Guncangan Model Bisnis Baru
Rhenald Kasali menegaskan bahwa kita memasuki era Peradaban Uber. Model bisnis yang dulu kebanyakan owning
economy kini beralih menjadi sharing economy. KITA hidup dalam dunia yang sudah berubah jauh. Sudah amat berbeda, bergerak maju, setidaknya jika dibandingkan dengan era ketika kebanyakan dari generasi kelas menengah kita (yang saat ini berusia 40–50-an tahun) masih berada di usia sekolah.
Zaman di mana mesin ketik berbunyi ”ting…!” menjelang kertas berakhir. Era di mana pengiriman berita dilakukan dengan faksimile, pos, atau telepon di wartel. Atau masa ketika telepon rumah masih menjadi barang mewah yang membutuhkan waktu antrean berbulan hingga tahunan hingga pihak Telkom mengabulkannya.
Bolehlah Profesor Rhenald Kasali disebut sebagai pakar ”manajemen perubahan”, terutama sejak buku Change! karyanya menjadi buah bibir pada 2005. Padahal, itu bukanlah bukunya yang pertama.
Sebelumnya, pemilik gelar PhD dari University of Illinois at UrbanaChampaign, Amerika Serikat, itu pernah meluncurkan Sembilan Fenomena Bisnis (1997). Juga Membidik Pasar Indonesia: Segmentasi, Targeting, dan Positioning (1998) dan Sembari Minum Kopi Politiking di Panggung Bisnis (2001).
Kali ini sang profesor mengingatkan, era change dan cracking zone sudah bergerak amat cepat. Masih teringat, di era unjuk rasa besar-besaran taksi konvensional melawan taksi online menjepit pemerintah di tengahtengah, pesan viral Rhenald Kasali melejit dari percakapan satu telepon pintar ke telepon pintar lain.
Kuliah singkat itu berjudul Hati-Hati Sudden Shift, Fenomena Perubahan Abad Ke-21. Isinya menegaskan bahwa kita semua berada di era shifting. Lawan-Lawan yang Tak Terlihat
Kini, di buku barunya, Rhenald Kasali menegaskan bahwa kita tengah memasuki era baru yang disebutnya sebagai Peradaban Uber. Disruption terjadi.
Taksi online merajalela, mengalahkan taksi-taksi berlogo. Di bandara, petugas konter check-in sudah hampir tak ada lagi dan digantikan mesin. Pelayanan pun menjadi serba self
service dan lebih efisien. Produsen makanan olahan kehilangan pendapatan miliaran rupiah karena semakin banyak tukang sayur bersepeda motor yang mendatangi kawasan perumahan.
Secara singkat disimpulkan, model bisnis yang dulu kebanyakan owning economy kini beralih menjadi sharing
economy. Dunia lama yang identik dengan on the lane economy (menunggu pada antrean) berganti menjadi on demand economy (begitu diinginkan, saat itu juga tersedia).
Kalau dulu supply-demand tunggal, kini supply-demand- nya berjejaring. Kalau dulu dalam bisnis lawannya jelas, kini lawan-lawannya tak terlihat.
Ditegaskan Rhenald Kasali, era ini membutuhkan disruptive regulation, disruptive culture, disruptive mindset, dan disruptive marketing. Singkat kata, disruption adalah sebuah inovasi. Inovasi yang akan menggantikan seluruh sistem lama dengan cara-cara baru.
Disruption menggantikan pemainpemain lama dengan yang baru, menggantikan teknologi lama yang serbafisik dengan teknologi digital yang menghasilkan sesuatu yang benar-benar baru dan lebih efisien, juga lebih bermanfaat. Lebih singkat lagi, disruption adalah inovasi yang menjadi ancaman bagi incumbent.
Buku ini mengungkap jelas bagaimana kita mengendalikan antara kesempatan dan ancaman. Dari mencipta menjadi disruptor. Menghadapi ”anak muda yang galau” terbukti telah mengubah dunia dengan lahirnya Go-Jek hingga bisnis sosial semacam Kitabisa.com.
Profesor Kasali juga menegaskan, disruption telah dan harus terjadi dalam peran birokrasi. Dia mencontohkan bagaimana perhatian Presiden Jokowi pada perkembangan wisata kawasan Danau Toba, terutama dengan mengon-kan lagi penerbangan dari dan ke Bandara Silangit, Sumatera Utara. Menjadikan pemasaran Danau Toba sebagai sebuah disruptive marketing.
Sebagai jurnalis yang mengalami beberapa era shifting, saya merasa disruption terasa begitu cepat. Dari reporter radio yang melaporkan kemacetan lalu lintas melalui telepon menjadi wartawan koran dan media online. Lalu, masuknya platform social media menyebabkan platform lama ditutup hingga bergesernya kita ke era televisi digital dan menonton televisi lewat layar gawai saat ini.
Maka, saya tak bisa mengatakan tak setuju dengan kalimat penutup Profesor Rhenald Kasali di buku setebal 469 halaman ini: Perubahan kali ini tak bisa ditangkal dengan menyangkal atau sekadar menganalisis istilah. Kita perlu benar-benar memandang dengan jernih dan paham betul teori serta teknologi yang membuat sektor yang kita tangani ini terdisrupsi dengan perubahan. Lebih baik kita berdamai dan menciptakan cara-cara baru untuk menyambut era baru yang lebih inklusif pada hari esok. (*)