Bebani Sekolah dan Orang Tua
KEBIJAKAN lima hari sekolah yang dirancang Kemendikbud resmi dibatalkan Presiden Jokowi. Program lima hari sekolah secara konseptual identik dengan program full day school (FDS) yang kontroversial. Memaksa pembelajaran sehari penuh di sekolah dengan mengorbankan guru dan siswa sebagai pelaksana sekaligus objek kebijakan.
Program FDS secara logika akal sehat tidak mungkin bisa diimplementasikan di banyak sekolah di zona perdesaan. Tidak akan mungkin bisa dilaksanakan sekolah-sekolah swasta yang mayoritas muridnya dari keluarga miskin. Bisa dibayangkan jika FDS dipaksakan berlaku secara nasional. Akan menjadi beban bagi sekolah dan orang tua siswa. Sekolah dan orang tua siswa harus menanggung biaya pelaksanaan pembelajaran dari pagi sampai sore karena tidak ada subsidi anggaran dari Kemendikbud. Orang tua pun dipaksa memikirkan bekal/ ransum dan uang saku anak yang mengikuti FDS.
Kalangan penggiat pendidikan dan komunitas yang konsisten menolak wacana FDS memiliki analisis yang lebih tajam. Bahwa program FDS akan ”membunuh” etik, norma, serta entitas pendidikan lokal. Akan memarginalkan pendidikan sosial keagamaan komunitas tradisional. Serta meminggirkan filosofi pendidikan yang berbasis ekososial. Beberapa ormas Islam seperti NU dan Persis juga menolak FDS yang dianggap paradigma modern yang anti terhadap nilai- nilai tradisional. Kegiatan madrasah diniyah kalangan nahdliyin terancam ”bangkrut” ketika FDS dijalankan.
Yang diuntungkan program FDS adalah sekolah swasta yang kaya dan sekolah di bawah yayasan sosial keagamaan yang bermodal besar serta telah biasa menyelenggarakan pendidikan berasrama ( the boarding school). Sedangkan sekolah negeri milik pemerintah akan menjadi beban dan tanggungan negara dalam hal pembiayaan serta rancang bangun kegiatan pembelajaran selama delapan jam sehari.
Memang hal yang aneh, Kemendikbud ngotot merealisasikan konsep/ kebijakan FDS. Seolah tidak mau belajar dari kisah sukses ( best practice) pendidikan yang bermutu dan unggul di negara maju. Finlandia yang indeks mutu pendidikan dasar dan menengahnya terbaik di dunia saja pada 2016 hanya mewajibkan alokasi waktu pembelajaran maksimal empat hingga lima jam per hari.
Indonesia dipaksakan membuat eksperimen pendidikan sehari penuh selama delapan jam. Jelas siswa dan guru akan mengalami kejenuhan luar biasa. Guru juga akan terforsir pikiran serta tenaganya untuk menciptakan kreasi pembelajaran agar siswa betah dan nyaman di sekolah. Padahal, 70 persen kondisi sekolah dasarmenengah di seluruh Indonesia minim fasilitas serta tidak nyaman untuk kegiatan pembelajaran.
Lebih bijak jika Kemendikbud merumuskan program pemerataan mutu pendidikan di seluruh Indonesia. Juga berkonsentrasi pada revitalisasi program infrastruktur pendidikan di daerah pinggiran, mengembangkan mutu guru, dan menyiapkan konsep pendidikan berbasis iptek untuk mengejar ketertinggalan dengan negara maju. Yang penting dipikirkan adalah program jaminan pendidikan bagi masyarakat miskin yang ditingkatkan kapasitas layanannya.
Toh, harus diakui, program FDS tidak menjamin peningkatan mutu pendidikan nasional. Namun yang pasti akan meningkatkan biaya pendidikan yang ditanggung sekolah dan orang tua siswa. (*) *) Guru SMAN 1 Sragen