Tamasya Menuju Mati
JAKARTA selalu menyenangkan pada tiap Lebaran. Jalanan lancar untuk beberapa hari, sampai nanti para pemudik kembali lagi. Beberapa mungkin membawa keponakan atau sepupu atau saudara ipar, dan ibu kota menjadi padat lagi. Lalu lintas merambat lagi. Dan kita cekcok lagi, melanjutkan keributan seperti semula.
Setahun berikutnya kita bermaafmaafan lagi –bersalaman dan meminta maaf lahir-batin kepada orang-orang yang kita jarang berhubungan. Mungkin kita tidak melakukan kesalahan terhadap mereka dan mereka tidak melakukan kesalahan terhadap kita; dengan mereka kita saling memaafkan. Kepada orang yang kita benci, yang kita anggap menjengkelkan, kita mungkin tidak merasa perlu saling memaafkan.
Sopir taksi yang saya tumpangi menanyakan kok saya tidak pulang ke kampung halaman. Saya mengatakan tidak tahu siapa yang harus saya maafkan, atau kepada siapa saya harus meminta maaf. Orang-orang di kampung masa kecil saya sudah pasti tidak memiliki kesalahan apa pun terhadap saya dan tidak perlu saya maafkan. Sebaliknya, saya juga tidak membuat kesalahan apa pun kepada mereka.
Ia tampak agak bingung dengan jawaban saya dan mengatakan bahwa saling bermaafan di hari Lebaran sebetulnya tidak harus ada yang bersalah. ”Sudah tradisi, Pak,” katanya. ”Pulang mudik setahun sekali. Bersilaturahmi dengan keluarga dan kawan-kawan lama, merawat hubungan baik dengan mereka.”
Ya, itu penting, kata saya. Kemudian, saya lanjutkan bahwa yang harus saling memaafkan sebenarnya adalah para pendukung Ahok dan para pendukung Habib Rizieq. Mereka sibuk bertengkar selama beberapa bulan dan saling mencemooh satu sama lain. Selain mereka, para pendukung Jokowi dan para pendukung Prabowo juga perlu saling memaafkan.
”Sampean sendiri kok tidak mudik?” tanya saya.
Ia bilang sudah dua tahun ini tidak pulang Lebaran karena situasinya sulit. Bertahun-tahun ia membawa taksi dan belakangan sering tekor karena penumpang kian sepi –kalah oleh transportasi online. ”Saya dulu mendukung Pak Jokowi dan sekarang, setelah Pak Jokowi jadi presiden, rezeki saya malah jeblok,” katanya.
”Kalau begitu, maafkanlah Pak Jokowi,” kata saya. ”Mumpung hari Lebaran.”
Pada saat turun, saya memberinya tip agak banyak, sebagai ucapan terima kasih karena telah mengingatkan saya mengenai dua hal. Pertama, saling memaafkan paling afdal adalah di hari Lebaran. Kedua, tidak perlu ada yang melakukan kesalahan untuk bermaafan di hari Lebaran.
Mungkin ia benar. Saya tidak yakin. Hanya satu yang saya yakini sebagai kebenaran, yaitu bahwa tujuan hidup setiap orang adalah mati. Setidaknya itu keyakinan saya sampai hari ini. Para ilmuwan masih terus mencari tahu adakah kemungkinan bagi manusia untuk hidup abadi. Mereka mencari tahu apa yang menyebabkan sel tubuh kura-kura berhenti menua setelah mencapai usia remaja sehingga binatang itu bisa berumur sangat panjang. Mereka meneliti apa yang membuat ubur-ubur tertentu bisa hidup abadi; dan kenapa hewan renik yang disebut beruang air ( tardigrade) tidak mati ketika dibawa ke ruang angkasa, meskipun tanpa pakaian dan helm astronot, dan bisa hidup lagi setelah diguyur air meski sudah mengering delapan tahun.
Sebelum ada perkembangan lebih lanjut dengan segala riset dan eksperimen ilmiah itu, saya tetap meyakini bahwa hidup yang kita jalani hari ini adalah tamasya di ruas jalan menuju mati.
Kita bisa menikmati perjalanan yang menyenangkan jika pikiran kita selalu tenteram. Kita bisa menikmati tamasya dengan penuh kegembiraan jika segala sesuatu berjalan sebagaimana yang kita harapkan. Tetapi, kadang kita harus bertemu dengan para berandal. Kita harus mengalami kejadian-kejadian yang tidak menyenangkan. Kita harus berhadapan dengan kawan yang berkhianat, berhadapan dengan orang yang menikam kita dari belakang, bertemu dengan makhluk kepala batu yang mengacaukan pikiran, dan sebagainya.
Ada orang-orang yang tahu cara membereskan rasa sakit dan kembali menikmati perjalanan yang menyenangkan. Ada yang tidak tahu caranya dan tetap menyimpan rasa sakit sampai tiba hari kematian.
Pada orang-orang dari kelompok terakhir, jalanan menjadi tidak mulus lagi setelah pelbagai kejadian yang memberikan rasa sakit. Mereka seperti harus menempuh rute berbatu-batu dan penuh bahaya.
Mungkin karena mereka tidak mampu memaafkan dan membuang dari pikiran apa yang memang seharusnya kita buang –kebencian, kemarahan, rasa kecewa, dendam, dan berbagai hal yang membuat pikiran gelap dan tempurung kepala selalu mendidih.
Tetapi, memang tidak mudah memberikan maaf. Itu hanya bisa dilakukan oleh orang kuat, kata Mahatma Gandhi. Kaum yang lemah tidak akan mampu melakukannya. Demikian pula meminta maaf. Dan, sekiranya saya mampu menjadi orang kuat, yang pertama-tama saya lakukan pada Lebaran ini adalah meminta maaf kepada diri sendiri atas kebiasaan buruk yang tidak kunjung bisa saya ubah. Anda tahu, lebih enak menyalahkan orang lain, lebih enak menyerang orang lain untuk setiap jenis kegagalan kita, seolah-olah mereka mengintip semua perencanaan kita, mengirimkan agen rahasia untuk memata-matai kehidupan kita, dan menyabot kita di tengah jalan.
Saya ingin meminta maaf kepada diri sendiri karena kadang-kadang tidak mampu menyadari kebodohan saya sendiri. (*) A.S. Laksana, cerpenis dan esais, tinggal di Jakarta