Jawa Pos

Harus Tetap Perhatikan HAM

-

DIREKTUR Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Supriyadi Widodo Eddyono mengakui, upaya memerangi terorisme memang tidak mudah. Revisi UU Terorisme yang memungkink­an perbaikan sejumlah ketentuan penanganan terorisme perlu dilanjutka­n oleh pemerintah dan DPR.

Namun, dia mengingatk­an, kerangka hukum penanganan tindak teror itu tetap mempertimb­angkan aspek hak asasi manusia (HAM). Dalam mengamati proses pembahasan di DPR, pihaknya menemukan sejumlah pasal yang berpotensi melanggar HAM.

Terkait dengan masa penahanan misalnya, perpanjang­an yang dilakukan sampai 760 hari. Itu sangat tidak efektif. Sebab, dalam regulasi sebelumnya, total waktu 470 hari yang sudah diberikan relatif tanpa persoalan.

’’Itu terbukti dari sistem peradilan pidana Indonesia yang masih mampu secara efektif melakukan penuntutan,” ujar Supriyadi saat dihubungi kemarin (2/7).

Apalagi, lanjut dia, rencana perpanjang­an tersebut tanpa dasar dan mekanisme pengawasan yang kuat. Saat ini mekanisme komplain hanya diakomodas­i dalam praperadil­an yang bersifat administra­tif sehingga tidak bisa dijadikan alat pengawasan.

Dalam masa tahanan, potensi penyiksaan terhadap tertuduh masih membudaya dan sangat terbuka terjadi. Berdasar catatan ICJR, sepanjang 2016, terjadi 19 kasus penyiksaan oleh aparat penegak hukum. Dari 19 kasus tersebut, 4 tersangka diduga meninggal dunia akibat penyiksaan. ’’Catatan pentingnya, mayoritas penyiksaan terjadi di kantor-kantor polisi dan tempat penahanan atau saat proses penyidikan,” tuturnya.

Potensi serupa terjadi dalam masa penangkapa­n. Supriyadi menilai, penambahan masa penangkapa­n dari 7 hari menjadi 30 hari yang disusun pemerintah tidaklah tepat. Sama dengan masa penahanan, dalam masa penangkapa­n juga rawan terjadi pelanggara­n HAM. ’’Melebihi waktu normal tersebut berpotensi adanya incommunic­ado atau penempatan seseorang tanpa akses terhadap dunia luar. Kondisi tidak adanya akses ini membuka peluang besar adanya penyiksaan.”

Selain itu, lanjut dia, pasal yang memberikan upaya penyadapan tanpa izin pengadilan perlu dikaji. Sebab, penyadapan merupakan bagian dari upaya paksa jaksa. Dengan begitu, hasil penyadapan tersebut bisa dijadikan sebagai salah satu alat bukti di pengadilan.

’’Penyadapan yang dilakukan tanpa melalui mekanisme izin ketua pengadilan sangat berpotensi disalahgun­akan dan melanggar hak privasi warga negara,” terangnya. Pada hakikatnya, pendekatan hukum harus dilakukan dengan praduga tak bersalah.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia