Pengembara Imajinasi yang Brilian
HENING Purnamawati adalah sebuah nama ikonik di jagat seni rupa. Dia adalah sedikit dari perempuan pelukis Indonesia yang namanya terpatri kuat di medan sosial seni rupa ( art world) di Indonesia. Dalam konteks perempuan pelukis jajaran angkatan 1980-an, Hening adalah nama yang memiliki aura estetik yang kuat.
Pelukis kelahiran Cimahi, Jawa Barat, 3 September 1960, itu, setelah menamatkan pendidikan di STSRI ”ASRI” Jogjakarta pada 1987, langsung hijrah ke Surabaya untuk memulai karirnya sebagai pelukis profesional. Sejak pameran tunggalnya kali pertama pada 1988 di Kota Pahlawan, namanya mulai dikenal sebagai pelukis yang memiliki talenta kuat dengan ideomatik karya yang mencitrakan sebuah invensi artistik-estetik yang khas. Yaitu, seni lukis surealistik-biomorfik. Kehadiran karyanya di dunia seni rupa bersamaan dengan tren seni lukis bercorak surealistik yang sedang mengemuka pada akhir 1980-an. Karena itu, namanya langsung melesat di jajaran pelukis yang bernapaskan surealistik.
Genre seni lukis surealistik yang muncul semarak pada 1980-an berpusat di Jogjakarta. Episentrumnya tidak lain adalah sejumlah pelukis lulusan STSRI ”ASRI” Jogjakarta seperti I Gusti Nengah Nurata (kelahiran 1956), Agus Kamal (1956), Effendi (1957), Ivan Sagito (1957), dan Lucia Hartini (1959).
Menurut penelitian Dwi Marianto (2001) dalam Surealisme Yogyakarta, Jogjakarta merupakan tempat paling memungkinkan tumbuh-suburnya gaya surealisme. Kecenderungan itu memiliki kemiripan dengan beberapa karya perupa surealis besar dunia yang dikenal oleh para pelukis Jogjakarta berkat reproduksi karyanya dan informasi tertulis melalui sejumlah buku sejarah seni dan monografi seni. Sumber-sumber informasi dan visual mengenai surealisme yang tereproduksi dalam buku-buku seni rupa impor tersebut lantas diolah kembali dan diberi ciri dengan warna dan karakter-karakter dari sumber-sumber lokal.
Di tengah bayang-bayang tren lukisan bercorak surealistik yang tumbuh subur di Jogakarta kala itu, tanpa disadari, Hening Purnamawati tersedot di pusaran genre tersebut. Tapi, dia bukan ikut-ikutan dengan tren seni lukis surealistik. Sebab, jauh sebelumnya, dia sudah jatuh hati dengan genre lukisan yang lahir dari kredo penyair Andre Breton di Prancis pada 1924 tersebut.
Ketika saya mewawancarainya untuk sebuah penelitian pada 2003, Hening mengatakan, ”Rasanya di gaya surealis cocok untuk menampung imajinasiku yang sering melompat ke dunia khayal. Dunia itu sering hadir di alam bawah sadarku, yang aku sendiri sulit melogikannya. Tetapi, aku sendiri tidak mengerti apakah lukisanku termasuk surealis atau tidak.”
Pelukis yang pernah memperoleh penghargaan dari Philip Morris Indonesia Art Award untuk sepuluh karya terbaik (1994) dan lima karya terbaik (1996) itu mengakui bahwa pengetahuan tentang surealisme diperolehnya dari membaca buku sejarah atau monografi pelukis surealisme dunia. Namun, dia menegaskan secara ideologis maupun dalam praktik berkesenian sama sekali tidak mengikuti prinsip-prinsip surealisme yang tumbuh di Barat.
Lukisannya, secara visual, memang tampak seperti gejala surealistik. Atau, lukisan-lukisannya dapat dikatakan sebagai kuasa surealistik. Dengan demikian, dapat dikatakan, lukisanlukisan Hening tidak ada hubungan langsung, baik ditinjau dari wacana maupun praktik perkembangan surealisme di Barat yang tercatat kuat sebagai arus utama seni rupa modern yang tumbuh pada 1918–1945.
Lukisan-lukisan Hening tampil dengan kerumitan garis, warna, bidang, bentuk, dan ruang yang menyatu untuk menggambarkan kesemestaan intuisi-imajinatif yang sering hadir secara repetitif, impulsif, dan melompat tak terduga ke alam khayali. Semua unsur visual diwujudkan secara organis dalam cita-rasa dinamis. Citra yang rumit dengan ragam olah bentuk imajinatif-fantastik, pada akhirnya memancarkan suatu pesona estetik yang khas Hening Purnamawati.
Lukisan karya pelukis yang tercatat, antara lain, di buku Indonesian Modern Art and Beyond (1997); Indonesian Women Artists: The Curtain Opens (2007); dan Modern Indonesian Art from Raden Saleh to the Present Day (2006 dan 2010) itu di pihak lain juga memunculkan karakter dekoratif dengan invensi visual yang bertolak dari cita rasa surealistik. Garis-garis imajinatif yang menciptakan bentuk-bentuk naif, aneh, dan misteri, semuanya tampil riuh, tumpang tindih dengan gradasi warna yang kaya dan dimensi perspektif yang berlapis, serta komposisi yang harmonis.
Lukisan Hening, dengan demikian bukan lukisan yang ’’meneror” secara visual dan tematik, tetapi lukisannya tampil dengan bahasa ungkap yang lembut, mengalir, dan imajinatif, tetapi tetap terasa kuat daya tariknya ke alam surealistik.
Karya Hening merupakan representasi monumental dari perempuan pelukis Indonesia yang tidak banyak jumlahnya. Lukisanlukisan terbaiknya yang diciptakan pada era 1990-an telah banyak dimiliki para kolektor dalam dan luar negeri.
Dalam konteks art market, Hening merupakan salah satu ikon pelukis yang banyak menikmati dampak boom seni lukis. Namun, gejala di art market itu ditanggapinya dengan rendah hati: ”Aku tidak membayangkan kalau lukisanku laku begitu besar dan aku bisa hidup berkecukupan dari lukisanku. Tapi, sebenarnya aku tetap tidak puas sebagai seorang perupa yang terus ingin kreatif. Pasar di satu sisi aku butuhkan, tetapi di sisi lain sering memenjarakan aku kepada keinginan pembeli.”
Kini sosok pelukis yang pernah bercita-cita kuliah hukum di Universitas Padjadjaran, Bandung, sebelum akhirnya memilih kuliah ke STSRI ”ASRI” itu telah berpulang ke alam keabadian. Dia meninggal pada 26 Juni 2017 pukul 22.57, setelah didera sakit diabet yang sangat akut. Dunia seni rupa kehilangan seorang pengembara imajinasi yang brilian, yang sulit dicari penggantinya. Selamat jalan, Kawan! (*) Djuli Djatiprambudi, pengajar dan peneliti seni rupa Unesa