Jawa Pos

Jumlah Perampok Anak-Anak Masih Tinggi

-

SURABAYA – Kejahatan jalanan masih menjadi momok bagi warga metropolis. Pada paro pertama tahun ini, tercatat ada 91 perkara pencurian dengan kekerasan (curas) yang dilimpahka­n ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Surabaya. Lebih dari 30 persen pelakunya anak-anak.

Kepala Kejaksaan Negeri Surabaya Didik Farkhan Alisyahdi mengakui adanya kenaikan perkara anak. Khususnya pelaku curas. Pada awal tahun ini, kebanyakan perkara curas mengombina­sikan pelaku dewasa-anak.

Awalnya pelaku dewasa bergandeng­an dengan pelaku anak,’’ ujarnya.

Namun, akhir-akhir ini tren itu bergeser. Anak-anak tidak lagi ikut dengan orang dewasa. Tidak jarang, joki maupun pemetik masih anak-anak. Bahkan sudah ada yang bisa mengadopsi cara mencuri menggunaka­n kunci T,’’ lanjut pria asal Bojonegoro itu.

Melihat fenomena tersebut, Didik menyatakan sedikit dilematis. Pihaknya susah menentukan tuntutan. Di satu sisi, kejahatan yang dilakukan sangat merugikan korban. Di sisi lain, pihaknya terbentur aturan. Berdasar aturan, anak tidak bisa dipidana tinggi. Batasnya 1/3 dari hukuman maksimal. Untuk pelaku dewasa sudah kami tambahi, minimal 8 tahun tuntutanny­a. Kalau anak, kadang susah juga,’’ ucapnya.

Sementara itu, kriminolog Kristoforu­s Laga Kleden mengungkap­kan bahwa fenomena itu menjadi bukti bahwa anak bukan lagi subyek yang terlibat. Melainkan sebagai pelaku langsung. Anak-anak sudah mengenal kejahatan,’’ katanya.

Fenomena tersebut sekaligus menjelaska­n bahwa kejahatan yang dilakukan orang dewasa berdampak pada anak-anak. Anakanak yang terpapar informasi cara berbuat kejahatan punya keinginan meniru. Mungkin, mereka tidak tahu dampak hukumnya. Apa yang dilakukan pelaku kriminal dewasa menjadi cermin bagi mereka,’’ jelasnya.

Karena itu, peningkata­n hanya dari segi kuantitas. Kualitas tidak. Artinya, para pelaku anak belum berupaya menciptaka­n modus baru. Hanya meniru,’’ tegasnya.

Lalu, apa faktornya? Menurut Kristo, ada faktor pemicu dan penentu. Pergaulan, kondisi daerah, atau kekosongan mental bisa memicu anak-anak untuk berbuat kriminal. Penentunya diciptakan karena ada ruang yang tercipta. Bisa juga diciptakan korban itu sendiri,’’ paparnya.

Terkait dengan sanksi yang harus diberikan, menurut dia, perlu ada pertimbang­anpertimba­ngan khusus. Pelaku pidana anak tidak bisa diberi sanksi pidana sama dengan dewasa. Malah, aparat penegak hukum harus mempertimb­angkan masa depan mereka. Walaupun apa yang mereka lakukan berdampak luas terhadap masyarakat,’’ ungkapnya. (aji/c15/ano)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia