendiri.”
Kutipan Presiden Pertama RI Soekarno itu sangat tepat dan kontekstual dengan situasi yang sedang kita hadapi. Betapa tidak, kita merasakan semakin tingginya intensitas ancaman kriminalitas dan instabilitas, mulai kejahatan konvensional sampai transnasional. Begitu pun friksi antaranak bangsa yang bernuansa SARA dengan spektrum sangat luas, mulai dunia maya hingga demo tandingan di jalan.
Kesadaran akan fenomena proxy war (perang perwalian) sungguh mengonfirmasi fakta-fakta di lapangan bahwa musuh nyata yang kita hadapi saat ini jauh lebih sulit karena merupakan bagian dari saudara-saudara kita sendiri. Syukur alhamdulillah, hadirnya Ramadan nan suci mampu menyejukkan situasi bangsa ini.
Saat ini malam Ramadan mulai diterangi bulan penuh, menandakan telah berlalunya setengah perjalanan bulan nan penuh barokah ini. Di dalam bulan suci ini, kita biasa melihat safari Ramadan digelar secara rutin sebagai bagian budaya dan tradisi umat muslim, institusi pemerintah, bahkan pejabat negara. Namun, ada yang lain pada safari Ramadan Sabtu (10/6) di Ponpes Pro- gresif Bumi Sholawat Sidoarjo yang dihadiri Kapolri.
Dengan mengangkat tema Mengukuhkan Kebinekaan dalam Menjaga Keutuhan NKRI, safari Ramadan kali ini lebih memberi nuansa implementasi keimanan ( hubbul wathon minal iman) yang konkret termanifestasi nyata di tengah kehidupan bangsa yang dilanda berbagai cobaan. Gubernur Soekarwo dalam sambutan pembukaannya menyampaikan dua hal penting mengenai Ramadan dan kemerdekaan bahwa sejarah membuktikan, pertama, keimanan dan cinta tanah air tidak dapat dipisahkan serta persatuan muslimin ( ukhuwah islamiyah) adalah simpul terkuat pengikat persatuan bangsa. Kedua, pesantren adalah basis perjuangan yang sejak dahulu kala terbukti menjadi bagian kekuatan terbesar bangsa Indonesia. Dua pokok pikiran tersebut, menurut Pakde Karwo, termanifestasi dalam sebuah momentum sejarah paling penting di Jawa Timur, yaitu pertempuran 10 November 1945 (Hari Pahlawan).
Sejalan dan menguatkan pendapat tersebut, Kapolri dalam sambutannya juga menegaskan bahwa tugas muslimin dalam menjaga persatuan dan kesatuan ( ukhuwah islamiyah dan ukhuwah wathoniyah) bukanlah sesuatu yang menurut pandangan sebagian kelompok mulai out-of-date. Bahkan, urgensinya senantiasa dan terusmenerus dibutuhkan dari generasi ke generasi. Setidaknya ada dua poin penting yang dapat disarikan dari arahan Kapolri. Pertama, bangsa Indonesia sudah sepatutnya memelihara persatuan dan kesatuan NKRI sebagai wujud rasa syukur kepada Allah SWT atas karunia segala potensi yang terkandung dalam bumi Nusantara dan atas anugerah kemerdekaan yang diberikan dan terjaga hingga saat ini.
Becermin pada situasi saat ini, sementara banyak negara yang berumur jauh lebih tua dari kita, seperti negeri-negeri di kawasan Arab, kini hancur luluh dilanda perang saudara. Indonesia diberi kekuatan untuk berhasil melewati berbagai cobaan dan rintangan yang datang silih berganti, baik dari rongrongan invasi asing maupun pengkhianatan ekstrem kiri dan kanan, seperti PKI, DI/TII, dan kelompok separatis lain.
Dewasa ini, potensi perpecahan semakin tajam mengancam sendisendi kehidupan bangsa langsung ke titik paling strategis kita, yaitu ideologi generasi muda. Ya tepat sekali, melalui penetrasi teknologi informasi, handphone, Android, atau media sosial yang langsung masuk ke rumah dan relung jiwa anak-anak kita nyaris tanpa filter. Hoax dan hate speech (ujaran kebencian) muncul hampir setiap saat menggempur dinding pertahanan ideologi Pancasila dan persatuan kesatuan bangsa.
Kedua, Kapolri menyadari bahwa salah satu sokoguru terkuat bangsa ini tertanam di lingkungan pesantren. Entitas itu yang melahirkan banyak pahlawan nasional dan benteng ideologi Islam Nusantara yang luwes dan toleran, menjadi kekuatan penyeimbang dari demokrasi yang mau tidak mau harus diadopsi Indonesia dalam pergaulan dunia.
Pemikiran itulah yang kemudian mendorong Kapolri menggelar safari ke pondok-pondok pesantren, baik di luar dan terutama dalam bulan Ramadan ini.
Kedekatan Polri dan ulama nyata sekali dirasakan semakin erat ketika ancaman terhadap toleransi dan kebinekaan muncul belakangan ini melalui berbagai aksi bela Islam dan ulama yang berimplikasi pada munculnya persepsi publik bahwa ada kerenggangan antara Polri dan ulama. Salah satunya dengan tudingan kriminalisasi yang dilakukan Polri kepada ulama. Namun, dengan fakta kedekatan Polri, ulama, dan pesantren dari tingkat nasional hingga akar rumput pesantren di pelosok negeri ini, rasanya safari Ramadan tahun ini menjadi antitesis dari berbagai opini, persepsi, dan tudingan kelompok tertentu akan kerenggangan Polri, ulama, dan pesantren. Belajar dari Rasulullah bahwa pendidikan bernegara ada sejak Piagam Madinah ( The First Constitution on The Earth-1H/622M) dilahirkan dengan pengamalan Alquran sebagai rahmatan lil alamin, bukan saja kepada penduduk muslimin, tapi semua pemeluk agama. Dan, didirikannya negara konsensus, bukan negara agama, Indonesia bisa lebih kuat menghadapi berbagai ujian ke depan yang semakin berat dan kompleks.
Semoga pula upaya Polri membina kedekatan dengan seluruh komponen bangsa, khususnya para ulama, dapat mengedukasi publik tentang bagaimana Polri bersikap netral dalam semua aspek penugasannya. Semoga Allah SWT memberikan barokah pada perjuangan Polri, ulama, dan pesantren untuk mengukuhkan persatuan dan kesatuan dalam bingkai NKRI. Amin allohuma amin.(*)