Orang Malagasi Juga Mudik, Tahlilan Terjaga di Macassar
”Impor” dari Indonesia, negeri leluhur mereka, yang berupa kemiripan kosakata, prosesi pemakaman, dan keterampilan menenun bertahan di Madagaskar. Nun di Afrika Selatan, pekerjaan mayoritas warga Macassar sama dengan keterampilan khas etnis Bugis Makassar
PERTANYAAN dalam bahasa Inggris belum selesai dilontarkan saat pria itu dengan sopan menginterupsi
”Maaf, dalam bahasa Indonesia saja,” katanya, lalu tersenyum.
Permintaan tersebut tidak semata dilontarkan Richard Rakotonirina, pria itu, karena fasih berbahasa Indonesia. Tapi, katanya, lebih untuk menunjukkan kedekatan tanah airnya, Madagaskar, dengan Indonesia. Negeri yang dia percaya penuh sebagai negeri leluhur.
Kepercayaan yang bertahan berabad-abad itu, menurut Rakotonirina, diyakini semua warga Madagaskar. Plus didukung banyak penelitian valid. Juga jejak-jejak keseharian dalam kultur warga Malagasi, etnis mayoritas di negeri yang beribu kota di Antananarivo tersebut.
Mudik adalah salah satu contohnya. ”Kalau mau pulang kampung, kami bilangnya juga mau mudik,” kata mantan komandan Akademi Militer Antsirabe yang berkali-kali menimba ilmu kemiliteran di Indonesia itu.
Contoh lain dari sudut kemiripan bahasa lumayan berserak. Tangan, misalnya, dalam bahasa Malagasi disebut tanana. Putih di sini, di sana disebut fotsy. Lalu, pulau disebut nosy dalam kosakata Malagasi, mirip dengan nusa dalam bahasa Indonesia yang juga berarti bahasa.
Di Afrika, selain di Madagaskar, jejak-jejak Indonesia juga awet terjaga di Afrika Selatan (Afsel). Ada sebuah kota kecil di Provinsi Western Cape yang bernama Macassar. Di sanalah para keturunan pengikut Syekh Yusuf Al Makasari merawat berbagai ritual khas muslim di Nusantara.
Syekh Yusuf adalah pahlawan nasional asal Sulawesi Selatan yang pernah dibuang Belanda ke negeri di ujung selatan Afrika tersebut. ”Tiap ada warga muslim meninggal, kami juga mengadakan tahlilan,” kata Ebrahim Rhoda yang juga hadir dalam Kongres Dias- pora di Jakarta.
Kalau jejak Syekh Yusuf Al Makasari di Afsel bisa ditelusuri ke dekade terakhir abad ke-17, relasi Indonesia-Madagaskar berlangsung ratusan abad sebelumnya. Orang-orang Melayu Kalimantan pertama tiba di kepulauan tak berpenghuni itu pada 1.200 sebelum Masehi.
Kelompok awal tersebut diyakini terdiri atas sekitar 30 perempuan. ” Tapi, kami juga menduga ada beberapa pria Indonesia yang ikut dalam kelompok awal itu. Hanya, kami belum bisa pastikan berapa jumlahnya,” kata Murray Cox, peneliti dari Massey University’s Institute of Molecular BioSciences, Selandia Baru, kepada Discovery News.
Cox bersama para kolega meneliti sampel gen dari 2.745 individu dari 12 pulau di Indonesia. Mereka lalu mengomparasikan hasilnya dengan 266 individu dari tiga subetnis Malagasi. Yakni Mikea yang dikenal sebagai kelompok pemburu, Vezo yang nelayan dan seminomadic, serta subetnis paling dominan Andriana Merina.
Dari sanalah disimpulkan bahwa nenek moyang Malagasi adalah 30 perempuan Indonesia itu. Karena ditemukan pula kontribusi biologis minor dari Afrika, terang Cox, bisa jadi para perempuan tersebut berpasangan dengan pria Indonesia atau pria Afrika Timur.
”Banyak orang Malagasi yang memiliki tipe genetis sama dengan orang Indonesia,” kata Cox.
Hubungan kedua wilayah yang terpisah jarak 5 ribu mil laut itu kian intensif di era Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-8 dan ke-9. Sriwijaya merupakan penguasa jalur lalu lintas di Samudra Hindia.
Jejak pelayaran orang-orang Indonesia ke Afrika tersebut pernah dinapaktilasi pada 2003 melalui ekspedisi Kapal Borobudur. Kapal yang dibangun berdasar panel-panel di Candi Borobudur itu singgah di Madagaskar dengan tujuan akhir Ghana.
Relasi berabad-abad yang terawat sampai kini itulah yang membuat Rakotonirina selalu bersemangat ”mudik” ke Indonesia. Berkalikali pria berpangkat mayor jenderal tersebut ke negeri ini untuk berbagai keperluan.
Dia pernah menimba ilmu di Seskoad (Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat) dan Lemhanas (Lembaga Ketahanan Nasional). Director of studies di Centre d’etude Diplomatique et Strategique itu juga belajar bahasa Indonesia di Puspasa Kementerian Pertahanan di Bandung. ”Banyak sekali contoh budaya Indonesia yang masih bertahan di Madagaskar,” katanya.
Di Macassar, menurut Rhoda, warisan terbesar dalam sejarah setempat juga berasal dari Indonesia. Memang ada juga penyebar Islam di sana yang berasal dari luar Indonesia, misalnya Yaman.
Namun, yang mendominasi dan membuat Islam berkembang dengan begitu pesat di kawasan tersebut adalah imam dari Indonesia. ”Ada dari Jakarta, Sumbawa, dan beberapa daerah lain,” terang pria yang berprofesi sebagai ahli silsilah itu.
Syekh Yusuf, yang merupakan keponakan sultan Gowa, dibuang Belanda bersama para pengikutnya ke Afsel pada 1693. Sebelumnya, sejak 1684, dia dibuang ke Sri Lanka.
Macassar di Western Cape berpenduduk sekitar 33 ribu. Sampai sekarang, mayoritas warganya bekerja sebagai nelayan dan pembuat kapal. Sebuah keterampilan yang juga khas warga Bugis Makassar.
Rhoda mengaku punya catatan lengkap tentang sejarah kedatangan orang-orang Indonesia ke Macassar. Mereka pula yang sekaligus menyebarkan Islam di sana. ”Kalau tidak ada orang Indonesia yang membawa Islam, mungkin saya juga tidak (beragama Islam, Red) seperti ini sekarang,” tuturnya.