Hidupkan Budaya Masa Lalu Melalui Koleksi
Kecintaan Muslim pada sepeda kuno tidak hanya hobi mengayuhnya. Pria yang akrab disapa Abah Selem itu memiliki misi. Yakni, turut ambil bagian dalam pelestarian budaya.
TIGA sepeda kuno menggantung di dinding sebuah resto bebek di kawasan Jalan Gubernur Suryo. Empat lainnya berjajar di lantai. Salah satunya, merek Fendt buatan Prancis. Sepeda itu dilengkapi wadah air mirip kendi dari material besi yang kerap digunakan para serdadu ketika masa perang melawan penjajah. Pompa sepeda dari batangan besi terselip di dekat roda belakang sepeda.
Sepeda itu merupakan satu di antara tujuh koleksi milik Abah Selem. Dia membelinya pada 2014 dari salah seorang teman seharga Rp 40 juta. Menurut dia, sepeda merek Magnet merupakan paling kuno di antara semua koleksinya. Sepeda produksi Belanda tersebut dibeli pada 2011 dengan banderol Rp 48 juta.
Abah Selem menyatakan, sepeda itu merupakan hasil rampasan perang. Jika dilihat, Magnet memang punya aksesori paling lengkap. Ada borgol dan lampu minyak di bagian depan. Kanan dan kiri roda belakang diapit tas besi. ’’ Empat tahun lalu pernah saya pakai untuk ikut menjamu tamu se-Asia Tenggara yang datang ke Gresik buat belajar budaya,’’ katanya.
Sejak 2008 dia membeli sepeda kuno yang disukai saat ada event atau pameran sepeda kuno. Abah Selem menuturkan, spare part sepeda kuno bisa dibilang tidak murah. Contohnya, lampu yang harganya sekitar Rp 5 juta atau pedal yang sampai Rp 4 juta.
Dia membeli perlengkapan tersebut secara spontan tanpa menyiapkan anggaran khusus. Begitu ada yang suka, dia langsung beli. Mengapa suka sepeda angin? Lelaki 65 tahun itu senang menghidupkan budaya masa lalu. Salah satunya, lewat sepeda kuno. Dengan sepeda kuno, dia sekaligus bisa berkostum jadul. Misalnya, saat mengikuti event pembukaan Benteng Van Den Bosch pada 2013 di Ngawi. Berkat kostum ala Wali Sunan Giri, Abah Selem menyabet peserta dengan kostum terbaik dan terunik.
Saat membeli sepeda, lanjut dia, kriteria utamanya adalah kelangkaan. Apalagi, koleksinya bisa dijadikan investasi. Harganya bakal naik. Namun, saat ini dia masih belum kepikiran untuk menjual koleksinya. ’’ Yang bikin mahal itu kelangkaan sepedanya. Ditawar berapa pun nggak saya kasih. Carinya sulit, nggak gampang,’’ paparnya.
Apalagi, kegemaran dan kecintaan pada sepada kuno menurun kepada sang anak, Ahmad Sahudah. Kini pria 40 tahun itu baru saja didaulat sebagai ketua Komunitas Pasekgres periode 2017–2020. Keunikan dan keberagaman bentuk onthel yang berbeda-beda membuat Huda, sapaannya, jatuh cinta. ’’Material dan teknik pembuatan sepeda onthel bikin saya kagum,’’ katanya.