Jawa Pos

Makan Kerapu Hasil Perburuan Sendiri

Armand van Kempen memang memiliki sejuta kejutan. Selain jago mengendara­i ayah tiga anak tersebut ahli dalam mencari ikan. Dia memutuskan untuk mewarnai persinggah­an di Situbondo selama dua hari itu dengan berburu di bawah laut.

-

jet ski,

ARMAND tak bisa tinggal diam. Dia lebih memilih menangkap ikan ketimbang harus memulihkan diri setelah perjalanan dari Surabaya ke Situbondo. Rencana pun berubah. Dari yang sebelumnya beristirah­at sehari menjadi dua hari.

Di Situbondo, kami tinggal di base camp. Ranjangnya bersusun seperti barak tentara. Tempatnya persis di tepi pantai. Kamar tidur tersebut berada di dalam satu kontainer yang juga dilengkapi gudang, ruang makan, dan dapur.

Pada hari kedua persinggah­annya di Situbondo, Armand pun memutuskan untuk mengeluark­an salah satu alat yang digemariny­a

Yakni, speargun atau senapan tombak. Semacam harpun kecil. Pria yang tinggal di kawasan Gayungsari itu bahkan menyiapkan alat tersebut sebelum jet ski- nya menyentuh laut. ’’Makanan malam ini kami tembak sendiri,’’ ucapnya, sembari mendorong jet ski menuju ke laut.

Jam menunjukka­n pukul 08.00 ketika Armand dan krunya beranjak ke laut. Tim kembali dibagi menjadi tiga kelompok sesuai jumlah jet ski.

Selain itu, dia mengeluark­an pelampung bulat. Mirip donat. Hanya, tengahnya tidak bolong. Pelampung berdiamete­r sekitar 5 meter itu dilengkapi pegangan di setiap sisi.

Nah, cara mainnya, dua hingga tiga orang akan tiduran di atas pelampung tersebut. Dengan posisi tengkurap, mereka berpeganga­n di setiap sisi ’’donat’’. Setelah mantap, pelampung itu diikat dengan tali yang dikaitkan ke jet ski. Whusss... Secepat angin, pelampung tersebut pun melaju.

Meski tidak terlihat berbahaya, sensasi itu cukup untuk merontokka­n jantung penumpangn­ya. Beberapa kru pun ditunjuk untuk menaiki pelampung tersebut. Armand tidak ingin seluruh anggota hanya berdiam dan tidak merasakan semua ’’wahana’’ yang disediakan­nya. ’’Tabita, ayo naik,’’ serunya.

Tanpa bisa menolak, Tabita Margaretha Mukti, salah seorang anggota rombongan jet ski Armand, langsung menaiki pelampung oranye itu. Kedua tangannya meraih pegangan dengan pasti. Dengan mulut sedikit komat-kamit, dia pun menyetujui perintah Armand. ’’Jangan Tabita, Om. Bisa rontok ini badan,’’ rengek gadis 16 tahun tersebut, berusaha menawar.

Setelah dikaitkan ke jet ski, pelampung itu diseret dengan kecepatan tinggi. Tabita tidak sendirian. Armand menemaniny­a. Di atas permukaan air, pelampung tersebut dikelokkan tanpa ampun. Ombak yang menghadang membuat ’’donat’’ itu melompat sekitar 1 meter ke udara.

Tak sampai lima menit, Armand pun mencelat. Pegangan yang menjadi tumpuannya ternyata tidak cukup untuk menahan beban tubuhnya. Seketika dia terlempar ke udara setelah jet ski yang menarik ’’donat’’ tersebut menukik tajam ke kanan. ’’Padahal, tanganku tadi udah sakit banget. Untung aja Om Armand yang jatuh,’’ celetuk Tabita setelah permainan rampung.

Selain kegiatan ekstrim, ’’donat’’ itu bisa difungsika­n untuk berbagai hal. Misalnya, sebagai wadah peralatan untuk menembak ikan. Sebab, jet ski yang dibawa mereka tidak cukup untuk membawa peralatan menangkap ikan.

Peralatan ’’perang’’ yang dibawa bermacam-macam. Selain speargun, Armand membawa tabung oksigen, masker diving, dan snorkel. Itu merupakan peralatan dasar yang digunakan untuk mencari ikan di bawah permukaan air. Bukan hanya itu, skill tinggi dibutuhkan untuk mencari ikan di bawah laut. ’’Kudu ngerti caranya juga,’’ kata pria kelahiran Surabaya tersebut.

Kuncinya memang hanya satu. Yakni, memanfaatk­an kesempatan yang ada di depan mata. ’’Manfaatkan arah kita datang saat bertemu ikannya itu,’’ imbuh Armand.

Para penyelam tersebut tentu datang dari atas permukaan laut. Setelah menentukan titik untuk mencari ikan, penyelam itu akan terjun ke bawah laut untuk mencari ikan. Nah, kesempatan tersebut harus dimanfaatk­an dengan maksimal. ’’Ikan itu pandangann­ya hanya ke depan. Kalau ada benda yang datang dari atas, dia pasti tidak sadar,’’ jelas pria yang lama hidup di Malang itu.

Dengan semangat, dia langsung nyemplung untuk membuktika­n teorinya. Hanya berbekal satu tabung oksigen dan masker di wajah, Armand menyelam. Setelah setengah jam, pria kelahiran 1973 tersebut tak juga muncul.

Alhasil, kami pun harus menunggu di atas jet ski. Namun, menunggu di lautan ternyata asyik. Hamparan laut yang menyentuh cakrawala ada di sisi kiri kami. Di sebelah kanan, ada hamparan hijau pepohonan di daratan. Bukit Putri terlihat berdiri megah. Matahari yang berada tepat di atas ubun-ubun membiaskan air laut menjadi hamparan kaca bening berwarna biru.

Tak seperti perairan di Surabaya, laut Situbondo cenderung bersih dari sampah. Saya bahkan bisa melihat ubur-ubur yang menari dan menyambang­i saya beserta rombongan. Ikan-ikan kecil serasa tak ingin kalah. Mereka berkeriapa­n tepat di bawah jet ski yang kami naiki.

Perlahan tapi pasti, kepala Armand menyembul ke udara. Wajahnya ditekuk. Seperti sedih. Air muka seluruh kru yang sedang menunggu pun berubah muram, termasuk saya. Wah, nggak jadi makan ikan, nih!

Tiba-tiba, Armand mengangkat tangan kanannya ke udara. Speargun yang dibawanya sedari tadi ikut menyembul ke udara. Di ujungnya ada ikan cokelat dengan bintikbint­ik hitam. Ikan kerapu!

Seluruh rombongan bersorakso­rai. Akhirnya, keturutan makan ikan hasil tangkapan. ’’Duh, tadi ada kerapu tikus. Cepat banget. Aku nggak bisa mengimbang­i,’’ kata Armand setelah naik ke ’’donat’’.

Penasaran, Arie van Kempen, saudara Armand sekaligus kru, memutuskan meluncur ke bawah. Setelah memakan waktu yang lebih lama ketimbang Armand, penyelaman­nya pun berbuah manis. Arie berhasil mendapat ikan impian Armand. Yakni, kerapu tikus.

’’Meskipun semua tangkapann­ya dijumlah, terus dijual, masih mahal ikan yang saya tangkap. Gimana dong, sekilonya saja Rp 900 ribu,’’ ujar pria asli Kalimantan itu.

Sekilas, ikan Arie tak jauh berbeda dengan ikan Armand. Hanya, kerapu tikus punya moncong yang lebih panjang. Bentuk moncong tersebut menyerupai mulut tikus, yang memang maju beberapa sentimeter.

Rasanya, jangan ditanya. Ini kali pertama saya memakan ikan mahal itu. Di balik kulit perkasanya, daging ikan tersebut sangat empuk. Cocok sekali dengan sambal yang dibuat kru Armand.

Total, perburuan hari itu menghasilk­an tiga ikan. Sebab, Armand kembali menyelam dan mendapat ikan berukuran 15 sentimeter. Mirip bawal, tapi lebih gede. Namanya mubara sersan mayor.

Ikan tersebut memang punya keindahan yang khas. Saat sinar matahari membias di kulitnya, garis kuning dan hijau membentang di sepanjang badannya. Bentuknya mirip pangkat sersan mayor. ’’Memang harus dibiaskan ke matahari, baru keliatan,” imbuh Armand.

Pengembang­biakan ikan di laut Situbondo itu sejatinya adalah garapan Armand. Setelah menandaska­n tiga ikan, pria yang lama tinggal di Malang tersebut berbicara tentang keprihatin­annya. Yakni, masyarakat tidak bisa mengolah kekayaan alam sekitar. ’’Di satu titik tempat kita cari ikan tadi saja sudah besar-besar ikannya. Apalagi di titik lain di sekitar sini,’’ ujarnya, geram.

Menurut observasi Armand, masyarakat lebih memilih jalan pintas dalam mengelola potensi alam. Mereka lebih suka menjual benih ketimbang mengembang­biakkan sendiri. Harga jual benih memang menggiurka­n. Satu botol minuman air kemasan berisi benih ikan bisa berharga ratusan juta rupiah.

Namun, mengembang­biakkan ikan sejatinya adalah kebanggaan tersendiri. Masyarakat bisa lebih tahu cara mengolah alam yang sangat kaya. ’’Jadi, supaya nggak dibodohin terus, bahan-bahan mentah kita jual ke orang lain,’’ gerutu pria yang sudah lama bergelut di dunia pengeboran minyak tersebut.

Karena itu, Armand mulai merintis usahanya dari nol. Tempat yang dibuat singgah tersebut merupakan base camp usahanya. Yakni, mewujudkan tempat alami pengembang­biakan ikan.

Di sekitar situ, Armand membuat rumpon. Rumpon adalah sebuah ekosistem yang sengaja dibuat sebagai tempat tinggal ikan. Armand merakit rumpon itu dari bahan yang sangat ramah lingkungan, yaitu bambu. ’’Orang-orang buat rumpon biasanya dari besi. Sebentar saja bisa karatan. Kalau bambu kan tidak,” jelasnya.

Meskipun begitu, buah manis tersebut belum bisa dipanen. ’’Mungkin dua atau tiga tahun lagi sudah bisa panen,’’ ujar pria yang juga bergelut di bidang pengangkut­an kapal bekas di perairan itu.

Seiring dengan berjalanny­a waktu, ekosistem akan terbentuk dari rumpon yang disebar. Otomatis, Armand bisa leluasa memasang keramba di atas rumpon-rumpon yang diciptakan­nya. Jika rencananya berjalan mulus, setiap bulan Armand bisa panen. Ikan-ikan tersebut rencananya disortir untuk dikirim ke luar negeri. ’’Menurut orang, laut itu misteri. Menurut saya, laut itu potensi,” kata Armand, lantas menggesek-gesekkan jempol dan telunjukny­a sembari meringis… (*/c18/dos)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia