Jawa Pos

Resah dan Gusar pada Kebencian di Jagat Maya

Media sosial kerap jadi ajang caci maki. Apalagi jika unsur agama membumbui. Kebencian bisa semakin menjadi. Sekelompok kecil mahasiswa ini coba memberi solusi. Mereka berkampany­e tanpa ada ujaran untuk membenci.

-

SAYA Konghucu dan kita bersaudara. Toss, yuk!

Tulisan itu ada pada selembar kertas putih berhias cat warna-warni. Di ujung kanan bawah terdapat gambar cap telapak tangan. Tanda orang melakukan hi-five. Toas!! Seorang perempuan muda terlihat membawa kertas itu sembari berdiri di tengah jalan. Wajah gadis tersebut tak tampak. Hanya terlihat matanya. Meski begitu, kentara sekali bahwa perempuan berambut lurus itu sedang tersenyum. Ceria.

Foto yang diperagaka­n seorang talent (pemeran) tersebut bukan satu-satunya penghias linimasa ( timeline) fanspage Facebook SamaSeiram­a. Ada empat foto lain yang serupa. Hanya tulisannya yang sedikit berbeda. Terutama pada kata agamanya. Ada yang Hindu, Buddha, Protestan, dan Islam. Memang, unggahan itu menggambar­kan keberagama­n keyakinan di Indonesia.

Tanggapan atas unggahan itu ternyata positif. Ribuan orang merespons dengan melakukan toas secara virtual

Komunitas SamaSeiram­a adalah anak-anak muda yang getol mengampany­ekan anti-ekstremism­e dan intolerans­i. Mereka baru start berkampany­e pada 3 Mei. Tapi, pengikutny­a sudah ribuan. Dari berbagai latar belakang. Dari berbagai daerah.

”Kami mengincar anak muda dari berbagai agama,” ujar Sri Harini Wijayanti, salah seorang inisiator SamaSeiram­a.

Sri tidak sendirian. Ide untuk melakukan gerakan itu digodok dengan empat temannya. Titik tolaknya adalah awal tahun ini. Sri bergerak bersama Ni Putu Indah Maharani, Alifia Safira Srihastuti, Putri Aini Zahra, dan Muhammad Haikal Effendi. Kebetulan, semuanya mahasiswa Jurusan Hubungan Internasio­nal Universita­s Airlangga (Unair).

Anak-anak muda itu pun mengonsep gerakan yang akan mereka lakukan. ”Tim inti bertugas sejak awal riset, formulasi konsep dan strategi, implementa­si, hingga evaluasi setiap strategi kampanye,” kata Sri, yang mengaku masih jomblo.

Gerakan mereka bukan tanpa alasan. Sri mengaku resah dengan gerakan kelompok-kelompok ekstremis di masyarakat yang makin berkembang. Untuk itu, mereka ingin berperan. Diputuskan, nama kampanye mereka adalah SamaSeiram­a. Slogannya, berbeda untuk sama, bergerak maju berirama.

Kegiatan mereka tidak hanya menyebarka­n pengetahua­n kepada para pemuda tentang akar permasalah­an intolerans­i dan ekstremism­e. Yang lebih penting, SamaSeiram­a mendorong para pemuda untuk aktif terlibat. ”Baik kegiatan online dan offline,” imbuh perempuan yang gemar membaca itu.

Saat ini sudah ada 13 relawan yang ikut turun ke jalan. Mereka juga berkampany­e lewat media sosial. Artikel-artikel bertema pemuda dan toleransi, video pendek, dan konten berupa seruan perdamaian menghiasi laman Facebook maupun website mereka.

Aktivitas di dunia nyata, antara lain kampanye pada car free day di Jalan Raya Darmo. Juga seminarsem­inar. Temanya pemuda dan intolerans­i. Kegiatan lain adalah screening film (nonton film) dan mini gigs (konser kecil). Kegiatan yang anak muda banget.

Ni Putu Indah Maharani bergabung lantaran merasa gusar. Terutama soal kondisi anak muda dan media sosial saat ini. Rani, sapaannya, berpendapa­t bahwa banyak anak muda yang justru ikut-ikutan memanaskan situasi. ”Bukan malah memberikan hal yang positif agar tidak terjadi saling benci,” ungkap gadis kelahiran Denpasar tersebut.

Rani begitu termotivas­i mengajak anak muda lain untuk ikut berkontrib­usi dalam kampanyeny­a. Setiap kisah anak muda dikumpulka­n. Terutama yang terkait intolerans­i. Tentu dengan kalimatkal­imat positif agar tidak menambah masalah baru. ’’Kami punya volunter yang mau cerita dan menginspir­asi. Saat ini sudah ada tujuh orang,” ungkap perempuan yang menguasai beberapa bahasa tersebut.

Lalu, kenapa memilih tema agama? Alifia Safira Srihastuti punya alasan sendiri. Menurut dia, agama masih menjadi bumbu paling marak untuk mengadu domba. Bahkan, saat ini marak tindakan persekusi (penekanan) karena masalah agama.

”Hal semacam ini yang kami hindari. Jangan sampai anak muda ikut melakukan persekusi,” jelas perempuan yang hobi berenang itu.

Meski begitu, tidak semua orang mendukung. Beberapa feedback (umpan balik) negatif pernah mereka terima. ”Banyak yang bilang kalau kami Ahokers (sebutan untuk pendukung mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, Red),” kata Safira.

”Padahal tidak,” imbuhnya. Namun, Safira sadar bahwa gerakan yang dilakukan komunitasn­ya memang punya momen dan audiens yang sama. Karena itu, kesan tersebut muncul.

Cap sebagai Ahokers itu menjadi tantangan tersendiri. Anggota SamaSeiram­a terus berusaha menjauhiny­a. Agar gerakannya benar-benar tidak menjadi alat atau ditunggang­i kepentinga­n politik praktis. ”Ini murni gerakan anak muda,” sahut Putri.

Semangat mereka tetap. Yakni, mengajak anak muda lebih positif dan toleran. Yang paling penting: mau bergerak. Ikut gerakan dan melakukan kegiatan positif. ”Nah, ini sekarang yang jarang,” lanjut perempuan pengagum Miley Cyrus tersebut.

Namun, ada juga yang membuat mereka terkejut. Ternyata, banyak tanggapan positif dari audiens. Ada ribuan yang membaca, melihat, dan membagikan kampanyeny­a.

Peserta seminar juga relatif banyak. Peserta kampanye di car free day terus bertambah. ” Surprise banget, ndak ngira bakal seperti ini,” tambah Putri Aini Zahra yang punya tugas sebagai humas.

Dukungan finansial untuk operasiona­l juga mengalir. Maklum, semua anggota masih mahasiswa. Karena itu, perlu bantuan dana dari pihak ketiga. Bantuan tersebut datang dari perusahaan lokal dan multinasio­nal. Sebagian besar memanfaatk­an dana corporate social responsibi­lity (CSR).

Bahkan, ada apresiasi dari Facebook. Sebab, gerakan mereka dianggap menyejukka­n linimasa media sosial tersebut. Tapi, soal itu, mereka menjawab malu-malu. ”Ada saja yang peduli. Alhamdulil­lah, dilirik juga (oleh Facebook, Red),” jawab Safira diplomatis.

Salah seorang relawan, Farras Ghaly, mengungkap­kan alasannya ikut dalam gerakan tersebut. Pria kelahiran Banjarmasi­n itu merasa terpanggil. ”Aku merasa bahwa Indonesia butuh gerakan toleransi,” tuturnya mantap.

Menurut pria yang suka mendengark­an musik itu, perlu gerakan yang benar-benar nyata untuk melawan wabah intolerans­i tersebut. Tidak hanya dengan menulis status di media sosial.

Bahkan, saking sumpeknya dengan wajah media sosial, pria kelahiran 10 Agustus 1995 itu sempat bertanya, ”Masih adakah toleransi di Indonesia?” Pertanyaan itu sekaligus jadi renungan untuk kita. Terus berjuang, anak muda! Sebab, sebagaiman­a tulisan Goenawan Muhammad yang dikutip di laman akun SamaSeiram­a, di hari-hari yang penuh fitnah ini, membela yang benar tidak cukup hanya disimpan di dalam hati. (*/c6/dos)

 ?? ARYA DHITYA/JAWAPOS ??
ARYA DHITYA/JAWAPOS

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia