Libur Sekolah Sabtu-Minggu
ALANGKAH baiknya apabila upaya penerapan libur Sabtu Minggu untuk sekolah dipahami dengan tenang. Membayangkan dampak buruk yang bukan-bukan atas upaya visioner itu mengandung sikap kurang fair. Apalagi mengasumsikan sekolah sore diniyah akan gulung tikar. Tentu validitas imajinasi tersebut perlu dipikir dalam-dalam.
Sikap apriori atas upaya pembenahan sistem pendidikan di negeri ini jelas bukan sikap mendidik. Bagaimanapun, kepentingan siswalah yang harus jadi pertimbangan utama. Sekolah enam hari selama seminggu dirasakan makin mengurangi waktu bersama keluarga.
Ketika dinamika masyarakat kian cepat, nilainilai keluarga itu menjadi kian urgen. Kualitas dan kuantitas saat bersama ayah-bunda bagi anakanak usia sekolah jelas sangat penting. Apalagi, bangsa ini ingin menekankan pendidikan karakter. Jelas itu tak bisa dilakukan hanya dengan enam hari di sekolah, sementara bertemu ayah-bunda dalam keadaan terburu-buru dan sempit.
Kepentingan pihak guru juga perlu dipikirkan. Terutama guru yang berstatus aparatur sipil negara (ASN). Hak mereka perlu disamakan dengan para ASN lain. Begitu juga beban kerja mereka. Dari sisi pribadi, para guru itu juga para orang tua, yang perlu waktu berkualitas untuk bertemu anak-anaknya. Sebagaimana ASN lain yang sudah libur dua hari seminggu.
Masih banyak argumen yang disampaikan Mendikbud Muhadjir Effendy. Intinya tentang pembentukan karakter bangsa yang lebih integratif. Antara sekolah, keluarga, dan masyarakat. Integrasi inisiatif pendidikan oleh masyarakat (diniyah, kursus agama, olahraga, kesenian, dan keterampilan) dengan sistem sekolah itulah yang bisa diharapkan dengan sistem lima hari sekolah. Tak hanya memperpanjang jam pelajaran tentang kurikuler konvensional. Tetapi juga melengkapinya dengan kegiatan yang menggembirakan dan penuh pembentukan karakter manusia seutuhnya.
Sebaiknya langkah –yang konon sudah dibuatkan peraturan pemerintahnya– tersebut dipahami dengan nalar mendidik. Kepentingan siswa. Kepentingan guru. Kepentingan bangsa. Bukan dengan gumpalan ego orang dewasa yang tanpa bersedia mendengarkan. (*)