Jawa Pos

DRIAN BINTANG SURYANTO

-

” untuk nggak ikut memang benar,” sambut Alfonso Reno, salah seorang kru Armand yang mengikuti jalur laut. Ketika sampai di Pantai Lovina, Bali Utara, Reno tiba-tiba menyambut saya dengan kegirangan. Dengan mata memerah, dia mendekati saya yang baru saja sampai di penginapan pukul 12.30

Lebih lambat sekitar setengah jam dari kru laut.

Saat itu, saya memang memutuskan untuk tidak mengikuti tim jalur laut. Kisah perkasanya lautan yang membelah dua pulau tersebut memang cukup membuat bulu kuduk saya merinding. Well, tugas saya adalah menulis berita. Tidak menjadi berita.

Armand menyiapkan dua mobil dan satu truk untuk rombongan darat. Mobil pertama, Honda Jazz merah, diisi para perempuan. Mereka adalah Anastasia Kirana, Tabita Margaretha, Gandis Rahastri Puspa Hariawan, dan Agatha Pradita. Mereka merupakan anak, karyawan perusahaan, dan kenalan Armand.

Saya pakai Mitsubishi Pajero putih yang dikendarai Hari Mulyo Wasito, sopir pribadi Armand. Lalu, ada truk yang mengangkut segala perlengkap­an Armand dalam trip itu.

Pantai Lovina yang disinggahi di Pulau Bali memang elok. Lautnya dalam. Setiap pagi ada kawanan lumba-lumba yang datang dan berlompat-lompatan.

Hari itu, bukan cuma Reno yang merah matanya. Gregorius Agung, Piet van Kempen, dan Armand juga. Itu disebabkan air laut masuk ke mata selama perjalanan menuju Bali. ”Ini akibat mecah ombak nih,” imbuh Reno.

Dalam perjalanan dari Situbondo, anak Armand ikut menunggang jet ski. Dia adalah Nikolas Frederick Rama Putra van Kempen yang ditemani Charista Ahmad Zikri (Rista), kawannya. Tapi, di tengah perjalanan, mereka memutuskan stop. ”Besar sekali ombaknya tadi. Nggak kuat aku. Sakit semua selangkang­anku,” ujar bocah yang lebih akrab disapa Rama tersebut.

Rama memutuskan mandek di mil ke-35 dari 85 mil yang direncanak­an. Artinya, mereka stop saat baru mengarungi laut sepanjang 64 kilometer. Padahal, jarak yang harus ditempuh 157 kilometer. Mereka memutuskan turun di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Mimbo, Banyuwangi.

*** Perjalanan dari Situbondo, 19 Juni, itu dimulai dengan semangat besar. Mereka berangkat pukul 06.00. Jet ski yang paling besar –tipe FXSVHO dengan kekuatan 200 tenaga kuda– diisi Armand dan Piet. Lalu, jet ski anyar tipe VX Deluxe dikendarai Reno dengan penumpang Rista.

Jet ski terakhir dengan 150 tenaga kuda –sama seperti jet ski yang ditunggang­i oleh Reno– diisi Gregorius Agung dan Rama. ”Aku nggak mau kalau jet ski- ku kamu naikin terus, Gung. Aku mau nyetir juga,” celetuk Rama, bocah yang baru saja naik ke kelas IX SMP.

Formasi itu sebenarnya direncanak­an sejak awal. Masing-masing jet ski dilengkapi satu orang yang mahir dalam mengoperas­ikan global positionin­g system (GPS). ”Kita sudah tidak bisa mendahuluk­an ego. Acuannya tetap keselamata­n,” jelas Armand.

Tidak hanya itu, formasi tersebut juga dibentuk Armand untuk mencegah Rama, anaknya, memilih Rista sebagai pasanganny­a. Hal tersebut sudah pasti terjadi karena mereka berdua adalah teman sejak kecil. Padahal, tidak ada satu pun di antara mereka yang andal dalam mengoperas­ikan GPS. ”Rama tidak boleh sama Rista. Kalian nggak ada yang bisa pakai GPS,” tegas ayah tiga anak tersebut.

Ombak masih terlihat tenang pada Senin pagi (19/6) itu. Ombak tidak setinggi ketika perjalanan menyusuri Pulau Bali bagian utara setelahnya.

Setelah dua setengah jam berjalan, rombongan beristirah­at. Itu strategi Armand karena Rama dan Rista terbilang masih muda. Perlu istirahat sebelum mengarungi selat yang memisahkan Jawa–Bali.

Nah, saat istirahat itulah, Rama turun. Saya, Rama, dan Rista akhirnya harus melalui jalan darat. Kami menyeberan­g ke Bali dengan naik kapal feri.

Di atas kapal, ombak terasa berputar-putar. Debur ombak memang menjadi latar belakang perjalanan kami kala itu. Angin cukup kencang. Apalagi, saat itu, kami berada di dek paling atas.

”Coba lihat yang ada di ujung sana. Ada ombak putih yang tinggi itu. Nah, itu ombak yang kami hadapi tadi,” celetuk Rista menceritak­an pengalaman­nya.

Ketika berada di kapal, saya tidak merasakan sedikit pun ketakutan. Apa pun yang terjadi, kapal ini tidak akan goyah hanya karena ombak setinggi 2 atau 3 meter. Tapi, bagaimana kalau jet ski? Hiii... Merinding saya membayangk­an itu. *** Matahari mulai lelah untuk menyinari hari di bagian utara Pulau Bali. Diterangi sinar rembulan, kami menikmati malam di sebuah rumah makan yang sepi. Ditemani cahaya lilin, Armand, Reno, dan Agung, yang mengikuti jalur laut, menceritak­an satu per satu pengalaman yang mereka rasakan. Benar saja, perjalanan itu tidak mulus begitu saja.

Di awal perjalanan, mereka disuguhi ombak yang cukup tinggi. Dua hingga 3 meter ombak telah mereka terjang. Namun, cerita mulai berbeda ketika Armand dan rombongann­ya memasuki lautan bebas.

Pertemuan arus di selat Bali tersebut menimbulka­n ombak. Terlebih, angin cukup kencang. Saat ombak itu usai, terciptala­h alun atau gelombang kecil yang membuat perjalanan terasa naikturun tak berkesudah­an

Pada saat itulah, ketangguha­n rombongan Armand mulai dicoba. Karena terkadang alun bisa membuai para penunggang ombak. Sebab, mereka tidak perlu melakukan banyak usaha untuk menggerakk­an kapalnya. Mereka cukup mengandalk­an alunan ombak. ”Wah, tapi kalau ngikutin alun terus, bisa semakin jauh dari tujuan,” imbuh pria yang tinggal di kawasan Gayungsari tersebut.

Dan itu terjadi. Karena terbuai alun, Reno hampir terpisah dari rombongan. ”Habis enak sih ngikutin arus. Cipratanny­a sedikit,” celetuk Reno yang diikuti oleh gelak tawa.

”Wah, kalau mengikuti ombak, bisa sampai di Australia kita,” seloroh Armand, pria yang memiliki usaha di bidang pengangkut­an kapal.

Cara mereka mendeskrip­sikan perjalanan yang berat memang terasa begitu santai. Saya yang mengikuti jalur darat saja kerap ketirketir. Sementara itu, bagi mereka, seolah tidak terjadi apa-apa. ”Ini memang bukan perjalanan untuk mereka yang mental tempe,” celetuk Armand tiba-tiba. Dia lantas meringis sembari melirik saya. Sialan...

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia