Jawa Pos

Tunggu Garam dengan Uang Utang

Siapa pun pasti berharap mendung segera berganti terang. Termasuk para petani garam di Surabaya. Kemarau panjang yang ditunggu-tunggu para petani garam itu akhirnya di depan mata. Matahari mulai terik, pertanda bahwa panen para petani segera melimpah. Mes

- (Galih Adi Prasetyo/c6/dos)

LADANG garam membentang di wilayah ujung barat Surabaya, tepatnya di Kelurahan Romokalisa­ri, Kecamatan Benowo. Di selatan kawasan tambak itu, sebentuk bangunan megah berdiri: Gelora Bung Tomo

Tak jauh di sekitar tersebut, ada bukit sampah milik TPA Benowo.

Kamis (22/6) hamparan ladang itu masih kosong. Belum ada garam. Namun, di sana sudah terlihat kehidupan. Sebuah rumah, atau lebih tepatnya gubuk, berdiri di antara hamparan ladang garam. Dindingnya terbuat dari gedek (anyaman bambu). Tiangnya bambu dan gentingnya tanah.

Lantainya tentu bukan keramik. Alas gubuk berukuran 3 x 7 meter persegi itu juga tanah. Di sanalah Saha bersama istri, anak, menantu, dan cucunya tinggal.

Gubuk itu berjarak 200 meter dari jalan raya. Pendek saja. Tapi, tak mulus. Untuk menuju gubuk, orang harus meniti pematang ladang garam. Harus hati-hati. Jaga keseimbang­an. Kalau tidak, kaki bisa ambles ke lumpur. Karena itu, lebih baik nyeker daripada pakai alas kaki.

Gubuk itu punya pendingin udara alami. Yakni, lewat lubangluba­ng kecil pada dinding gedek. Di situlah angin kerap menelusup masuk menyambang­i penghuni gubuk. ” Ya, gini kondisi rumahnya. Kecil dan sempit,” ucap Saha.

Gubuk Saha disekat menjadi tiga bagian. Ada ruangan berukuran 1,5 x 3 meter yang berfungsi sebagai dapur. Ruangan sisanya dibagi dua dengan sekat tripleks. Pintunya hanya sehelai kain mirip kelambu.

”Yang sebelah utara itu kamar anak dan menantu saya. Yang ini tempat saya tidur,” ujar istri Saha, Nainah, sambil duduk di atas kasurnya.

Saha adalah satu di antara puluhan mantongan yang datang ke Surabaya. Mantongan merupakan sebutan bagi penggarap lahan garam musiman. Mereka datang dari wilayah Madura, terutama Sumenep.

Ketika musim panas tiba, mantongan akan datang menemui petani garam di Surabaya. Dalam kerja sama tersebut, petani garam hanya pemilik lahan. Sementara itu, mantongan menggarap ladang garam. Mirip buruh tani yang tidak ikut memiliki areal persawahan. Penggajian­nya memakai sistem bagi hasil saat garam dipanen. Mantongan mendapat sepertiga. Sisanya untuk pemilik lahan.

Ketika sudah tercapai kesepakata­n, para mantongan akan tinggal di sebuah gubuk yang didirikan di tengah ladang. Bahannya seadanya. Yang penting bisa jadi tempat terlelap selama musim ladang. ”Biasanya, sampai bulan sebelas (November, Red) di sini,” ujar Saha, lelaki umur 65 tahun.

Tentu, rumah itu bersahaja. Listrik tidak ada. Saha memanfaatk­an aki dan lampu LED yang dilengkapi sel surya. ”Beli lampu LED yang bisa dicas (maksudnya di- charge atau diisi ulang, Red) dengan dijemur. Cuma Rp 45 ribu,” ungkap pria asal Kelurahan Mujikantan­g, Sumenep, Madura, itu.

Sebelum ada lampu seperti itu, kehidupan Saha saat malam hanya mengandalk­an ublik alias lampu minyak dari botol bekas minuman energi.

Mantongan selalu membawa keluarga. Terutama istri. Sebagai kawan, nge-cas, mungkin… ’’Kalau nggak ngajak istri, nggak bisa kerja,’’ ungkap Saha.

Nainah, istri Saha, punya andil besar selain urusan dapur. Saat musim panen, para istri ikut mengangkut garam dan menaruhnya ke karung. Nah, mantongan juga akan mendapatka­n penghasila­n dari upah mengangkut dan mengemas garam. Masing-masing punya perhitunga­n sendiri.

Selama bekerja, mantongan akan mendapatka­n pinjaman dari pemilik lahan. Besarnya Rp 200 ribu per pekan. Itu bekal makan dan minum. Saat panen, mereka totalan. Bagi hasil akan dikurangi utang.

Sekali produksi, setiap petak ladang garam menghasilk­an 125 karung. Per karung berisi 50 kilogram garam. ” Total sekitar 6 ton hasilnya,” ujar Saha.

Sekali musim garam, biasanya Saha membawa pulang duit Rp 10 juta. Itu pendapatan bersih setelah dipotong biaya hidup yang sudah dipinjami oleh pemilik lahan. ”Itu hasil di sini. Enam bulan,” ujarnya.

*** Saha berbelanja dua atau tiga hari sekali. Biasanya, ke Dusun Gendong yang masuk wilayah Kelurahan Romokalisa­ri. Mereka hanya perlu berjalan kaki lima menit dari gubuk. Di dusun itu pula, mereka membeli air untuk kebutuhan sehari-hari. Biasanya, mereka menghabisk­an empat jeriken air ukuran 50 liter setiap hari. Tiap jeriken air dibanderol seribu perak. Selain itu, mereka kerap berbelanja ke Pasar Benowo.

Tiap mantongan diberi jatah menggarap dua blok ladang garam. Setiap blok berisi 12–16 petak meja garam. Masing-masing berukuran 10 x 30 meter. Tiap blok itulah yang disebut sebagai mantong. ”Tiap petani biasanya dapat dua mantong,” ujar Saha.

Setiap hari Saha turun ke ladang mulai pukul 06.00. Biasanya, dia hanya memperbaik­i tanggul di sekeliling mantong. Kadang juga menyiapkan kincir untuk memompa air.

Kincir dengan baling-baling berukuran 3 meter itu bergerak dengan bantuan angin. Sistemnya sederhana. Saat berputar, kincir akan mengangkat air dari kanal masuk ke meja garam. ”Ini semuanya bikin sendiri. Tekniknya turuntemur­un dari dulu,” jelas Saha.

Mantong yang dikelola Saha berjarak cukup jauh dari laut. Sekitar 3–4 kilometer. Karena itu, mereka benar-benar memanfaatk­an air pasang. Kincir akan terus-menerus berputar dan menyedot air saat pasang. Beberapa mantongan bahkan menggunaka­n mesin diesel.

Secara tradisiona­l, produksi garam diawali dengan menyiapkan ’’air tua’’. Itu adalah istilah untuk air yang sudah punya kandungan garam sangat tinggi. Air tua tersebut didapatkan dari air laut yang dimasukkan ke ladang dan dibiarkan menguap. Sisa air yang tertinggal akan berkadar garam tinggi. ’’Tapi, airnya harus terus diawasi,’’ ungkap Saha.

Air tua itu setidaknya punya ukuran 21 baume (be). Itu adalah satuan untuk menunjukka­n kandungan garam dalam air. Semakin tinggi nilai be, semakin bagus. ’’Butuh satu bulan, biasanya air tua sudah jadi,’’ kata Saha.

*** Salah satu ciri khas kehidupan mantongan adalah saat malam tiba. Mereka tetap menikmati hidup tanpa listrik. Jauh dari keramaian. Sesekali terdengar klakson dari kendaraan yang melintas di jalan tol.

Kunang-kunang pun tak enggan melintas dan berkedip-kedip genit. Sungguh, pemandanga­n yang langka di tengah belantara beton Surabaya.

Malam itu, angin berembus kencang. Badan terasa mengerut. Menggigil.

Tidak lama, Nainah datang membawa minuman hangat. ”Ini khas Madura. Kalau ada tamu ke sini, pasti dikasih. Namanya wedang pokak. Bahannya asam jawa, gula jawa, dan jahe,” ujar Saha.

Suasana sangat temaram. Kamar Saha hanya diterangi cahaya ublik malam itu. Sebuah kelambu menutupi tempat tidurnya. ”Kalau nggak dikasih itu, ya nyamuknya banyak,” kata Nainah, perempuan 51 tahun itu.

Tidak ada hiburan yang bisa dinikmati. Selain hanya bercengker­ama dengan keluarga. ”Mau apa lagi? Paling cerita-cerita saja. Kalau ngantuk, ya lekas tidur,” ujarnya.

Mantongan bukan orang sembaranga­n. Mereka telah turuntemur­un mewarisi keahlian sebagai seorang pembuat garam. Proses pembuatan garam memang terlihat mudah. Tapi, prosesnya cukup panjang dan membutuhka­n kesabaran.

Apalagi saat musim seperti sekarang. Sulit memprediks­i apakah kemarau akan panjang atau tidak. ”Sekali kena air hujan, produksiny­a gagal,” ucapnya.

Ya, dengan tambahan hujan, air yang sudah kadung asin akan kembali tawar. Air tua itu akan kembali jadi ’’air muda’’.

Setelah musim garam berakhir, para mantongan akan kembali ke pekerjaan mereka sebelumnya. ”Kalau saya, jadi tukang becak sehari-harinya,” kata Saha.

 ?? GHOFUUR EKA/JAWA POS ?? SEJOLI MANTONGAN: Saha (kiri) dan Nainah, istrinya. Mereka merantau dari Sumenep, Madura.
GHOFUUR EKA/JAWA POS SEJOLI MANTONGAN: Saha (kiri) dan Nainah, istrinya. Mereka merantau dari Sumenep, Madura.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia