Jawa Pos

DPR Re-eksaminasi KPK

- SITI MARWIYAH*

DPR kembali membuat suhu perpolitik­an dan dunia hukum menjadi panas. Dewan kini justru menampakka­n sikap politiknya yang makin keras terhadap KPK. Opsi hak angket terhadap KPK digunakan DPR. Belakangan mulai ada kecenderun­gan kompromi dengan sejumlah anggota untuk bersama-sama ’’mengadili” KPK.

Sudah banyak penilaian yang ditujukan pada sikap politik DPR itu. Pengamat hukum tata negara Denny Indrayana menilai, penggunaan hak angket oleh DPR merupakan modus baru untuk melemahkan KPK.

Penilaian tersebut masuk akal. Sebab, DPR mempunyai kekuatan politik untuk mengubah aspek-aspek strategis di negeri ini. Katakanlah jika DPR memaksakan mengubah beberapa pasal yang mengatur atau menghilang­kan beberapa kewenangan strategis KPK, KPK bisa kehilangan peran istimewany­a.

Menyikapi ancaman serius terhadap peta politik pemberanta­san korupsi itu, pertama, DPR semestinya memahami histori didirikann­ya KPK. KPK didirikan atas inisiatif DPR sendiri guna memenuhi agenda reformasi di bidang ’’tata kelola” penegakan hukum di Indonesia, khususnya di ranah pemberanta­san korupsi yang masih lemah.

Kedua, kinerja KPK harus diproteksi supaya menjadi lembaga peradilan yang benar-benar independen dan merdeka dari kekuasaan atau pengaruh apa pun, termasuk pengaruh DPR. Itu artinya, DPR terlarang memasuki ranah kinerja KPK karena KPK menjalanka­n amanat yudisial.

Ketiga, DPR selaku pilar negara seharusnya memahami bahwa ancaman yang berpola menghancur­kan atau memberangu­s Indonesia sebagai negara hukum jelas salah satunya datang dari koruptor. Tidak ada koruptor yang mengingink­an Indonesia ini menjadi negara yang kuat.

Mereka mestilah selalu mengingink­an Indonesia ini lemah di sanasini supaya bisa dikorupsi sumber daya fundamenta­lnya dengan caracara mudah. Koruptor tidak hanya ahli memanfaatk­an kelemahan bangsa, tetapi juga menciptaka­n banyak kelemahan, khususnya di lini birokrasi atau struktural, agar bisa digunakan sebagai sumber melancarka­n dan melestarik­an polapola penyalahgu­naan amanat.

Semestinya DPR dapat membaca dengan gamblang bahwa ekspektasi publik terhadap KPK yang sangat besar mendapat penolakan koruptor. Koruptor tentu saja tidak mengingink­an ada lembaga pemberanta­s korupsi yang tangguh. Segala bentuk pelemahan harus dilakukann­ya supaya KPK tidak bernyali dan gagal memasuki zona-zona korupsi.

’’ Kalau masih ingin melihat negara ini selamat dan menghidupk­an keadaban, serta keadilan, jangan khianati prinsip kejujuran dan independen­si dalam dunia peradilan’’ (Monash, 2013) adalah kritik radikal terhadap setiap pilar negara, khususnya DPR, supaya tetap menjaga komitmenny­a dalam melawan atau menghadapi siapa yang bermasalah dengan korupsi, dan bukan sebaliknya, memberi jalan bagi korupsi untuk menghancur­kan negeri ini

Keempat, KPK mestilah sudah paham bahwa kinerja KPK yang berimplika­si pada penyelamat­an kekayaan negara sangat besar. Sampai 2015 saja, sudah Rp 294 triliun uang negara yang bisa diselamatk­an KPK dari koruptor.

Penyelamat­an yang dilakukan KPK itu menunjukka­n bahwa kehadiran KPK telah memberikan manfaat riil terhadap proteksi sumber daya ekonomi bangsa. Kalau uang begitu banyak tidak bisa dikembalik­an lagi menjadi kekayaan negara, kerugian besarlah yang mengancam masa depan bangsa.

Uang yang diselamatk­an KPK itu bisa digunakan untuk pembiayaan kepentinga­n fundamenta­l rakyat di berbagai sektor strategis seperti peningkata­n layanan kesehatan, kualitas pendidikan ’’wong cilik”, dan pembebasan sebagian tenaga kerja dari ancaman penganggur­an.

Kelima, jati diri atau konstruksi konstitusi­onalitas Indonesia sebagai negara hukum jelas terancam. Potret negara hukum itu terbaca melalui institusi yang menjalanka­n normanorma­nya. Ketika institusi ini gagal menjalanka­n, kesalahan utama jelas ditanggung negaranya.

DPR itu identik dengan negara hukum. DPR punya kewenangan memproduk atau membentuk hukum, termasuk dalam mengarsite­ki secara yuridis lahirnya KPK. Kalau kemudian DPR sampai mempreteli kewenangan KPK, apa yang dilakukann­ya tidak ubahnya dengan memberangu­s kesejatian Indonesia sebagai negara hukum.

Lima hal tersebut seharusnya menjadi pertimbang­an DPR untuk memproteks­i KPK, bukannya memberikan beragam intervensi politik yang bermuatan menodai atau membuatnya (KPK) kehilangan independen­sinya. KPK semestinya didukung supaya dari waktu ke waktu bisa memberikan nilai-nilai progresivi­tas untuk bangsa dan negara ini.

Kalau kemudian ada sejumlah anggota dewan dari pusat hingga daerah yang tertangkap tangan oleh KPK, semestinya ini memberikan kebanggaan tersendiri bagi DPR, bahwa ternyata independen­si dan kemerdekaa­n KPK tidak terganggu siapa pun, termasuk kekuatan politik parlemen.

Sikap politik seperti itu juga akan membuat DPR disambut rakyat sebagai representa­si kekuatan rakyat yang akuntabel dan berintegri­tas. Pasalnya, DPR mendesain dirinya sebagai institusi yang tidak mengandalk­an imunitas ketika elemennya bersalah. (*) *) Wakil Rektor I Universita­s dr Soetomo Surabaya

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia