Jawa Pos

Orang Buta Menuntun Beruk

- OLEH RAUDAL TANJUNG BANUA

ENTAH bagaimana mulanya, seorang laki-laki buta muncul di kampungku sambil menuntun seekor beruk. Ia muncul begitu saja, pada suatu pagi sehabis hujan gerimis. Orang-orang bertanya-tanya dalam hati, ini tukang beruk yang mana? Tentu, semua masih ingat siapa-siapa saja tukang beruk di kampungku. Mulai Pak Mawan yang beruknya senang melawan. Lalu Pak Malus, Malin Gadang, Pak Ramin hingga Uncu Marin yang tak sabaran. Empat orang terakhir sudah lama menjual beruknya; sejak pohon-pohon kelapa menua dan kopra tak cukup berharga. Nama yang nomor dua sudah meninggal --dulu, ia langganan kakekku. Tinggal Pak Mawan yang sesekali berkelilin­g dengan penghasila­n tak seberapa --karena itu hanya sebagai kerja selingan.

Tapi laki-laki buta itu tidak ada yang tahu. Ia seorang lakilaki paro baya, berkopiah lusuh, mengenakan celana gembrong dan baju lengan panjang yang juga lusuh. Meskipun terbilang cepat dan lancar, langkahnya terlihat penuh perhitunga­n. Setiap jengkal aspal yang ia injak seolah diawali kontak dengan mata batinnya. Angin mengisai sisa debu di jalan lembab-basah membuat debu itu menempel di baju dan celananya. Ia kisarkan.

Di kampungku warga memang mengandalk­an tenaga beruk, sejenis kera terlatih, untuk memetik kelapa yang pohonnya tinggi-tinggi. Binatang itu cerdik dan gesit. Rantai kecil melingkar di lehernya, kemudian tersambung dengan tali panjang ke tangan tuannya. Sang Tuan atau yang lazim disebut tukang beruk, tinggal memerintah­nya memanjat pohon kelapa yang ditunjuk. Si beruk naik dengan cepat, lalu memuntir buah kelapa dengan cekatan.

Tenang saja, ia tak akan salah. Buah-buah yang dijatuhkan pastilah buah yang sudah tua. Namun ia juga bisa menjatuhka­n buah muda jika si empunya kebun ingin kelapa muda. Si tukang beruk tinggal berseru dari bawah,” Mudo!” Maka kelapa muda akan jatuh bergedebum dan pilihannya biasanya pas, isinya tidak keras dan tidak lunak.

Untuk berpindah pohon, beruk tak harus turun, cukup melompat dari satu pohon kelapa ke pohon kelapa yang lain, kecuali yang jaraknya agak jauh atau tumbuhnya terpencil.

Pada masa kelapa masih jaya di daerah pesisir ini, tukang beruk termasuk profesi yang banyak digeluti warga. Mereka membawa beruk dengan becak, sepeda atau berjalan kaki berkelilin­g dari kampung ke kampung menawarkan jasa. Dari jasanya itu, si tukang beruk mendapat upah berupa kelapa, dihitung satu butir kelapa untuk delapan butir yang berhasil dipetik; tapi tak jarang mereka minta upah dalam bentuk uang.

Tukang beruk mendapat nafkah yang cukup, terlebih jika ada panen raya di kebun-kebun, maka butuh dua atau tiga hari bagi tukang beruk menengadah memetik buahbuah yang masak-tua. Beruk sendiri mendapat jatah sesisir pisang, buah nangka, sepinggan nasi gabah, sesekali telur dan susu buat stamina.

’’Beruk itu seperti kita juga, kerja dulu baru makan, dan makan untuk kerja. Asal tak malas, kami rela berbagi upah,” kata Pak Mawan suatu kali.

Nah, tukang beruk buta itu muncul pada saat kelapa sudah tak berjaya! Banyak pohon tumbang ditebang buat kayu bangunan, sebagian habis disambar petir, sisanya deretan pohon kelapa tua yang buahnya tak selebat dulu. Satu per satu tukang beruk meletakkan keranjang, memintal tali beruk yang panjang, mengistira­hatkan becak barang, dan menjual beruk-beruk mereka ke pasar hewan. Mereka lalu beralih turun ke sawah, beternak sapi atau kerbau, dan sebagian mencari ikan di muara atau menghela pukat di pantai.

*** HARI pertama laki-laki buta itu muncul tak ada tegur sapa dengan warga. Keesokkann­ya baru ada orang yang tersenyum, bahkan ada yang mulai memakai jasanya. Selanjutny­a hal yang biasa melihatnya lewat. Kadang beruknya berjalan di belakang, namun adakalanya si beruk jalan di depan, dan kita tidak tahu persis apakah ia yang menuntun beruk atau beruk yang menuntun dirinya.

Begitulah ia berjalan terus dan di setiap tanah kosong yang ada pohon kelapanya, ia akan berdiri, menelengka­n kepalanya seolah dengan cara itu matanya yang buta dapat menyesap seberkas cahaya. Lalu ia akan berseru, ”O, orang yang punya kelapa! Ini kelapa sudah banyak yang tua, apakah mau saya ambilkan?”

Kalau si empunya kelapa ada di sana, akan dijawab, ”Silahkan, Angku!”

Maka beruknya yang besar kelabu itu akan memanjat dengan cepat, berkelit dari pepatnya pangkal pelepah, memutar di antara mayang dan seludang. Tak lama buah-buah berjatuhan­lah. Si buta memanfaatk­an ketajaman telinganya mencari di mana kelapa itu jatuh, lalu dikumpulka­nnya di tempat terbuka. Dari situ ia tahu persis berapa ia mesti beroleh jatah atau upah. Ia biasa meminta uang saja, sebab dalam usia yang tak lagi muda akan payah baginya memanggul sekian butir kelapa, apalagi dalam keadaan mata yang buta.

Di mana ia tinggal dan dari mana ia berasal? Ternyata ia menumpang di rumah Uncu Suar, seorang pandai besi yang hidup di ujung kampung. Namun jika ada yang bertanya siapa dan dari mana tamunya itu, Uncu Suar tak bisa menjawab pasti. Ia pun berjumpa ketika orang buta itu beserta beruknya tampak kelelahan di depan rumahnya, senja hari. Uncu Suar mengajakny­a berbuka puasa, lalu si tukang beruk minta bermalam.

Ia mengaku dari Biduk Batu, sebuah kampung di balik bukit kelabu, dan sebagaiman­a kesahajaaa­n orang kampung, tak ada seorang pun yang merasa perlu menyelidik­i apakah asal-usul yang ia katakan itu benar. Yang jelas, sejak itu ia akan menuntun beruknya pagi-pagi dan kembali petang hari, kadang sampai jauh ke kampung sebelah.

*** NAMUN satu hal yang agak aneh, laki-laki buta itu seperti enggan menawari keluargaku untuk memetik kelapa juga --tak sekalipun ia! Ya, ia akan lewat begitu saja di depan rumah keluarga besar Datuk Bakar, padahal dengan penglihata­n mata batin yang tajam mestinya ia tahu bahwa pohon kelapa kami masih banyak dan lahannya cukup luas. Bahkan mungkin yang terluas. Maklumlah, itu merupakan kebun warisan kakek kami, Kakek Bakar gelar Datuk Malenggang. Ia lelaki tinggi besar yang masih sempat aku jumpai saat masih di bangku sekolah menengah. Makamnya masih terjaga di bawah pohon kelapa condong di belakang rumahku.

Sebenarnya, sejak leluhurku itu meninggal, lahan kami tak bisa lagi disebut kebun. Kecuali tanah belakang rumah yang agak luas serta sisa pohonpohon kelapa tua yang hidup bertahan di sana. Sebagian besar kebun kakek sudah lepas ke tangan orang, dijual atau digadai, tempat rumah-rumah permanen tegak sebagai bagian pertumbuha­n kampung yang makin padat.

Aku punya kenangan dengan kelapa-kelapa di belakang rumahku. Semua pohon seolah bisa kutandai. Pohonpohon lain tumbuh dalam semak karimuntia­ng yang hanya tampak pucuknya di kejauhan. Dulu, kami sering naik pohon kelapa, dan memang tak perlu beruk untuk mengambil dua-tiga butir kelapa muda.

Hampir setiap anak di kampungku bisa memanjat secepat ia meniti sebuah jembatan kayu. Begitu pula aku. Bila haus dan ingin kelapa muda, tanpa membuka baju sekolah aku sudah sampai di atas pelepah. Saudara sepupuku yang lain, bahkan sengaja membawa golok ke atas pohon dan membuka buahnya di atas pelepah, sehingga airnya menetes-netes seperti kelapa yang dilubangi tupai.

Itu semua tidak mengapa. Namun sering cucu kakekku yang lebih tua seperti Wan Kodis bukan hanya mengambil kelapa muda, namun juga kelapa tua buat ia jual di warung Mak Incek. Kakek sering ngamuk kalau menemukan kelapa tuanya diambil tanpa izin. Pernah ia jumpai Wan Kodis sedang memuntir kelapanya nun di ketinggian, dan kakek menunggui di bawah sampai malam. Wan Kodis akhirnya menyerah seperti tupai yang jatuh ke tanah. Ia ditempelen­g kakek dengan telapak sandalnya yang lebar. Namun di lain kesempatan, Wan Kodis yang ditunggui kakek berhasil lolos. Ia berpindah ke pohon sebelah dengan meniti pelepah yang berdekatan lalu meloncat seperti beruk melompat.

Cucu yang lain, Isul, kedapatan memanjat sebatang kelapanya yang terlebat. Kakek menarik celananya sampai lepas, tapi dengan celana kolor si cucu terus naik. Celana itu berakhir di semak-semak, dibakar Kakek Bakar sampai lumat, sehingga si cucu harus pulang tanpa celana, dan itu cukuplah sebagai hukuman.

Di waktu lain, Buyung, cucu yang lain lagi, kedapatan mengunduh kelapanya. Kakek tak hilang akal. Ia ambil sepeda Buyung, dan sepeda itu dibawa pulang ke rumah istrinya. Namun karena kakek sendiri membawa sepeda, sementara ia tak bisa membawa sepeda sambil mengganden­g sepeda lain, maka kakek bolak-balik membawa kedua sepeda itu.

Mula-mula ia bawa sepedanya sejauh sekitar satu kilometer, kemudian ia kunci. Lalu ia balik berjalan kaki menjemput sepeda Buyung, dan sepeda itu dibawanya lagi sampai melewati sepedanya sekitar satu kilometer, dikunci, lalu ia jemput lagi sepedanya yang tinggal. Begitu sampai kedua sepeda sampai di rumah istrinya dan sang cucu harus menebus jika mengingink­an sepedanya kembali.

Cucu-cucu kakekku memang terkenal keras kepala, beberapa jadi begundal, dan aku tak bisa seperti mereka. Karena itu kakek cukup ramah kepadaku bahkan beberapa kali saat panen kelapa aku diberinya uang jajan. Sungguh pun begitu, kesan angker dan kerasnya tak lenyap di mataku. Dan semua orang tahu bahwa kakekku memang keras sampai adik perempuann­ya, Etek Bainas, senantiasa batal dipinang orang. Tak ada yang berani meminang karena takut dengan syarat dan lain-lain hal yang digariskan kakek. Apalagi setelah terkabar kakek pernah menghajar seorang pemuda yang mencoba mendekati sang adik.

Entah kenapa adiknya dijaga seperti nyaris dipingit. Tapi konon karena ia banyak kecewa dengan ipar-iparnya. Akibatnya, adiknya yang paling bungsu itu dijaga amat ketat. Jarang Etek Bainas ke luar rumah seperti ke pasar atau ke keramaian. Keseharian etek mengumpulk­an pelepah dan seludang. Bagian atas pohon kelapa itu biasa jatuh ke tanah dihembus angin atau karena memang sudah tua.

Bila semalaman ada hujan badai, maka pagi hari pelepah dan seludang akan lebih banyak lagi berjatuhan. Pelepah dan seludang itulah yang dikumpulka­n etek atau bibiku. Pelepah yang lurus panjang ia jadikan untuk kayu bengkawan, yakni kayu-tulang untuk membuat atap rumbia yang disulam dengan rotan dan dijual kepada Pak Gaek Sani atau Bilal Sulung, dua orang pengrajin atap rumbia. Sisanya bersama seludang dan sabut kelapa kering dijadikan kayu bakar.

*** WAKTU kebun kelapa kakekku masih luas, setiap panen tiba, ia akan mengupah tukang beruk dalam jumlah yang banyak. Lima orang tukang beruk di kampungku tidaklah sanggup memanen ratusan pohon kelapanya. Apalagi dua di antaranya beruk pemalas --karena beruk jantan-- sehingga sering talinya disentak oleh Sang Tuan, Malin dan Uncu Marin.

Kakek menolak beruk pemalas dan lebih nyaman mengupah tukang beruk dari luar kampung. Sistem borongan. Tentu kakek tak mengenal semua tukang beruk yang datang sebab yang mengatur adalah Pak Malus, tukang beruk kepercayaa­n

kakek. Pak Malus yang memanggil kawan-kawannya sesama tukang beruk entah dari kampung mana saja. Ah, itu sudah lama berlalu. Tak ada lagi buah-buah kelapa yang diunduh dalam jumlah banyak di kampungku. Usaha kopra gulung tikar, ditandai lenyapnya kelapa cukil yang dijemur di tepi jalan. Gudang kopra kakek dibiarkan runtuh, dindingnya hilang satu-satu dijadikan kayu bakar. Lahan berganti rumah-rumah, dan kelapa yang tersisa cukuplah hanya buat kebutuhan memasak dengan santan yang gurihpekat --maklum kelapa tua yang rasanya tak tergantika­n. Tapi, pada suatu hari, lelaki buta yang menuntun beruk itu berhenti di muka rumahku dan dengan suara bergetar ia menawari apakah aku akan mengambil kelapa. Kebetulan aku memang butuh kelapa untuk membuat kue-kue Lebaran dan memasak lemang. Ini masakan tradisiona­l dari beras ketan yang dimasukkan ke dalam bambu lalu diberi santan yang banyak, didiang dengan api cukup besar hingga masak --hidangan wajib kampungku tiap Lebaran! Sekalian aku juga ingin kelapa muda untuk berbuka puasa. Maka aku iyakan tawarannya, dan kami berdua segera ke belakang rumah mematut pohon mana yang hendak dipanjat. Sambil menunggui beruknya memetik kelapa, tanpa diduga ia bercerita padaku. Aku heran karena ternyata dia bukan orang pendiam. Ia bercerita tentang seorang perempuan yang rajin mengumpulk­an pelepah dan seludang kelapa. Badai atau tidak, katanya, perempuan itu tetap mengumpulk­an pelepah tua dan seludang yang berjatuhan. Meski tak menyebut nama, kuduga yang ia maksud adalah bibiku, Etek Bainas. Ciri yang ia sebut mirip dan alur ceritanya sayup-sayup pernah kudengar. Maka ketika ia bercerita, darahku tersirap, namun aku sengaja bersikap biasa saja supaya apa-apa yang dia katakan lancar belaka. Apalagi dari nadanya dapat kutangkap bahwa ia suka kepada perempuan itu. (Ya, aku tahu, kadang di tengah hujan bibiku tetap turun ke kebun, tak peduli kilat petir menyambar-nyambar, ia seperti bersuka-ria mengumpulk­an pelepah yang berjatuhan. Seolah dengan itu ada beban yang ia lepaskan, semacam keterhimpi­tan dari kakaknya yang keras!) *** ’’ AKU pernah merantau,” kata laki-laki itu, agak geli. ’’Tidak jauh, hanya ke Pariaman, tapi dengan itu aku sekalian bisa membawa berukku sebab kau tahu di daerah itu banyak pohon kelapa. Alhamdulil­lah, aku mendapat kerja yang baik di sana, terutama menjadi langganan memetik kebun Ajo Jazuli, pemilik kebun kelapa terluas di Pariaman. Beliau juga punya kebun di Air Haji, sehingga sering pula aku dan berukku dibawa ke sana.” ’’Sayang, aku menderita sakit mata berkepanja­ngan, tak sembuh-sembuh. Ajo Jazuli kemudian berbaik hati membawaku ke rumah sakit di Padang. Ternyata ada syaraf mataku yang rusak sebab bekas pukulan di punggung. Lama-lama aku tak bisa lagi melihat dan kuterima itu sebagai ketentuan Yang di Atas. Untungkah aku masih terus diajak memetik kelapa karena memang tak mengganggu pekerjaank­u. Itu artinya, sekali tiga bulan, enam bulan atau lebih, aku melewati kampung ini dengan naik truk ke selatan, memetik kelapa Ajo Jazuli di kebun Air Haji. Kami tinggal bermalam, kadang sampai sepekan.” Aku diam, sambil mengingat cerita perihal kakek yang pernah memukul punggung seorang tukang beruk dengan pelepah kelapa yang masih basah. Hingga setengah remuk! Itu karena kakek mendapatin­ya berdua-duaan bicara dengan Etek Bainas di bawah pohon kelapa, sebagian menyebut di balik semaksemak. Bahkan beruk orang itu juga dipukuli kakek sampai menjerit-jerit. Kampung gempar sebentar, dan reda sendiri lantaran menyangkut Datuk Bakar.

Keluarga besarku sesekali menceritak­an itu sekadar memancing kaji lama, gelak-tawa atau mengenang kekuasaan seorang datuk. Tapi aku tak berminat karena berbau kekuasaan. Hanya ibuku yang bercerita dari sisi berbeda, dan itu cukup kuminati. Menurut ibu, bibiku tak mau menikah sejak peristiwa menggempar­kan itu terjadi. Padahal bibiku sangat mencintai laki-laki malang yang dipukul kakek.

Pernah, kata ibu, bibiku sangat rindu kepada laki-laki itu. Kebetulan Kakek Bakar sudah meninggal --sehingga tak ada lagi larangan-- tapi harapan untuk bertemu tetap tak kesampaian karena laki-laki itu sudah pergi merantau sambil mencari obat punggungny­a yang tak kunjung sembuh. Ternyata dia itu anak yatim piatu, kata ibu. Kabar tersebut bikin bibiku bertambah luluh dan memutuskan hidup selibat.

Laki-laki itu mendehem, sebagai isyarat supaya cerita selanjutny­a tetap kusimak. Aku balik mendehem, ”Ya, lanjutkan, Angku!”

’’Biasanya aman-aman saja tiap kali aku lewat, baik saat pergi ke Air Haji maupun saat kembali. Aku biasa bertanya kepada kawanku sesama tukang beruk, apakah sudah masuk kampung Lansano. Jika dikatakan kami sedang melewatiny­a maka dari truk yang melintas aku akan menelengka­n kepala menghikmat­i bahwa aku sedang melewati kampung di mana pada sebidang kebunnya ada seorang perempuan yang begitu gesit mengumpulk­an pelepah dan seludang. Dan aku puas membayangk­annya. Bahkan kemudian aku tak lagi bertanya, sebab dengan terlatihny­a perasaanku, aku tahu sendiri telah memasuki Lansano cukup dengan merasakan kelok jalan dan guncangan sebuah jembatan yang rusak abadi.” Ia tertawa sedikit.

’’Tapi tak pernah ada kejadian seperti dua pekan lalu. Hari itu, tiba-tiba saja berukku meronta-ronta di atas truk. Kadang diiringi jeritan seolah Si Limang sedang berteriak. Entah mengapa aku merasakan sesuatu, namun apa, aku tak tahu. Karena hatiku gelisah pula, aku sekalian minta berhenti dan minta turun. Sopir truk, ponakan Ajo Jazuli, tentu saja melarangku karena aku buta namun aku mampu meyakinkan bahwa aku punya saudara di sini. Padahal tak ada seorang pun yang akan kutuju. Tidak juga rumah perempuan yang kucintai lebih lima belas tahun lalu karena pastilah ia sudah beranak-berkeluarg­a. Akhirnya aku terdampar senja-senja di rumah Uncu Suar. Dari sana aku rancang rencana untuk berkelilin­g kampung menawarkan jasa berukku, tapi yang utama mencari tahu kabar perempuan pengumpul pelepah dan seludang itu. Aku juga tak akan bertanya apa-apa pada Uncu Suar karena aku berniat menyamar.”

Setelah siapa dirinya terkuak, kukira dia akan berhenti, namun segera mulai lagi dengan sedikit keluhan.

’’Tapi setelah hampir dua pekan keliling kampung dan bolak-balik melintasi tempat ini, aku tak melihatnya sama sekali. Dan berukku terus saja gelisah. Ah, cukuplah kini! Hari ini kuberanika­n diri menawari engkau untuk memetik kelapa supaya tahu apa yang terjadi.’’

’’Tentu saja tak ada yang Angku lihat karena Angku buta,” kataku akhirnya.

’’Tapi seharusnya aku bisa mendengar suaranya. Jika pun bukan suaranya, desau pelepah yang dihela dengan lembut di atas rumput di bawah pokok kelapa, cukuplah melepas rinduku padanya,’’ ia menarik napas panjang.

’’Dan apa hubungan dengan beruk Angku?’’ tambahku sambil ikut menahan perasaan.

’’Sejak meronta di atas truk sampai sekarang ia tak tenang. Ia seperti manusia juga.”

Hati-hati aku bilang, ”Kalau begitu, mungkin beruk Angku tahu bahwa orang yang Angku ceritakan sudah tiada.’’

Ia terkejut. Seluruh syaraf mukanya kulihat mengumpul jadi satu lalu seperti menarik kedua matanya yang tak berkedip. ’’Sudah dahulu, maksudmu, Anak Muda?” ’’Ya, bibiku Bainas sudah mendahului kami semua. Dia yang Angku maksud, bukan?”

’’Innalillah­i… Kapan?!” nadanya menahan jerit, tak terlepaska­n. ’’Kurang tiga pekan sebelum bulan puasa. Itu, makamnya masih baru dan puring yang ditanam belum tumbuh.” Aku menunjuk ke sebidang tanah di bawah pokok kelapa condong. Kukira tentu ia tak akan melihat. Tapi ketika beruknya turun dari pohon, sang beruk --secara naluriah dan ajaib-menuntunny­a melangkah ke makam yang kutunjuk. Ada dua makam. Satu makam Datuk Bakar yang sudah tua berlumut, satu lagi makam bibiku Bainas yang masih cokelat tanah. Orang buta itu mengangkat wajahnya, bola matanya yang putih bergerak-gerak liar, lalu perlahan padam bersama genangan yang menetes, ia hapus dengan lengan baju. ’’Pantas ia meronta, dan kini terjawab sudah,” katanya pasrah. Kemudian tanpa dikomando, beruknya melompat ke atas makam kakekku. Ia menggoyang-goyang batu nisan sehingga nyaris patah jika tak segera dihalangi tuannya. ’’Sudah, sudah, Limang!” cegahnya pada sang beruk yang ia panggil Limang. Dan entah bagaimana ia tahu beruknya sedang berbuat sesuatu yang tak berkenan. Sang beruk berhenti menggoyang nisan, dan tuannya meminta maaf padaku. Si Limang lalu beralih melompat ke makam bibiku, menggaruk sedikit tanah, lalu menungging seperti menciumnya dengan takzim. ’’Semoga di hari baik bulan baik ini, segala yang terjadi di antara kami pada masa lalu telah samasama diikhlaska­n. Dan kiranya Allah memberi kami ampunan,” ia bergumam. ’’Amiiin...,” ucapku setengah gigil. Setelah itu si buta pamit menuntun beruknya atau beruk yang menuntun dirinya. Keduanya berjalan tersaruk di jalan berdebu, lama kupandangi seolah aku melihat dua manusia berjalan beriringan, dan sejak itu mereka tak pernah terlihat lagi. *** /Rumahlebah Jogjakarta, Juni 2017 RAUDAL TANJUNG BANUA, lahir di Lansano, Pesisir Selatan, 19 Januari 1975. Tinggal di Jogjakarta. Bukunya KotaKota Kecil yang Diangan dan Kujumpai serta Cerita-Cerita Kecil yang Sedih dan Menakjubka­n dalam persiapan terbit.

 ?? BAGUS HARIYADI/JAWA POS ??
BAGUS HARIYADI/JAWA POS

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia