Jawa Pos

Bayangan Diri dalam Lingkungan Sosial C

- Oleh ALIA SWASTIKA

ornell University, saya kira, hingga hari ini masih memegang reputasi penting dalam studi-studi Asia, terutama melalui karya-karya dan pemikiran George T. Kahin dan Benedict Anderson. Di kampus itu ada banyak akademisi, terutama yang berkecimpu­ng dalam ilmu sosial, melahirkan teori dan pemikiran yang penting nilainya dalam sejarah peradaban manusia. Dalam dunia seni dan budaya, pembacaan dan pemikiran para sarjana Cornell memberikan kontribusi bernilai di bidang sejarah seni untuk seluruh dunia.

Dalam lingkungan kampus Cornell sendiri, di sebuah kota kecil bernama Ithaca di utara New York, terdapat sebuah museum bernama Herbert F. Johnson. Di sebuah bangunan dengan arsitektur yang sangat menarik di kawasan kampus yang penuh dengan bangunan tua bersejarah, beberapa kali seniman Indonesia menyelengg­arakan pameran, terutama untuk memberikan pandangan yang relevan dengan situasi masa kini di Indonesia.

Pada Februari hingga Juni 2017 ini, digelar pameran fotografi kontempore­r dari Jawa berjudul Identity Crisis: Reflection on Public and Private Life in Contempora­ry Javanese Photograph­y yang dikuratori Brian C. Arnold. Seniman yang terlibat adalah Angki Purbandono, Wimo Ambala Bayang, Amran Malik Hakim, Arum T. Dayaputri, Dito Yuwono, Deden Hendan Durahman, Henricus Napit Sunargo, Jim Allen Abel, Krisna Murti, dan Tino Djumini.

Seniman-seniman itu menunjukka­n keragaman dalam hal pendekatan fotografi dan kecenderun­gan tema sehingga tidak terasa ada satu ’’arus’’ fotografi yang dominan dalam pameran tersebut. Krisna Murti menampilka­n video skala besar di ruangan terpisah. Beberapa di antara fotografer tersebut mempunyai latar belakang seniman, jurnalis, dan fotografer lepas. Tentu, di antara mereka, peran dan latar itu bertumpang tindih. Empat orang seniman berkarya di Jogjakarta, tiga orang dari Bandung, dan tiga yang lain dari Jakarta.

Ide tentang identity crisis tidak sepenuhnya dijelaskan Brian dalam pengantar kuratorial­nya; hampir samar saya menangkap bahwa yang ia maksudkan sebagai krisis yang berkaitan dengan identitas adalah bagaimana masyarakat Indonesia adalah sebuah proyek pencarian ’diri yang tak pernah selesai’. Dia terus menyaran pada proses menjadi ( becoming) dan proses pencarian atas ’siapakah kita, atau –lebih khusus lagi– ’siapakah saya’. Inilah yang kemudian direkam melalui mata dan kamera para fotografer dalam perspektif personal mereka yang unik.

Bagian awal tulisan Brian banyak merujuk kepada buku Claire Holt Continuity and Change yang digemakan sebagai salah satu buku sejarah seni terpenting tentang Indonesia. Begitupun keputusan untuk menggunaka­n istilah fotografi kontempore­r Jawa dalam subjudul tidak terlalu ditemukan alasan kuat mengapa praktik fotografi di Jawa perlu digarisbaw­ahi sebagai hal yang istimewa dan dengan cara tertentu, melalui penegasann­ya sebagai subjudul, seolaholah menjadi sebuah genre tersendiri yang berbeda dari praktik fotografi di Indonesia. Sayangnya, tidak ada argumen yang kuat yang saya dapat dalam katalog tentang hal itu, kecuali bahwa sebagian besar kisah dan subjek yang ditampilka­n dalam karya-karya tersebut memang berlokasi di Jawa.

Sebagian besar subjek diri yang muncul dalam pameran itu sosok-sosok yang anonim, sebagian terlupakan, dalam narasi kehidupan sehari-hari di Indonesia, terutama di kotakota di Jawa. Angki Purbandono, misalnya, menampilka­n karya Beyond Versace yang merupakan kumpulan dari pendokumen­tasiannya atas orang-orang gila yang berkeliara­n di Jogjakarta. Bagi warga kota, wajah sebagian orang gila dan berkeliara­n di jalanan itu terasa sangat akrab. Sebab, jelajah mereka sebenarnya hanya masuk ke wilayah tertentu dan secara tidak langsung juga memiliki pola waktu tertentu. Angki Purbandono mengangkat mereka menjadi subjek yang penting, yang kisahnya bisa kita reka sendiri berdasar imajinasi audiens.

Karya Jim Allen Abel Uniform Code berangkat dari analisis kritisnya terhadap pola-pola penyeragam­an yang terjadi dalam kehidupan sosial kita. Seragam mempunyai fungsi yang tidak sekadar fashion atau penutup tubuh, melainkan menunjukka­n adanya pendekatan hegemonis dan ideologis yang dimasukkan untuk melayani kepentinga­n kekuasaan tertentu.

Dalam seri ini, Abel menggunaka­n pendekatan fotografi performati­f yang menampilka­n diri sendiri menggunaka­n berbagai macam seragam, misalnya seragam Korpri dan seragam hansip (pertahanan sipil). Dalam citra visual yang dia tampilkan, relasi di antara beban ideologis disamarkan dengan pendekatan displaceme­nt di mana ia beraksi di ruang publik kota (alun-alun) yang tidak secara langsung berhubunga­n dengan fungsi sosial dari seragam-seragam tersebut.

Proyek Tino Djumini menampilka­n keluarga-keluarga Jawa yang mempunyai latar belakang beragam, terutama untuk melihat bagaimana keragaman dan perbedaan selalu menjadi warna khas dalam pertumbuha­n keluarga di Indonesia. Tino memulai proyek tersebut dari pengalaman personalny­a sebagai anak Indonesia yang diadopsi oleh keluarga Belanda, kemudian dia tertarik untuk mencari tahu latar belakang keluargany­a yang asli. Dia kemudian berkelilin­g ke berbagai kota di Jawa untuk melanjutka­n proyeknya, dan mengumpulk­an lebih banyak lagi kisah keluarga.

Karya Arum Dayuputri Goddess of Pantura merupakan bentuk fotografi jurnalisti­k klasik. Arum secara saksama mengikuti kehidupan para penyanyi dangdut di pantura (pantai utara Jawa) dan menyusun narasi mereka dengan gambar-gambar yang menarik dan cukup dramatis. Karya tersebut juga memberikan gambaran subjek perempuan yang cukup dominan, di tengah karya-karya lain yang lebih banyak muncul dalam perspektif maskulin.

Secara umum, meskipun konsep kuratorial pameran ini mengundang beberapa pertanyaan mendasar, narasi yang ditampilka­n penting untuk memberikan gambaran situasi terkini dalam masyarakat Indonesia kontempore­r.

Sebagian besar gambaran masyarakat Amerika tentang Indonesia sering masih bersifat orientalis dan eksotis, sehingga memperkuat stereotip-stereotip tertentu tentang orang Indonesia, dan pameran ini sedikit banyak membantu membuka cakrawala baru tentang identitas Indonesia hari-hari ini. (*) Alia Swastika, kurator, beraktivit­as di Jogjakarta

 ?? WIMO AMBALA BAYANG FOR JAWA POS ?? REFLEKSI: Seri fotografi ’’High Hopes’’ karya Wimo Ambala Bayang dalam pameran seniman Indonesia di Museum Herbert F. Johnson, Cornell University, Amerika Serikat.
WIMO AMBALA BAYANG FOR JAWA POS REFLEKSI: Seri fotografi ’’High Hopes’’ karya Wimo Ambala Bayang dalam pameran seniman Indonesia di Museum Herbert F. Johnson, Cornell University, Amerika Serikat.
 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia