Heli Baru Basarnas Jatuh
Tiga Tewas, Lima Belum Ditemukan
JAKARTA – Nahas menimpa helikopter Basarnas kemarin. Dalam perjalanan memberikan pertolongan kepada korban letusan Kawah Sileri, Pegunungan Dieng, Jawa Tengah, helikopter jenis Dauphin itu jatuh menabrak lereng Gunung Batuk di Canggal, Candiroto, Temanggung
Tiga penumpang ditemukan meninggal dunia, lima lainnya belum diketahui nasibnya.
Heli milik Basarnas tersebut sejatinya tengah disiagakan di tol fungsional Gringsing, Batang. Disiapkan untuk membantu kondisi emergency arus mudik dan balik. Namun, begitu mendengar adanya kejadian bencana di Dieng pada pukul 11.54 WIB, kepala Badan SAR (Kansar) Semarang langsung meminta izin untuk mengirim bantuan ke lokasi.
”Pertimbangannya adalah jumlah korban yang cukup banyak dan lokasi yang jauh dari rumah sakit. Kansar minta izin ke saya untuk ikut mengevakuasi korban,” kata Direktur Operasi dan Latihan Basarnas Brigjen TNI (Mar) Ivan Ahmad Rizki Titus saat dihubungi kemarin (2/7).
Begitu mendapat persetujuan, tim yang terdiri atas delapan orang tersebut langsung bersiap-siap. Tim terlebih dahulu mengisi bahan bakar di Semarang, lalu menuju Dieng sekitar pukul 16.00 WIB.
Nahas, baru 17 menit terbang, heli tak dapat dikontak. Kantor SAR Semarang sempat terus berusaha menghubungi, tapi nihil. Hingga kemudian, heli dinyatakan jatuh karena menabrak tebing Gunung Batuk. Belum diketahui penyebab kecelakaan tersebut.
”Kita belum berani berasumsi. Yang jadi prioritas saat ini adalah evakuasi. Saya dan tim sudah di Temanggung dan menuju lokasi. Kira-kira 1,5 jam sampai ke sana,” ungkapnya.
Delapan orang yang menumpang helikopter itu adalah Kapten Laut Haryanto, Kapten Laut Li Solihin, Serka MPU Hari Marsono, Peltu LPU Budi Santoso, Muhammad Afandi, Nyoto Purwanto, Budi Resti, dan Catur. Sampai tadi malam, pukul 23.30 WIB, tiga korban yang berhasil dievakuasi adalah Nyoto, Budi, dan Catur. Ketiganya meninggal dunia.
Dihubungi secara terpisah, Ketua Bidang Pelatihan Tagana Jawa Tengah Petut Wibie menuturkan, kondisi medan jatuhnya helikopter cukup sulit untuk dijangkau. Jalur menuju lokasi diguyur hujan deras. Belum lagi, daerah kejadian yang merupakan perbukitan. ”Untuk lainnya masih belum. Kemungkinan mereka masih terjebak di badan heli,” ungkapnya.
Direktur Sarana dan Prasarana Basarnas Marsekal Pertama TNI Wahyu A. Djaja memastikan, kondisi heli yang digunakan untuk membantu proses evakuasi ke Dieng sangat layak terbang. Pasalnya, heli rakitan PT Dirgantara Indonesia itu baru dioperasikan pada 2015. ”Pesawat baru. Belum sampai 600 jam terbang,” ujarnya.
Saat kejadian pun, kondisi cuaca dilaporkan baik. Sehingga jarak pandang aman. Karena itu, Wahyu masih belum dapat memastikan penyebab kecelakaan yang menelan delapan korban tersebut. ”Sama sekali belum tahu. Kami akan lakukan penyelidikan lebih lanjut,” ucapnya.
Proses evakuasi, kata Wahyu, kemarin sudah dihentikan untuk kemudian dilanjutkan hari ini (3/7). Dia mengakui, evakuasi pada Minggu malam terhalang cuaca buruk. Ditambah lagi medan yang cukup berat. Sehingga terpaksa dihentikan sementara. ”Tim sudah bergerak ke lokasi,” katanya.
Untuk mendukung tim yang sudah di lokasi nanti, Basarnas telah menyiapkan satu buah heli Bell dan pesawat Cassa. Saat ini keduanya sudah disiagakan dari AL Surabaya.
Yang kian memilukan, insiden di Kawah Sileri seharusnya tidak perlu terjadi kalau warga dan pihak berwenang mematuhi arahan Badan Geologi Banjarnegara. Sejak April lalu Badan Geologi melarang warga mendekat ke radius 200 meter dari kawah. Namun, karena musim liburan, banyak yang nekat mendekat. Akibatnya, jatuh korban saat ada letusan.
Letusan Kawah Sileri kemarin sebenarnya bukan yang pertama sepanjang 2017. Setidaknya sudah dua kali terjadi letusan pada 30 April dan 24 Mei. Tapi, letusan itu tergolong kecil, berupa semburan lumpur dengan ketinggian 10 meter dan jarak 1 meter dari kawah.
”Larangan kepada warga untuk mendekat ke Kawah Sileri sudah disampaikan kepada pihak pengelola waterboom, camat-camat, di sekitar kawah-kawah Gunung Dieng, bupati Banjarnegara, dan BPBD Banjarnegara sebelum Lebaran,” ucap Kepala Badan Geologi Ego Syahrial.
Letusan Kawah Sileri itu sebenarnya tidak bahaya. Bagi warga sekitar adalah hal yang biasa. Namun, karena yang memenuhi area kawah adalah wisatawan, letusan tersebut menimbulkan kepanikan. Total ada 16 korban terluka dalam peristiwa itu.
Letusan tersebut dipicu endapan uap air dan penumpukan gas. Selanjutnya, gas itu mendobrak batuan dan tanah yang berada di atasnya. Letusan seperti itu biasa disebut letusan freatik. Letusan di Kawah Sileri mengeluarkan material lumpur dengan tinggi lontaran 50 meter dan jarak lontaran 125–150 meter dari pusat kawah.
Kepala Bidang Pengamatan dan Penyelidikan Gunung Api PVMBG Gede Suantika menjelaskan, jarak kawah dengan pusat wisata waterboom cukup jauh, sekitar 300 meter. Bila melihat data pos pengamatan Dieng, seharusnya lontaran tak sampai titik wisata. ”Tapi, para wisatawan ternyata mendekat ke bibir kawah. Padahal, sudah ada larangan mendekat hingga 200 meter dari pusat kawah,” jelasnya.
Ancaman erupsi freatik kawah tersebut, lanjut Gede, sejatinya berpotensi terjadi di seluruh gunung dengan status aktif. Misalnya Gunung Prau, Gunung Bromo, Gunung Raung, dan Gunung Papandayan. Pihaknya pun terus memantau perkembangan kondisi seluruh gunung tersebut. Dengan demikian, bila ada kenaikan, bisa langsung dilaporkan kepada pihak-pihak terkait untuk dilakukan antisipasi.