Berdalih Tutup Biaya Operasional
Pengakuan Tersangka OTT Kantor Pertanahan
SURABAYA – Bak bola salju yang menggelinding, kasus operasi tangkap tangan (OTT) Kantor Pertanahan Surabaya 2 (KPS 2) yang mengemuka sejak sepekan silam mulai menyenggol beberapa pihak. Mulai pekan depan, polisi akan memeriksa para pemohon sertifikat yang tanahnya akan diukur.
Kasatreskrim Polrestabes Surabaya AKBP Shinto Silitonga menyatakan, agenda pemeriksaan itu akan dimulai pada Senin pekan depan (19/6). Rencananya, polisi memanggil beberapa pihak lagi. Antara lain, nama-nama pemohon pada 12 berkas permohonan ukur yang disita petugas. ’’Kami akan periksa lagi mereka (Bayu dan sejumlah pemohon, Red) mulai Senin depan,” katanya
Polisi asal Medan tersebut menuturkan bahwa hasil sementara penyidikan kasus yang melibatkan lima pegawai KPS 2 itu masih belum menemukan aliran dana tersebut. Sebab, tidak ditemukan rekening lain yang sempat diduga menjadi cabang penerimaan dana pungli. ’’Mereka ternyata mainnya cash,’’ ujarnya.
Setiap ada transaksi yang masuk ke rekening itu, selang beberapa hari kemudian, ada sejumlah dana yang ditarik tunai secara bertahap. Nilainya bervariasi. Polisi juga sempat bertanya-tanya tentang pemanfaatan uang tersebut. ’’Kami masih belum memerinci untuk apa saja itu. Untuk pengeluarannya, recehan sampai puluhan juta juga ada,” ungkapnya.
Alumni Akpol angkatan 1999 tersebut membeberkan beberapa hal penting. Berdasar pengakuan tersangka, pungli itu dilakukan karena anggaran operasional minim. ’’Mereka yang cerita,’’ ucapnya.
Kepada penyidik, Chalidah Nazar dan Bayu Sasmito, dua tersangka OTT di KPS 2, menjelaskan bahwa selama ini kegiatan lapangan membutuhkan dana yang tidak sedikit. Namun, anggaran yang diterima bagian pengukuran ibarat besar pasak daripada tiang.
Mereka berdalih kepada penyidik bahwa pungli tersebut ditujukan untuk menutupi kurangnya dukungan anggaran untuk operasional seksi ukur KPS 2. ’’Kata mereka, anggarannya kurang, makanya narik pungli itu,’’ kata Shinto. Perincian operasional yang seperti apa? Shinto belum mau menjelaskan. ’’Hal tersebut menjadi bagian dari penyelidikan kami, masih belum bisa saya sebutkan,’’ tambahnya.
Sejak kasus itu terkuak pekan lalu, muncul beragam dugaan yang mengemuka ke publik. Antara lain, dugaan keterlibatan sejumlah oknum notaris atau pejabat pembuat akta tanah (PPAT). Rupanya, polisi juga sigap menyadari. Salah seorang notaris yang menjadi pemohon salah satu berkas yang disita polisi dipanggil ke polrestabes untuk dimintai keterangan.
’’Ada satu notaris/PPAT yang kami panggil,’’ tutur Shinto. Dia diperiksa penyidik lantaran terdaftar sebagai pemohon pada empat berkas yang disita polisi. Kepada penyidik, dia mengaku sempat meminta percepatan pengurusan peta ukur kepada Chalidah. Namun, kepada penyidik, dia mengaku tidak menyetorkan sejumlah dana tambahan di luar PNBP.
Sementara itu, Ketua Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (IPPAT) Surabaya Sitaresmi Puspadewi tidak sepakat dengan tudingan bahwa notaris atau PPAT terlibat pungli KPS 2.
Dia merasa urusan yang ditangani PPAT maupun KPS berada di ranah yang berbeda. PPAT hanya membuatkan akta. Setelah itu, klien diminta mendaftarkannya ke KPS 2. ”Bila dia (klien, Red) yang ngasih ke BPN, saya nggak ikut-ikut,” jelas perempuan yang memimpin IPPAT Surabaya sejak 2016 tersebut.
Selama ini, dia selalu menyarankan kliennya untuk melakukan pengurusan sendiri di kantor pertanahan. Biayanya jauh lebih murah. Namun, tidak semua kliennya memiliki waktu untuk mengurus sendiri. Karena itu, dia menagih biaya yang mahal.
Biaya tersebut digunakan untuk membayar pegawainya. Selain itu, dia menggunakan biro jasa profesional untuk pengurusan tersebut. Bila dikatakan pengurusan lewat notaris lebih cepat, menurut dia, hal itu relatif. Cepat atau tidaknya pengurusan bergantung pada keaktivan pemohon untuk selalu menanyakan progres ke petugas kantor pertanahan.
Menurut dia, jumlah petugas KPS 2 Surabaya tidak sebanding dengan permohonan pengurusan yang masuk. Terkadang surat-surat yang tidak aktif ditanyakan bisa tak diurus. Adanya mutasi pegawai hampir di seluruh jajaran juga membuat petugas baru harus mempelajari berkas itu mulai dari nol lagi. Hal tersebut membuat pengurusan semakin lama. Padahal, batas waktu pengurusan tanah sudah diatur. ”Meskipun sudah diatur, kalau pekerjaannya terlalu banyak, ya percuma,” ucapnya.
Solusinya, ungkap dia, kantor pertanahan harus segera menambah pegawai. Namun, upaya itu bakal berat karena hingga kini moratorium PNS belum juga dicabut. Sebaliknya, merekrut pegawai tidak tetap (PTT) juga berat. Sebab, anggaran yang dikelola KPS 2 tidak banyak. Yang paling realistis, menurut Sita, adalah penerapan sistem online. Sistem tersebut seharusnya diterapkan di seluruh layanan pertanahan. ”Kayak di Kemenkum HAM, semuanya serba- online. Bayarnya di bank, tidak perlu ketemu petugas. Yang enak ya kita,” jelasnya. (sal/mir/c20/git)