Tinggal Baudi Yang BElum Bebas
Dua tahun lalu Sidoarjo mendeklarasikan target menuju kabupaten bebas pasung. Faktanya, hingga kini, masih ada warga yang terbelenggu.
SIDOARJO – Pendaftaran peserta didik baru (PPDB) SMA/SMK jalur reguler di Kota Delta dimulai besok. Sekolah mewanti-wanti calon pendaftar agar tidak lupa dengan personal identification number (PIN). Sebab, pendaftaran jalur reguler tahun ini dilangsungkan secara online.
Wakil Kepala SMAN 3 Sidoarjo Bidang Kehumasan Sutrisno menyatakan, tahun ini pendaftaran SMAN baik satuan pendidikan penyelenggara sistem kredit semester (SPP-SKS) maupun tidak tanpa tes. Pendaftaran murni menggunakan nilai ujian nasional.
Karena prosesnya online, syarat utama mendaftar ad alah memiliki PIN untuk memilih sekolah. ’’Jangan sampai password PIN yang sudah diberikan hilang (lupa, Red),’’ katanya kemarin (1/7).
Sutrisno menjelaskan, PPDB jalur reguler SMAN tahun ini menggunakan sistem zona. Konsekuensinya, warga harus benar-benar memperhatikan zona sesuai dengan domisili atau kartu keluarga (KK) masing-masing. Pendaftaran yang sudah dilakukan tidak bisa diubah lagi.
’’Dari pertimbangan provinsi dan juknis (petunjuk teknis, Red) PPDB SMA/SMK memang agar tidak ada sekolah favorit,’’ tuturnya. (ayu/uzi/c15/pri)
SIDOARJO – Pendapa Kecamatan Tulangan belakangan ini tidak pernah sepi. Tamu dari beragam kalangan terus bergiliran datang. Di antaranya, dari PAC Fatayat NU Tulangan, PAC IPNU-IPPNU Tulangan, dan GP Ansor Tulangan. Para kepala desa (Kades) beserta perangkat direncanakan baru hadir dalam apel besar besok (3/7).
Selain sebagai ajang silaturahmi dan saling memaafkan, pertemuan itu diadakan untuk menjalin komunikasi dan kebersamaan di wilayah Kecamatan Tulangan. ”Kami maaf-maafan sekaligus koordinasi acara terdekat pada 16 Juli mendatang,” terang Ketua PAC Fatayat NU Tulangan Siti Khumairoh.
Camat Tulangan Abdul Wahib menyatakan, masyarakat tidak perlu sungkan kalau ingin mengadakan kegiatan yang positif di pendapa kecamatan. Dia justru menyambut dengan gembira. ”Mari bersama-sama melangkah agar desa-desa di wilayah Kecamatan Tulangan terus berkembang,” katanya. (uzi/c10/hud)
SIDOARJO memang pernah menjadi wilayah dengan kasus pasung yang cukup tinggi. Untuk menuntaskannya, berbagai upaya dilakukan pemerintah setempat. Mulai pendekatan kepada keluarga dan masyarakat hingga pengobatan intensif terhadap pasien. Apalagi, sejak 2015, Sidoarjo gencar membuat deklarasi menuju kabupaten bebas pasung.
Hasilnya, saat ini tersisa satu orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) yang terpasung. Dia adalah Mochammad Baudi. Warga Desa Entalsewu, Kecamatan Buduran, itu kini menjadi target tim pelaksana kesehatan jiwa masyarakat (TPKJM). Tim tersebut melibatkan dinas kesehatan, dinas sosial, puskesmas, pemerintah kecamatan, dan pemerintah desa.
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinkes Sidoarjo dr Idong Djuanda menyampaikan, tim kesehatan jiwa dari puskesmas telah memberikan terapi obat. Selain itu, mereka terus melakukan pendekatan terhadap keluarga Baudi dan warga di sekitar rumahnya. ”Target bebas pasung tahun ini. Jadi, terus diupayakan (Baudi, Red) bisa dilepas,” ungkapnya kemarin.
Idong berharap masyarakat bisa ikut memberikan terapi sosial yang baik terhadap ODGJ. Apalagi, angka ODGJ di Kota Delta tergolong tinggi, yaitu 1.467 jiwa. Warga juga diharapkan mau berkoordinasi dengan dinas sosial sebagai leading sector dari TPKJM. ”Jika memang harus dikirim ke RS Jiwa, bisa difasilitasi,” katanya.
Kasi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular dan Kesehatan Jiwa Dinkes Sidoarjo Qudrotin menyatakan, pasca-Lebaran para perwakilan dari 26 puskesmas se-Sidoarjo dan dinkes mengikuti pelatihan pelayanan kesehatan jiwa berbasis masyarakat di Kabupaten Jombang. Mereka akan dilatih langsung oleh tim dari Kementerian Kesehatan. ”Pelayanan kesehatan jiwa di Jombang sudah bagus. Bahkan, ODGJ juga diberdayakan,” tuturnya.
Melalui pelatihan tersebut, puluhan petugas kesehatan jiwa puskesmas akan belajar cara mendeteksi dini pasien gangguan jiwa. Termasuk, cara menanganinya dengan baik berbasis partisipasi masyarakat. Dengan begitu, ODGJ akan mendapat perlakuan yang baik di lingkungan keluarga dan masyarakat. ”Bukan hanya terapi obat, tapi juga terapi sosial,” ujarnya. (ayu/c24/pri)
kediaman Mohammad Aman di Desa Entalsewu, Kecamatan Buduran, begitu tenang kemarin (1/7). Pintu dan seluruh jendela terbuka lebar. Meski udara terasa sejuk, Mochammad Baudi, putra Aman, tampak berkeringat. Dia berada dalam suatu kamar. Telentang di atas lantai dengan napas sedikit tersengal.
Beberapa kali bungsu dari empat bersaudara itu mencakar lantai yang berlapis keramik. Seolah begitu kesakitan. Dia tak bebas bergerak. Sebab, kaki kanannya terikat seutas kain. Panjang kain itu tak lebih dari 2 meter.
Hampir tiga menit dia terdengar merintih dan meracau tak jelas. Setelah itu, dia tertidur pulas di lantai. Tidak ada perabot apa pun dalam kamar seluas 3 x 4 meter persegi itu. Hanya ada bantal dan karpet yang menutupi sebagian lantai.
’’Saya rutin ngasih obat. Periksa juga rutin. Tapi, anak saya tetep kayak gini. Mulai dokter sampai kiai di mana pun sudah saya kunjungi buat menyembuhkan anak saya,’’ kata Aman sembari mengusap-usap kepala Baudi.
Sejak usia 3 tahun, Baudi menderita psikosis. Semula semua tampak normal. Baudi tumbuh sebagaimana anak kecil pada umumnya. Hingga pada suatu sore, dia bermain di sekitar pemakaman desa bersama saudara dan teman-teman seusianya. Saat asyik bermain, dia terjatuh.
Sejak itu, Baudi menunjukkan sikap aneh. Dia suka memakan pasir dan batu. Dia juga kerap memukul orang-orang di sekitarnya tanpa alasan yang jelas. ’’Akhirnya saya kurung di kamar menunggu sampai sembuh,’’ ujar Aman.
Hari demi hari berlalu, Baudi yang kini berusia 19 tahun masih kerap kejang dan berteriak histeris. Berbagai upaya pengobatan telah ditempuh. Namun, hasilnya nihil. Orang tuanya kemudian terpaksa memasung Baudi. ’’Apa pun yang bisa menyembuhkan anak saya tak lakoni (saya kerjakan, Red),’’ ucap Aman.
Pada pertengahan 2007, Baudi sempat mendapat pengobatan intensif di RSJ Menur selama empat hari. Pihak keluarga dibantu pemerintah setempat membawanya ke sana. Sayang, sepulang dari RSJ Menur, tidak ada perubahan berarti pada Baudi. Dia masih kerap berteriak dan kejang. Dia juga suka mencakar-cakar tembok.
Pihak keluarga sebenarnya sudah disiplin memberinya obat. Baudi juga mendapatkan perhatian dari tim kesehatan. Dua bulan sekali tenaga kesehatan rutin menjenguk Baudi dan mengecek perkembangan kesehatannya. ’’ Sampek gak ngerti kudu piye (sampai tidak tahu lagi harus bagaimana, Red),’’ lanjutnya.
Aman pernah mengikuti nasihat dokter agar melepas pasung Baudi. Namun, Baudi selalu berupaya kabur. ’’Dia suka nyari sungai terus lompat ngikuti arus. Akhirnya, saya ikat lagi. Kalau dikunci di dalam rumah, barang-barang ya rusak semua,’’ tutur Aman yang siang itu duduk di samping istrinya, Wakiah.
Berdasar data Dinas Sosial (Dinsos) Sidoarjo, pada 2015, ada 13 warga Sidoarjo yang berada dalam kondisi terpasung, termasuk Baudi. Setelah mendapatkan pengobatan dan perawatan intensif, berangsur-angsur mereka pulih dan satu per satu terbebas dari pasung. Kecuali, Baudi. Kini dia menjadi satu-satunya warga Sidoarjo yang masih dipasung.
Kabid Rehabilitasi dan Pelayanan Sosial Dinsos Sidoarjo Wiyono menyatakan, proses penyembuhan seorang psikosis membutuhkan kerja sama dari berbagai pihak. Baik dari warga sekitar, pemerintah, maupun keluarga. Penyembuhan itu kerap memakan waktu yang tidak sama antara satu orang dengan yang lain. ’’Pemerintah sudah berupaya maksimal untuk membebaskan warga yang psikosis agar bebas pasung,’’ jelasnya.
Menurut Wiyono, keluarga memiliki peran inti dalam menyembuhkan seorang psikosis. Selain rutin menjalani proses pengobatan, keluarga harus memberikan kesempatan kepada anggota yang psikosis agar hidup bebas. ’’Seharusnya tidak boleh diikat dan dilatih menjadi orang yang normal,’’ lanjutnya.
Agar Baudi dapat sembuh dan terbebas dari pasung, pihaknya akan menerjunkan tim khusus. Mereka akan memeriksa perkembangan Baudi dengan lebih intensif. (jos/c17/pri)