Jawa Pos

Lingkungan Tingkatkan Risiko Janin

Semakin banyak anak berkebutuh­an khusus (ABK). Di Kota Pudak, faktor lingkungan berandil memberikan risiko kelainan bawaan pada bayi sejak lahir. Bukan hanya faktor genetik.

-

SATRIA Maghfir adalah satu di antara ribuan anak yang kurang beruntung di Kota Pudak. Buah pasangan Henny Candra dan Supriyanto itu mengalami agenesis corpus callosum atau kelainan sel otak. Tumbuh kembang bocah 6 tahun tersebut terhambat. Seharusnya, anak seusia Satria sudah bisa berlari ke sana kemari. Namun, nasib berkata lain. Jangankan berlari, untuk berdiri saja, kaki Satria belum bisa digunakan. ”Ke mana-mana pasti digendong,” jelas Henny.

Satria juga tidak mampu berbicara secara lancar. Dia hanya mengucapka­n beberapa kata seperti ”ayah” atau ”ibu”. Ketika haus, Satria memberikan dot kesayangan kepada ibunya agar diisi air.

Henny bercerita, saat hamil 8 bulan, dirinya terinfeksi virus toksoplasm­a. Satria mengidap penyakit kuning setelah lahir. Saat itu, keluarga mengang- gap nya biasa. ” Belum ada kecurigaan,” katanya.

Warga Manyarejo, Kecamatan Manyar, tersebut mulai curiga ketika anak pertama mereka berusia 4 bulan. Satria tidak juga bisa mengangkat kepala. ”Pada usia 7 bulan, dia kami bawa ke RSUD dr Soetomo. Satria mengidap ungkapnya.

Menurut dokter spesialis anak RS Petrokimia dr Natalia Erica Jahja SpA, agenesis corpus callosum tidak mutlak dise babkan vi rus toksoplasm­a. Apalagi, virus itu menyerang ketika usia kehamilan ibu sudah menginjak 8 bulan.

Agenesis corpus callosum merupakan kondisi ketika salah satu atau beberapa sel di dalam otak tidak tumbuh. Itu adalah jenis kelainan bawaan. ”Biasanya sudah terjadi pada tiga bulan pertama usia kehamilan,” ucapnya.

Dia menambahka­n, tiga bulan pertama kehamilan merupakan tahap awal pembentuka­n sel otak. Sel tidak tumbuh bisa jadi disebabkan terganggun­ya perkembang­an janin. ”Bisa karena obat atau zat berbahaya lain yang dikonsumsi ibu hamil,” ujar Erica.

Bukan hanya Henny yang dikaruniai buah hati dengan kondisi luar biasa. Sri Agustina Imawati juga harus bersabar dengan kondisi Safima Rodhotul. Anak pertamanya itu mengidap cerebral palsy (CP).

Bocah yang akrab disapa Sofi tersebut terlahir dengan penyakit kuning. Pada usianya yang sudah 17 tahun, motorik dan kognitif Sofi belum juga sempurna. Gerakan tangannya tidak teratur. Sofi pun belum bisa mengucapka­n kata-kata.

Tanda-tanda penyakit kuning sejatinya tampak sejak awal kelahiran. Namun, Sofi justru dipulangka­n perawat setelah dirawat tiga hari. ”Waktu itu disarankan berjemur saja,” tutur Ima, sapaan Sri Agustina Imawati.

Bukannya sembuh, penyakit kuning sofi justru semakin parah. Ketika diimunisas­i, dokter menyatakan bahwa penyakitny­a sudah menyebar ke otak. ”Setelah diperiksak­an ke dokter saraf di Surabaya, Sofi divonis mengidap CP,” jelas warga Jalan Kapten Dulasim tersebut.

Henny dan Ima sama-sama tinggal di daerah yang dekat dengan kawasan industri. Untuk memenuhi kebutuhan seharihari, mereka menggunaka­n air sumur. Mulai memasak air hingga mencuci peralatan makan. ( adi/ c23/roz)

 ?? ADI WIJAYA/JAWA POS ?? agenesis corpus callosum,”
ADI WIJAYA/JAWA POS agenesis corpus callosum,”

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia