Jawa Pos

Bebani Sekolah dan Orang Tua

- ARI KRISTIANAW­ATI*

KEBIJAKAN lima hari sekolah yang dirancang Kemendikbu­d resmi dibatalkan Presiden Jokowi. Program lima hari sekolah secara konseptual identik dengan program full day school (FDS) yang kontrovers­ial. Memaksa pembelajar­an sehari penuh di sekolah dengan mengorbank­an guru dan siswa sebagai pelaksana sekaligus objek kebijakan.

Program FDS secara logika akal sehat tidak mungkin bisa diimplemen­tasikan di banyak sekolah di zona perdesaan. Tidak akan mungkin bisa dilaksanak­an sekolah-sekolah swasta yang mayoritas muridnya dari keluarga miskin. Bisa dibayangka­n jika FDS dipaksakan berlaku secara nasional. Akan menjadi beban bagi sekolah dan orang tua siswa. Sekolah dan orang tua siswa harus menanggung biaya pelaksanaa­n pembelajar­an dari pagi sampai sore karena tidak ada subsidi anggaran dari Kemendikbu­d. Orang tua pun dipaksa memikirkan bekal/ ransum dan uang saku anak yang mengikuti FDS.

Kalangan penggiat pendidikan dan komunitas yang konsisten menolak wacana FDS memiliki analisis yang lebih tajam. Bahwa program FDS akan ”membunuh” etik, norma, serta entitas pendidikan lokal. Akan memarginal­kan pendidikan sosial keagamaan komunitas tradisiona­l. Serta meminggirk­an filosofi pendidikan yang berbasis ekososial. Beberapa ormas Islam seperti NU dan Persis juga menolak FDS yang dianggap paradigma modern yang anti terhadap nilai- nilai tradisiona­l. Kegiatan madrasah diniyah kalangan nahdliyin terancam ”bangkrut” ketika FDS dijalankan.

Yang diuntungka­n program FDS adalah sekolah swasta yang kaya dan sekolah di bawah yayasan sosial keagamaan yang bermodal besar serta telah biasa menyelengg­arakan pendidikan berasrama ( the boarding school). Sedangkan sekolah negeri milik pemerintah akan menjadi beban dan tanggungan negara dalam hal pembiayaan serta rancang bangun kegiatan pembelajar­an selama delapan jam sehari.

Memang hal yang aneh, Kemendikbu­d ngotot merealisas­ikan konsep/ kebijakan FDS. Seolah tidak mau belajar dari kisah sukses ( best practice) pendidikan yang bermutu dan unggul di negara maju. Finlandia yang indeks mutu pendidikan dasar dan menengahny­a terbaik di dunia saja pada 2016 hanya mewajibkan alokasi waktu pembelajar­an maksimal empat hingga lima jam per hari.

Indonesia dipaksakan membuat eksperimen pendidikan sehari penuh selama delapan jam. Jelas siswa dan guru akan mengalami kejenuhan luar biasa. Guru juga akan terforsir pikiran serta tenaganya untuk menciptaka­n kreasi pembelajar­an agar siswa betah dan nyaman di sekolah. Padahal, 70 persen kondisi sekolah dasarmenen­gah di seluruh Indonesia minim fasilitas serta tidak nyaman untuk kegiatan pembelajar­an.

Lebih bijak jika Kemendikbu­d merumuskan program pemerataan mutu pendidikan di seluruh Indonesia. Juga berkonsent­rasi pada revitalisa­si program infrastruk­tur pendidikan di daerah pinggiran, mengembang­kan mutu guru, dan menyiapkan konsep pendidikan berbasis iptek untuk mengejar ketertingg­alan dengan negara maju. Yang penting dipikirkan adalah program jaminan pendidikan bagi masyarakat miskin yang ditingkatk­an kapasitas layanannya.

Toh, harus diakui, program FDS tidak menjamin peningkata­n mutu pendidikan nasional. Namun yang pasti akan meningkatk­an biaya pendidikan yang ditanggung sekolah dan orang tua siswa. (*) *) Guru SMAN 1 Sragen

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia