S Urgensi Deradikalisasi
erangan teror bertubi-tubi menyasar polisi. Intensitas dan frekuensinya pun cenderung meninggi akhir-akhir ini.
Jika dicermati, target serangan kelompok teroris di Indonesia kini memang bergeser. Dulu serangan teror menyasar tempat atau orang yang diasosiasikan sebagai negara Barat, yang dianggap sebagai musuh.
Mulai 2010, pola serangan teror bergeser dari target sebelumnya negara Barat menjadi polisi. Mengapa? Sebab, serangan yang menarget simbol negara Barat kian sulit karena pengamanan dan antisipasi yang makin ketat. Sedangkan target polisi jauh lebih mudah diserang.
Apalagi, di kelompok-kelompok radikal mulai berkembang paham jihad fardiyah atau jihad perorangan. Artinya, setiap orang dalam kelompok radikal itu bisa menjadi martir atas inisiatif sendiri ( lone wolf).
Metode perorangan seperti itu tentu lebih sulit dideteksi bila dibandingkan dengan rencana serangan bertarget besar yang butuh perencanaan matang dan struktur komando yang rapi. Apalagi, muncul fatwa dari juru bicara kelompok ISIS, Abu Muhammad Al Adnani, yang menyerukan serangan kepada kaum thaghut atau ansharut thaghut (tentara thaghut). Oleh kelompok radikal, itu diterjemahkan sebagai polisi. Sebab, Densus 88-lah yang memburu, memenjarakan, dan menewaskan ratusan orang yang terlibat dalam jaringan teror.
Teriakan ” thaghut” dan serangan membabi buta sering kali menjadi ciri aksi teror perorangan yang mengincar polisi. Bahkan ketika sang polisi selesai bersembahyang di masjid seperti serangan di Masjid Falatehan, Jakarta, akhir pekan lalu.
Ancaman serangan teror seperti itu masih tinggi. Karena itu, mekanisme pencegahan melalui deradikalisasi harus menjadi prioritas. Dalam kondisi seperti sekarang, urgensi deradikalisasi makin terasa.
Upaya deradikalisasi melalui seminarseminar harus diubah karena tak efektif. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan polisi harus terbuka untuk berdialog serta menggandeng ulama agar melakukan deradikalisasi secara door-to-door langsung kepada individu.(*)