Rumah Bolon yang Selalu Nyaman
Huta Siallagan tetap mempertahankan keeksotisannya di tengah gempuran rumah bergaya modern. Mereka tetap teguh merawat tradisi: perkampungan Batak warisan leluhur.
HUTA (Kampung) Siallagan terletak di Desa Ambarita, Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir. Menuju ke sana bisa menggunakan kapal motor. Dari Parapat, Kabupaten Simalungun, Huta Siallagan bisa ditempuh dalam 45 menit.
Keunikan Huta Siallagan sudah mencuat lewat tembok batu setebal setengah meter yang mengelilinginya. Seolah melindungi penduduk di dalamnya.
Menuju ke dalam kampung, pendatang harus menunduk saat melewati gapura. Pintu tersebut cukup pendek. Sekitar 1,5 meter. Lebarnya juga sekitar satu meter.
Di depan dan belakang pintu gapura terdapat dua patung berbentuk manusia. Patung hulubalang namanya. Yang dipercaya sebagai pelindung warga
dari berbagai bala. Patung tersebut sudah aus tergerus zaman.
Di dalam huta terdapat rumah bolon, rumah khas Batak Toba. Bentuknya nyaris seragam. Atapnya khas. Lancip di depan dan belakang dengan bagian tengah bubungan berbentuk cekung. Mirip perahu.
Rumah bolon tidak ditancapkan pada fondasi. Ada tiang-tiang kayu yang ’’dianyam’’. Saling silang, vertikal, dan horizontal. Sangat kukuh.
Di depan jajaran rumah itu ada bangunan berbeda. Bentuknya mirip dengan pondok di tengah sawah. Tanpa tembok. Empat tiang besar menyangga atap.
Adalah Gading Jansen Siallagan yang menjadi semacam pemandu sekaligus tetua di kampung itu. Beberapa orang bahkan menyebut dia sebagai pe milik kampung.
’’Silakan masuk. Ini memang pintu khas Batak,’’ ujar Gading, lantas mempersilakan para tamu memasuki rumah dengan pintu setinggi satu meter itu. Harus sangat membungkuk.
Suasana di dalam rumah seluas 4 x 6 meter tersebut cukup padat. Perabot rumah memenuhi setiap sudut ruangan. Ada kasur, televisi, laptop, dan beberapa potong pakaian. Semua terlihat lantaran di rumah bolon tidak ada sekat-sekat ruangan.
’’Rumah bolon ini untuk bersantai dan saat tidur malam saja,’’ jelas pria yang lahir 24 Maret 1956 itu. Sementara itu, aktivitas yang lain, misalnya mandi dan makan, dilakukan di rumah bagian belakang yang seperti rumah modern.
Bangunan rumah bolon yang elok itu tidak asli. Semua adalah bangunan ulang. Hasil restorasi. ’’Di Huta Siallagan, rumah bolon paling tua berusia 50 tahun,’’ tuturnya.
Itu terjadi lantaran kebakaran hebat yang melanda pada 1923. Seluruh rumah habis. Maklum, rumah bolon berbahan kayu dan beratap ijuk.
Rumah bolon yang saat ini ditempati sekitar 40 orang di Huta Siallagan memang lebih kecil ketimbang aslinya. ’’ Yang asli dulu panjangnya bisa sampai 15 meter,” tuturnya. Sentuhan modern juga ada di beberapa bahan yang digunakan untuk membangun sebuah rumah adat baru tersebut. Rumah itu dipaku. Atapnya berbahan seng.
Untuk merawat rumah berbahan dasar kayu rumbang tersebut warga melumuri tiang-tiang dengan menggunakan oli bekas. ’’Biar tidak ada rayap,’’ tutur salah seorang warga huta, Ubayati Siallagan. Menurut perempuan 46 tahun tersebut, proses itu dilakukan setiap enam bulan.
Itu dilakukan agar rumah peninggalan kakeknya tetap awet. Baginya, rumah bolon sangat khas. Nyaman di segala musim. Kalau panas, di dalam rumah terasa dingin. Sebaliknya, saat udara dingin, di dalam rumah tetap hangat. Di dalam rumah pun membuatnya terasa lebih nyaman. Lebih terlindungi. (Edi Susilo/c4/dos)