Pimpin Kerajaan dengan Politik Budaya
Nilai-nilai luhur yang ditanamkan Sunan Giri membentang begitu jauh. Mulai pada ranah religi, budaya, hingga tata pemerintahan.
SITUS Giri Kedhaton menjadi saksi perjuangan Sunan Giri dalam membangun pemerintahan. Sisa bangunan yang didirikan pada 1487 Masehi itu masih terlihat jelas. Meski bagian atasnya sudah diganti dengan musala kecil seluas 9 meter persegi.
Situs berusia 6 abad itu berlokasi di atas bukit Giri, dusun Kedhaton, Desa Sidomukti Kecamatan Kebomas, Gresik. Berjarak 200 meter ke arah timur dari Jalan Raya Sunan Giri. Gapura putih bertulisan Situs Giri Kedhaton dan Makam Raden Supeno
(Putra Sunan Giri) menjadi ”gerbang utama” sebelum naik ke atas bukit.
Untuk mencapai puncak, kaki harus menghadapi ratusan anak tangga yang cukup curam. Kemiringannya hampir 45 derajat. Total ada 125 anak tangga berbahan batu alam yang harus dilewati. Di atas bukit dengan ketinggian 200 mdpl itu, bangunan menyerupai candi siap menyambut.
Itu merupakan sisa peninggalan Kerajaan Giri Kedhaton. Dindingnya dibangun dengan gaya teras/punden berundak. Meski situs kerajaan Islam, gaya arsitekturnya kental dengan tradisi Hindu-Buddha. Mirip konsep candi Borobudur di Jogjakarta.
Di halaman sisi kiri dan kanan terdapat kolam kuno. Kolam itu dibangun menggunakan bata merah. Dulu, kolam tersebut dipakai tempat berwudu. Makam kuno yang belum diketahui identitasnya turut menghiasi sekeliling kompleks situs.
Bangunan itu sejatinya bernama Kedhaton Tundo Pitu. Yang berarti bangunan istana bertingkat tujuh. Hingga kini, baru lima tingkat atau undakan yang sudah ditemukan. Antara teras yang satu dengan yang lain ditandai dengan teras yang bentuknya seperti kaki dan tubuh candi. ”Sangat mungkin, tingkat tujuh dihitung mulai jalan desa di bawah bukit,” tutur Kris Adji, sejarawan yang juga Ketua Yayasan Masyarakat Pecinta Sejarah dan Budaya Gresik (Mataseger).
Struktur kaki teras terlihat polos. Sedangkan tubuh bangunan bermotif hias pelipit datar, bingkai cermin dan bidang persegi panjang. Karena dipakai kerajaan islam, tidak ada relief cerita yang menggambarkan aktivitas manusia pada masa itu.
Di tempat itulah Sunan Giri membangun sebuah kerajaan. Pada 1487 Masehi, Gresik masih menjadi wilayah kekuasaan Majapahit. Namun, kerajaan HinduBuddha itu sedang mengalami kekosongan kekuasaan akibat perang saudara. Sunan Giri sempat mengisi kekosongan kekuasaan itu selama 40 hari. Sebelum akhirnya didapuk sebagai raja di Giri Kedhaton pada 9 Maret 1487 oleh Raden Patah.
Pada tanggal itu pula Sunan Giri mendeklarasikan Kerajaan Giri Kedhaton. Sejumlah petinggi Kerajaan Majapahit dan para Wali Sanga menjadi saksi peristiwa tersebut. Tanggal itu yang kemudian diresmikan sebagai hari jadi kota Gresik melalui SK Bupati No 248/1991 tentang Hari Jadi Kota Gresik.
Kris Adji mengatakan, dalam memimpin kerajaan, Sunan Giri banyak menggunakan politik kebudayaan. Misalnya nama gelar yang disandang. Prabu Satmoto. ”Satmoto itu berarti Syiwa,” terangnya.
Mengapa menggunakan nama Dewa umat Hindu? Kris Adji menyebut itu sebagai salah satu politik kebudayaan yang dipakai Sunan Giri. Dengan nama tersebut, Sunan Giri semakin disegani warga sekitar yang rata-rata masih menganut HinduBuddha.
Selain nama gelar, pemilihan lokasi yang tinggi tidak hanya atas dasar permintaan Syekh Maulana Ishak. Lokasi itu menunjukkan derajat orang yang harus dihormati. Dengan membangun kerajaan di atas bukit, secara tidak langsung Sunan Giri menempatkan diri sebagai orang yang harus disegani.
Setelah disegani banyak orang, Sunan Giri semakin mudah melakukan dakwah. Satu per satu umat Hindu-Buddha mengikuti ajaran Islam. ” Tidak hanya di Giri Kedhaton. Sunan Giri juga disegani di Majapahit,” kata Kris Adji.
Giri Kedhaton berada di puncak kejayaan pada masa kepemimpinan Sunan Prapen atau Sunan Giri IV pada 1548-1605. Saat itu, Giri Kedhaton berkembang menjadi kerajaan Islam yang kuat dan cukup berpengaruh di tanah Jawa. Bahkan, pengaruhnya sampai ke Malaysia, Thailand dan Brunei Darussalam.
Kris Adji mengatakan Giri Kedhaton digunakan untuk rumah raja. Seperti Pendopo Kabupaten sekarang. Sedangkan kantor Pemerintahan berlokasi di wilayah Kecamatan Menganti. ”Namanya Bangsal Sri Manganti. Rumah patih atau menteri di daerah Kepatihan,” jelasnya.
Setelah Sunan Prapen, pemimpin di Giri Kedhaton bergelar Panembahan. Pada 1605-1616 Panembahan Kawis Guo menggantikan Sunan Prapen. Dilanjutkan oleh Panembahan Agung pada 1616-1638 masehi.
Pada masa Panembahan Agung, Raja Mataram yang bergelar Sultan Agung menjalankan politik ekspansi. Setelah Surabaya dikalahkan, Sultan Agung mengincar Giri Kedhaton. Sebab, saat itu Giri Kedhaton dijadikan tempat pelarian raja-raja yang dikalahkan Mataram. Seperti Raja Tuban dan Pajang. Meski begitu, Giri Kedhaton masih bertahan.
Pengganti Panembahan Agung adalah Panembahan Mas Witono pada 16381660. Oleh Sultan Agung, gelar Panembahan diganti dengan gelar Pengeran sebagai penguasa di Giri Kedhaton. Namun, gelar tersebut hanya sebatas penguasa rohani.
Di bidang politik pemerintahan, Sultan Agung mengangkat Nolodiko sebagai pe mimpin di bawah kekuasaan Mataram. Sejak saat itulah periode Giri Kedhaton berakhir. Masa tersebut dikenal dengan periode Giri-Gresik. (