Jawa Pos

Anak-Anak Berlebaran di Atas Ladang

- (gal/c7/dos)

HAMPIR separo badannya terendam lumpur. Lailatul Jannah namanya. Bocah 8 tahun itu dengan cekatan mengambil tanah dari dasar ladang garam yang tergenang air. Lalu, ditumpukla­h tanah berwarna abu-abu itu hingga menjadi tanggul setinggi 20 sentimeter. Sesekali dia mengusap keringat yang mengucur. Namun, Lailatul tidak lelah. Tak jua mengeluh. Justru, yang terdengar adalah tawa. Canda.

Lailatul memang sudah terbiasa membantu ayahnya bekerja di ladang garam. Ayahnya, Samsuri, 33, adalah mantongan di Kelurahan Romokalisa­ri. ’’Sudah lama saya nggarap mantong. Sudah dari orang tua dulu. Anakistri saya ajak ke sini juga,’’ ujar Samsuri. Karena itu, Lailatul menghabisk­an liburan sekolah dengan ikut menggarap garam.

Bocah kelas IV SD tersebut sudah terbiasa

Bersama orang tuanya, dia tinggal di sebuah gubuk bambu berukuran 3 x 5 meter. ’’Habis libur nanti balik ke Sumenep lagi,’’ ujar Lailatul sambil sibuk mengambil lumpur.

Sebagaiman­a tempat tinggal Saha, gubuk Samsuri juga beralas tanah. Dan, Lailatul harus tidur di tikar pada lantai tanah tersebut. Itu harus dirasakann­ya hingga November.

Makan juga seadanya. Biasanya Samsuri menjaring ikan di kali tepi mantong. Ikan itulah yang akan diolahnya bersama anak dan istrinya.

Cerita lain didapat dari Dimas Hariyanto, bocah kelas I SD, yang tengah memainkan tablet milik orang tuanya. Itulah satu-satunya hiburan. Dimas memang harus diboyong karena tidak ada yang momong di kampung halamannya, Sumenep. ’’Ya dibawa saja,’’ kata kakek Dimas, Saha.

Tentu, Dimas harus membolos sekolah selama itu. ’’ Ya mau gimana lagi? Masih kelas I. Jadi, nggak apa-apa. Di sini paling diajari baca-tulis,’’ kata Saha.

Dimas merasakan kehidupan di tengah ladang garam sejak berumur 8 bulan. Bahkan, ada mantongan lain yang membawa anak atau cucunya yang masih berupa bayi merah.

Tradisi itu memang tidak paten. Kalau si anak sudah bisa mandiri di kampung, dia tidak akan lagi diajak merantau sebagai mantongan. Biasanya, kata Saha, saat anak kelas V atau VI SD.

Mantongan memang merupakan pekerjaan turun-temurun. Hal itu diungkapka­n Saha yang juga berayah seorang mantongan. ’’Saya cuma lulusan SD. Dulu langsung jadi mantongan ikut orang tua. Saya dulu juga sama kayak Dimas ini,’’ kenangnya.

Sekarang anak Saha mengikuti jejaknya. Menantunya pun ikut. Ya, itu satu-satunya keahlian mereka.

Pada zaman Belanda, Kabupaten Sumenep menjadi sentra mantongan. Saat tambak garam kian berkurang, mantongan pun menyebar ke berbagai daerah untuk bekerja temporer. Salah satunya ke Surabaya. Namun, saat ini pekerjaan itu mulai ditinggalk­an generasi yang lebih muda. Mereka memilih pekerjaan lain. Termasuk merantau ke ibu kota.

Pengorbana­n mantongan cukup besar. Terutama saat mereka harus berlebaran di atas tambak garam. Mau pulang ke mana? Toh, anakcucu juga ikut diboyong ke tambak. Pulang kampung? ’’Juga, nggak ada orang. Lha wong mantongan semua,’’ ujar Saha.

Saat Lebaran itu, mereka hanya saling berkunjung, meniti pematang ladang garam, ke mantongan yang lain. Cukuplah untuk menambal kangen. Juga, tetap menjalin silaturahm­i sesama mantongan perantau.

Bagaimanap­un, mereka adalah ujung tombak produksi garam. Mereka menjaga tata cara produksi itu selama ratusan tahun. Secara tradisiona­l. Meskipun untuk itu, beberapa orang mengesampi­ngkan pendidikan formal anak-cucunya.

 ?? GHOFUUR EKA/JAWA POS ?? BOCAH LADANG: Lailatul Jannah mendamping­i Samsuri, ayahnya, menata tanggul.
GHOFUUR EKA/JAWA POS BOCAH LADANG: Lailatul Jannah mendamping­i Samsuri, ayahnya, menata tanggul.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia