Jawa Pos

Arus Rantau

-

’’Kota dibanjiri orang udik, ngeluh. Tapi pergi ke kota disebut arus balik. Seolah-olah kotalah asal-usul mereka. Mestinya arus pergi atau arus rantau...”

’’ Ya, jangan apa-apa kamu protes to. Salaman mbok protes. Tidak salaman, cuma nyembah menangkup tangan di dada, kamu protes juga. Sekarang arus balik. Padahal sudah bagus. Maksudnya arus balik, ya, balik lagi ke perantauan...”

Salah satu cara mengusir kebosanan memang ngobrol ngalor-ngidul begitu. Apalagi dalam perjalanan ngetan-ngulon yang ndak kunjung menemu tujuan: Pesantren Sastrojend­ro.

Sastro sudah mewanti-wanti Jendro agar jangan kebablasan mengimani GPS. ’’ Lebih baik tanya-tanya orang di jalan,” begitu petuah Sastro menjelang berangkat dini hari tadi. Kecurigaan Sastro bahwa mereka kesasar meningkat setelah blusukan ngetan bali ngulon di sawah-sawah pelosok. Padahal, menurut yang pernah didengarny­a, Pesantren Sastrojend­ro itu letaknya tak jauh dari kota. Halah, cuma satu kiloan. ’’ Lagian GPS itu kan ndak harus

Global Positionin­g System to? Bisa juga mengikuti mazab banyak orang, Gunakan Penduduk Setempat... Ajak mereka ngobrol. Bangsa ini jangan sampai berkurang silarurahi­mnya gegara GPS,” tambah Sastro. Seraya mengusap-usap kepala botaknya ia ganti musik mobil dengan tembang lawas Sailing dari Rod Stewart:

I am saling ...I am sailing ... Home again ...’Cross the sea ...I am saling ...Stormy waters ...To be near you ...To be free....

Sebenarnya Jendro bukan tak mau ngobrol dengan orangorang Nusantara. Sudah lama mahasiswa teknik elektro ini risih dengan suara mbak-mbak navigator GPS yang datar tanpa ekspresi. Mau Jendro berjalan ke shiroothol yang benar mau- pun yang sesat, tetap saja suara mbak-mbak navigator itu tak mengandung rahman dan rahim. Persis ransum nasi kotakan. Pedas ndak, asin ndak. Bahkan hambar juga ndak.

Sementara mau ’’ Gunakan Penduduk Setempat” di udik, apalagi saat Lebaran ketika orang-orang rantau Jakara pada mudik, orang-orang udik sudah ketularan bahasa Jakarta-an: lo-gue. Manusia-manusia yang tadinya bilang inyong-rika, ayasumak, dapuranmu, ndes, cuk, dan lain-lain sudah terkontami­nasi menjelma lo-gue.

Jendro setuju akan prinsip ka- kaknya yang dosen antropolog­i. ’’Mereka yang punya kebanggaan daerah tak akan goyah diguncang oleh sapaan lo-gue dalam film dan sinetron karya ’ bedes-bedes’ Jakarta,” tegas Sastro, kakaknya.

Di Jember, konon kalau ada yang ngomong lo-gue dikomentar­i, ’’Halah, makannya blendrang tewel saja kok gaya-gayaan pakai

Keronconga­n bunyi perut kini melengkapi Sailing- nya Rod Stewart. ’’Tahan, ya, Jen,” Sastro menenangka­n Jendro. ’’Di pesantren biasanya tamu-tamu jauh dikasih makan. Kalau kita sudah kenyang di warung, nanti ndak enak... Mbadog saat kenyang ndak ilok. Tapi ndak njeglak juga ndak sopan.”

Menjelang pukul 2 siang sampai sudah Sastro dan Jendro di Pesantren Sastrojend­ro. Dari ruang tamu lesehan ke ruang tengah ada tirai. Nah, dari balik tirai itu terpancar klutekan bunyi gelas dan piring. Sambil menunggu ditawari masuk untuk makan prasmanan, Sastro dan Jendro terlibat dalam perbincang­an hangat.

Tuan rumah senang. Sekarang makin berkurang SMS maupun WA dan BBM broadcast permohonan maaf lahir-batin. Banyak yang mulai menulis chat satu per satu dengan menyebut nama tujuan. Lebih menyentuh.

Karena tak kunjung ditawari makan, Sastro ngetes pamit. Siapa tahu dengan begitu tuan rumah akan tergopoh-gopoh bilang, ”Lho, kok kesusu. Makan dulu, ayo!” Jebul tidak. Mungkin tadi bukan bunyi klutekan gelas dan piring di meja, tapi suara santri korah-korah. (*) Sujiwo Tejo tinggal di www.sujiwotejo.net

 ??  ?? lo-gue.”
lo-gue.”
 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia