Jawa Pos

Di Dunia 4.0 Jangan Ada Yang Gagal Paham

-

Kalaupun dipakai, hanya sebatas sebagai alat pendukung. Sedangkan dunia nyata adalah dunia kita sehari-hari.

Bahkan, ada yang beranggapa­n bahwa itu adalah dunia para milenial, anak-anak mereka. Juga tak dapat dihindari yang berpikir, bisnisnya ( core- nya) sama sekali tak perlu bersentuha­n dengan dunia digital.

Misalnya saja, ada yang mengatakan, ”Kami ini bisnisnya semen, bukan ritel.” Dan kalau diteruskan lagi ”kami”-nya bisa panjang: kami jual mobil, bukan hiburan; kami pupuk, bukan hotel; kami tekstil, bukan oleh-oleh; dan seterusnya. Seakan-akan dunia maya itu hanya berlaku bagi ritel, hiburan, dan sejenisnya.

Mungkin anggapan semacam itu menguat lantaran sering melihat anak-anak bermain game. Jadi, dunia digital hanya ada dalam game, bukan kehidupan nyata.

Anggapan seperti itu, kalau dibiarkan, tentu bakal menyesatka­n dan menyulitka­n banyak perusahaan yang sudah bagus. Itu akan membuat kita ”gagal paham”. Ya, gagal memahami perubahan-perubahan besar yang tengah bergulir di sekitar kita.

Kini, sejak manusia melewati tahapan connectivi­ty melalui internet, digital dan dunia nyata menyatu dalam kehidupan kita sehari-hari. Ini buktinya.

Masih ingat dengan seorang perwira TNI yang memecahkan kaca bus di jalan tol Cikunir Mei 2017 lalu? Kasus yang ada di dunia nyata itu mungkin tak akan terungkap kalau tidak ada sebuah akun Facebook yang meng- upload kejadian tersebut.

Menurut akun itu, sang perwira tadi mengendara­i mobil di ruas jalan tol yang macet. Mungkin jengkel dengan kemacetan, juga merasa jalannya terhalang bus, perwira tersebut dengan tongkatnya memukul pecah kaca samping bus.

Semula perwira itu berdalih mobilnya diserempet bus. Namun, tak ada bukti soal serempetan tersebut. Akun itu menulis, ” Ngaku spionnya kesenggol sampai lecet, tetapi di rekaman tidak ada lecet sama sekali. Diminta pertanggun­g jawaban malah kabur.” Unggahan tersebut kemudian ramai dibicaraka­n netizen.

Puspen TNI merespons terlebih dahulu. Melalui akun Instagram, Puspen TNI meminta maaf kepada PO bus tersebut. Lalu, menyusul sang perwira juga mengakui kesalahann­ya dan meminta maaf. Dia siap bertanggun­g jawab untuk mengganti kerugian bus.

Itu bukti betapa dunia digital kita sudah menyatu dengan dunia nyata. Mau bukti lainnya? Masih ingat kasus seorang pegawai perempuan yang bekerja di Mahkamah Agung (MA) yang marah-marah dan mencakar Aiptu Sutisna saat petugas kepolisian itu hendak menilangny­a? Sutisna tidak melawan. Dia hanya menghindar. Itu peristiwa yang terjadi di dunia nyata.

Adegan amukan pegawai MA tersebut kemudian muncul di dunia maya. Seorang netizen merekamnya dan meng-upload videonya ke akun Facebook. Kejadian itu pun menjadi viral.

Berkat sikapnya yang tidak melawan, Aiptu Sutisna mendapatka­n apresiasi. Bukan hanya dari masyarakat, tapi juga Kepolisian Negara RI (Polri). Sebaliknya, si pegawai MA tadi dimutasi dari jabatannya di eselon IV menjadi staf di PTUN Pekanbaru.

Pengalaman Sandvik Saya tadi menyinggun­g soal betapa repotnya kalau gagal paham menyatunya dunia maya dengan dunia nyata sampai berlarut-larut. Sebab, di belahan dunia sana, masyarakat­nya –terutama kalangan korporasi– sudah menikmati hasil dari penyatuan dua dunia tersebut.

Salah satu contohnya Sandvik Coromant (SC), perusahaan asal Swedia yang menjadi produsen utama cemented carbide dunia. Cemented carbide adalah material yang biasa dipakai pada mesin pemotong material logam nonbaja dan banyak dipakai industri ma- nufaktur. Bisnis SC sempat terpuruk lantaran hadirnya produk Tiongkok yang lebih murah. Lalu, apa yang dilakukan SC? SC lalu melengkapi mesin pemotongny­a dengan sensor. Sensor tersebut berfungsi memantau kinerja cemented carbide. Kapan alat itu terlalu stres, sudah aus, dan tiba waktunya untuk diganti. Data dari sensor tersebut kemudian dikirim ke server dan oleh server didistribu­sikan ke pihak-pihak yang mesti tahu soal itu. Di antaranya general manager, manajer, atau supervisor di pabrik.

Bagi banyak pabrik, informasi semacam itu sangat penting. Jangan sampai pabrik berhenti beroperasi gara-gara mesin pemotong nonlogamny­a rusak. Biaya untuk shutdown dan menghidupk­an kembali bisa sangat mahal.

Informasi semacam itulah yang kemudian menjadi nilai lebih bagi SC ketimbang produk sejenis dari Tiongkok. Pelanggan pun beralih dari produk buatan Tiongkok ke buatan SC.

Itu contoh kasus di dunia korporasi yang memakai teknologi untuk menggabung­kan dunia digital (informasi dari sensor) dengan dunia nyata (pekerjaan di pabrik). Kasus lainnya masih banyak.

Misalnya, ada Rolls-Royce yang memasang sensor di mesin pesawat terbang. Ketika pesawat masih berada di udara, kondisi mesin sudah terpantau. Saat mendarat, kalau ada komponen mesin yang perlu diganti, itu bisa langsung dilakukan tanpa pesawat perlu masuk hanggar. Jadi, pesawat bisa langsung terbang lagi. Itu tentu meningkatk­an kinerja operasiona­l pesawat.

Dunia 4.0 Dalam lingkungan masyarakat, para petugas layanan publik bisa memantau sejumlah kejadian dengan adanya CCTV. Ingat dengan pembalap MotoGP Nicky Hayden yang meninggal dunia karena tertabrak mobil? Melalui CCTV, pihak kepolisian mendapati bahwa Nicky Hayden lalai.

Hayden bersepeda sambil mendengark­an musik melalui iPod. Akibatnya, dia tak mendengar suara-suara yang ada di sekitar- nya, termasuk mobil-mobil yang lalu-lalang di perempatan jalan. Salah satu mobil itulah yang kemudian menabrak Hayden.

Belajar dari kejadian tersebut, kita mungkin bisa memprakars­ai gerakan no gadget saat melakukan aktivitas di area-area publik. Kini kita sudah memasuki dunia versi 4.0. Dunia maya atau digital dan dunia nyata sudah menyatu. Namun, banyak musibah terjadi gara-gara masyarakat kita masih merasa seolah-olah berada di dua dunia yang berbeda.

Misalnya terus saja memakai smartphone saat menyetir mobil atau mengendara­i sepeda motor –sesuatu yang banyak kita jumpai di masyarakat kita. Juga terus memakai smartphone saat tengah berjalan di trotoar atau area publik lainnya. Itu fenomena yang ada di mana-mana. Mereka berjalan seenaknya sambil matanya tak henti menatap layar smartphone dan tangannya terus mengetik.

Padahal, sudah banyak video yang menayangka­n orang-orang yang tersandung atau terperosok lubang karena terlalu asyik dengan smartphone-nya. Atau menabrak orang lain yang melintas di hadapannya; menabrak tiang atau pintu; bahkan tertabrak sepeda, sepeda motor, hingga mobil lantaran menyeberan­g jalan secara sembaranga­n.

Di Jerman, seorang petugas pengatur sinyal dituding bertanggun­g jawab atas kecelakaan kereta yang mengakibat­kan 150 orang mengalami luka-luka dan 11 orang meninggal dunia. Menurut jaksa, sesaat sebelum kecelakaan terjadi, petugas itu asyik bermain game online via ponselnya. Akibatnya, dia menekan tombol yang salah. Informasi yang salah itulah yang diterima dua masinis dari dua kereta berbeda. Dan kecelakaan pun tak terelakkan.

Di dunia 4.0, era di mana semua serba terkoneksi, kita tak mau ada masyarakat yang gagal paham bahwa dunia digital sudah menyatu dengan dunia nyata. Sebab, risikonya bisa sangat fatal. (*) Rhenald Kasali (@Rhenald_Kasali)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia