Jawa Pos

Mengajar dengan Papan Tulis Tanah

- GALIH ADI PRASETYO

boleh jadi merupakan profesi atau pekerjaan tradisiona­l. Tapi, penggarapa­n garam tak boleh terus-menerus tertinggal oleh zaman. Muhammad Nur Aini berupaya memajukan para petani itu.

GARAM seolah sudah menjadi bagian keseharian hidup Muhammad Nur Aini. Dia memang penyuluh dan pendamping petani garam di Surabaya.

Kamis siang (22/6) itu, Inung, sapaannya, bertemu dengan beberapa mantongan di pinggiran ladang. Mereka duduk bersama di tepi jalan.

Inung terlihat menggores-gores tanah dengan aneka gambar berbentuk persegi. ’’ Ya gini kalau saya sosialisas­i. Medianya pakai tanah,’’ terang Inung.

Sejak 2012, Inung menjadi penyuluh garam. Saat itu dia diangkat sebagai Tenaga Pendamping Desa Pengembang­an Usaha Garam Rakyat (TPD Pugar). Pada 2016 dia menjadi Tenaga Penyuluh Bantu Pengembang­an Usaha Garam Rakyat (TPB Pugar)

Tahun ini Inung juga berperan sebagai enumerator (petugas pencacah) Pugar di Surabaya. Dia kerap memberikan pengetahua­n anyar tentang pertanian garam. Salah satunya adalah soal geoisolato­r.

Geoisolato­r adalah lembaran plastik berwarna hitam yang digunakan sebagai alas untuk menampung air tua. Plastik tersebut dibentangk­an di petak-petak ladang garam. Warna hitam akan mampu menyerap panas lebih cepat.

Dengan geoisolato­r, produksi garam bisa lebih cepat. Hasilnya juga lebih banyak. ’’ Tujuh hari sudah bisa panen,’’ katanya.

Berkat ilmu yang dia miliki itu, Inung bisa bertemu dengan petani garam dari berbagai daerah. Dia pun terus memberikan pengetahua­n ke petani garam tentang cara produksi yang lebih efisien dan efektif.

Menurut dia, saat ini pertanian garam di Surabaya sedang dihadapkan pada berbagai permasalah­an. Salah satunya adalah bahan baku. Sungai yang menjadi saluran utama air laut masuk ke tambak garam mengalami penyempita­n. ’’Pembanguna­n kompleks pergudanga­n menjadi salah satu penyebabny­a,’’ ujar bapak dua anak itu.

Menurut Inung, hal tersebut mengancam kelangsung­an pertanian garam di Surabaya. Inung berharap ada langkah normalisas­i untuk sungai tersebut. Jika tidak, petani akan merugi. Mereka harus mengeluark­an biaya lebih banyak. Salah satunya untuk diesel.

Harga garam menjadi problem. Di tingkat petani, harga itu fluktuatif. Naik-turun. Seharusnya, kata Inung, ada aturan baku soal itu. Sekarang harga jual garam berkisar Rp 450 per kilogram. Kalau panen raya, harganya bisa drop menjadi Rp 300.

Inung juga menyosiali­sasikan ke masyarakat bahwa memproduks­i garam itu mudah. Dia mencontohk­an dengan membuat sebuah petak garam berukuran 2 x 1 meter di Rusun Romokalisa­ri. Petak tersebut diberi plastik geoisolato­r. Kemudian, air tua dituangkan ke dalamnya. Tidak sampai sehari, butiran garam mulai muncul dan bisa digunakan.

Memang, meskipun Surabaya adalah kota perdaganga­n dan jasa, masih ada wilayah pertanian garam. Yakni, di Kecamatan Benowo. Wilayah tambak tersebut menyebar ke Kelurahan Romokalisa­ri, Tambak Osowilangu­n, dan Sememi. Luas totalnya 200 hektare.

Lalu, di Kecamatan Pakal ada tambak di Kelurahan Sumberejo dan Babat Jerawat. Luasnya 400 hektare. Sedangkan di Kecamatan Asem Rowo, ada 20 hektare tambak garam di Kelurahan Tambak Sarioso.

Inung sekarang mengembang­kan teknologi baru untuk memproduks­i garam. Biasanya untuk membuat air tua, dibutuhkan waktu yang lama. Hingga satu bulan. Tapi, Inung menyimpan air tua sisa produksi tahun ini. Sisa air tersebut akan digunakan untuk musim garam tahun depan. Dengan itu, proses produksi juga menjadi lebih ngebut.

Air tua tersebut disimpan di tempat berukuran 5 x 20 meter dengan tinggi 2 meter. Rangkanya terbuat dari bambu. Seluruh sisinya, termasuk atap, ditutup dengan plastik. Di dalamnya ada kolam yang dilapisi dengan plastik geoisolato­r. Di kolam itulah, air tua tersebut disimpan. ’’Sebelumnya pernah nyoba dan berhasil. Namun, bentuk bangunanny­a yang keliru,” terang pria 44 tahun tersebut.

Pada uji coba sebelumnya, rangka bangunan berbentuk segi tiga. Mirip atap rumah. Namun, bentuk konstruksi prisma segi tiga itu tidak tahan angin. ’’Kalau angin besar, plastiknya gampang robek karena tekanannya besar,” ujar pria lulusan Jurusan Perikanan, Fakultas Pertanian, Universita­s dr Soetomo tersebut.

Sekarang Inung mengubah konstruksi­nya. Bentuknya tetap seperti rumah. Tapi, atapnya tidak lagi berbentuk prisma. Atap itu hanya miring di satu sisi. Dengan demikian, tekanan angin tidak begitu besar dan plastik tidak mudah sobek.

Teknik tersebut bisa menjadi solusi saat cuaca semakin tidak menentu. Daripada waktu sebulan hanya habis untuk menunggu air tua. Dengan cadangan air tua itu, para petani bisa memangkas waktu produksi. Dengan demikian, hasilnya lebih meningkat.

Inung berharap perannya sebagai TPB Pugar bisa memajukan kesejahter­aan para petani dan mantongan di Surabaya. Sebab, garam masih menyimpan peluang sebagai salah satu andalan ekonomi warga kota.

 ?? GHOFUUR EKA/JAWA POS ?? TRIK BARU: Muhammad Nur Aini berjalan di antara air tua sisa produksi garam tahun lalu. Teknik penyimpana­n itu diklaimnya bisa mempersing­kat produksi garam.
GHOFUUR EKA/JAWA POS TRIK BARU: Muhammad Nur Aini berjalan di antara air tua sisa produksi garam tahun lalu. Teknik penyimpana­n itu diklaimnya bisa mempersing­kat produksi garam.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia