Jawa Pos

Panjang Gading 4 Meter, Kaki Bawah 1,3 Meter

-

Situs itu mirip dengan yang ditemukan di Patiayam, Desa Terban, Kecamatan Jekulo, Kabupaten Kudus. Di antaranya berupa fosil gajah purba.

Padahal, Desa Banjarejo tidak berbatasan langsung dengan Desa Terban. Keduanya dipisahkan jarak ratusan kilometer. Malah, Desa Banjarejo lebih dekat ke wilayah Jawa Timur daripada ke wilayah Jawa Tengah. Entahlah kok bisa begitu.

Yang jelas, berdasar catatan sejarah lama, Desa Banjarejo ditengarai dulu menjadi habitat bagi hewan-hewan purbakala. Di sana juga berkembang peradaban HinduBuddh­a. Hal tersebut terlihat dari temuantemu­an situs yang bertebaran di desa itu. Sejauh ini, warga berhasil mengamanka­n sedikitnya 1.100 patahan fosil dari 15 jenis hewan purbakala seperti gajah, kuda nil, badak, rusa, serigala, kura-kura, buaya, siput, kerang, kerbau, dan sebagainya.

Warga juga menemukan benda-benda peninggala­n zaman kerajaan. Di antaranya berupa perhiasaan, koin kuno, guci, lumpang batu, yoni, dan lesung. Benda-benda artefak itu kini diamankan dan dipajang di Museum Desa Banjarejo (Rumah Fosil Banjarejo). Namun, belum diketahui secara pasti, di zaman kerajaan apa benda-benda bersejarah itu dulu dipakai.

Selain benda-benda purbakala, warga menemukan fondasi bangunan dengan struktur batu bata yang berukuran besar (40 x 20 x 9 cm). Fondasi bangunan itu tersusun rapi terpendam di tengah area persawahan.

Terbaru, Kamis lalu (8/6) masyarakat Banjarejo kembali dihebohkan dengan temuan fosil gajah purba atau Stegodon yang nyaris utuh. Fosil itu ditemukan secara tidak sengaja oleh Rusdi, 65, warga Dusun Kuwojo, Desa Banjarejo. Awalnya Rusdi hendak membuat sumur resapan untuk menyiram tanaman jagung di tegalan. Saat penggalian menyentuh kedalaman 1 meter, Rusdi melihat ada material seperti batu berwarna putih yang ”mencuriga- kan”. Sontak dia menghentik­an penggalian dan melapor ke Komunitas Peduli Fosil Banjarejo. Komunitas itu dibentuk untuk mewadahi laporan warga terkait adanya situs-situs purbakala yang bertebaran di desa tersebut.

”Saya bersama tim langsung menuju ke lokasi untuk melihat temuan tersebut. Ternyata batu fosil itu bersedimen putih atau kapur. Bahkan, ada sedikit bagian yang mengelupas yang memperliha­tkan fosil binatang,” ujar Ketua Komunitas Peduli Fosil Banjarejo Budi Setyo Utomo kepada Jawa Pos Radar Kudus.

Setelah dilakukan penggalian lebih lanjut, fosil itu mulai menunjukka­n bentuk menyerupai kerangka gajah purba. Budi lantas menghubung­i Balai Pelestaria­n Situs Manusia Purba (BPSMP) Sangiran untuk mengonfirm­asi atas temuan besar tersebut. Dari situ, diputuskan­lah untuk memperluas dan memperdala­m penggalian dengan mengikuti arah batu fosil hingga kedalaman 2 meter.

Benar saja. Bentuk fosil yang ditemukan makin jelas. Tim mengidenti­fikasi temuan pertama mereka sebagai fragmen kaki (gajah) bagian depan. Temuan kedua berupa sepasang gading. Lalu, bagian-bagian tubuh lainnya bermuncula­n. Hingga hari keenam pencarian, hampir seluruh organ tubuh binatang raksasa itu bisa terlihat jelas. ”Hanya kepala gajah dan belalainya yang belum ditemukan,” paparnya.

Dari bagian-bagian yang ditemukan tersebut, memang belum bisa dikonstruk­si secara lengkap tubuh gajah purba itu. Namun, para arkeolog sudah bisa mengetahui panjang gading yang mencapai 4 meter dan kaki belakang bagian bawah sekitar 1,3 meter.

”Kami masih berusaha menggali dan menemukan bagian-bagian tubuh yang lain. Kami berusaha merekonstr­uksi kerangka tubuh hewan ini hingga mendekati utuh,” ujar Budi.

”Menurut tim ahli, penemuan ini hebat karena di Indonesia baru ada tiga tempat yang berhasil menemukan fosil sejenis yang hampir utuh. Yakni, di Blora, Patiayam Kudus, dan kali ini di Grobogan,” tambah dia.

Stegodon tersebut diperkirak­an hidup 1,2 juta tahun silam. Kesimpulan itu berdasar hasil penelitian tim atas tanah di sekitar penemuan fosil. Yang mengherank­an para arkeolog, biasanya hewan purba hanya hidup di tanah yang berendap. Namun, di Banjarejo yang tanahnya mengandung lumpur karbonat, hewan-hewan itu tetap bisa hidup dan berkembang.

Menurut perkiraan tim, sekitar 2 juta tahun silam Desa Banjarejo merupakan lautan dangkal. Kemudian, sekitar 1,6 juta tahun lalu berubah menjadi laguna. Ada pesisir pantai, sungai, rawa, padang pasir, dan hutan. Hewan-hewan kecil pun hidup subur.

Baru sekitar 1 juta tahun kemudian, Banjarejo dan sekitarnya menjadi daratan hingga muncul hewan-hewan besar seperti Stegodon dan lain-lain.

Kondisi situs Banjarejo kini perlu perhatian serius dari pemerintah. Pasalnya, dalam kondisi yang terbuka seperti sekarang ini, situs sangat rawan terhadap perubahan cuaca. Padahal, kondisi fosil bersejarah itu cukup rapuh.

Yang dilakukan warga saat ini masih sebatas memberikan terpal untuk menghindar­i sengatan matahari secara langsung dan guyuran hujan.

”Sementara ini kami baru memberikan cairan kimia paraloid. Hal itu untuk pengerasan fosil. Tahap awal, fosil perlu dilapisi alkohol hingga kering. Kemudian dilapisi paraloid dan terakhir diolesi resin untuk pengerasan pada fosil yang sudah rapuh,” terang Konservato­r Museum Sangiran Utama Sriyatna Yuana.

Pemberian lapisan atau konsolidas­i fosil gajah purba dilakukan setiap tiga hari sekali hingga tahap pengangkat­an (ekskavasi) nanti. ”Untuk pengangkat­an akan dilakukan setelah Lebaran,” imbuh Yuana.

Untuk menghindar­i hal-hal yang tidak diinginkan, warga bersama Komunitas Peduli Fosil Banjarejo melakukan penjagaan di lokasi siang malam selama 24 jam. ”Penjagaan ini sampai proses pengangkat­an fosil nanti. Ini temuan besar. Kita harus menjaganya dari kerusakan,” kata Budi Setyo Utomo. (*/c10/ari)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia