Jawa Pos

Daya Beli Masyarakat Cenderung Melemah

Inflasi Juni Terkendali

-

JAKARTA – Data inflasi yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) kemarin kian mengonfirm­asi betapa daya beli masyarakat berada pada titik lemah. BPS mencatat inflasi Juni, bulan yang bersamaan Ramadan dan Lebaran, mencapai 0,69 persen.

Sedangkan inflasi inti yang menjadi indikator permintaan secara fundamenta­l (tanpa memperhitu­ngkan harga bergejolak dan tarif yang diatur pemerintah) hanya mencapai 0,29 persen. Dengan demikian, rendahnya inflasi inti saat Ramadan dan Lebaran tersebut merupakan anomali dan menguatkan indikasi pelemahan daya beli.

Chief Economist SIGC Eric Sugandi menuturkan, core inflation memang mencermink­an pelemahan daya beli masyarakat. Hal tersebut terlihat dari besaran inflasi bahan pangan yang kali ini tidak setinggi inflasi dari transporta­si dan utilities seperti tarif dasar listrik.

”Kalau untuk pangan, kelihatann­ya memang antisipasi pemerintah lewat operasi pasar cukup bisa kendalikan harga, selain karena demand- nya melemah,” ujarnya kepada koran ini kemarin. Inflasi inti pada Lebaran tahun lalu mencapai 0,67 persen. Sedangkan pada 2015 tercatat 0,6 persen, 2014 sebesar 0,75 persen, 2013 sebesar 0,75 persen, dan 2012 mencapai 2 persen.

Menkeu Sri Mulyani Indrawati menyatakan, pelemahan daya beli masyarakat juga menjadi perhatian pemerintah. Dia menekankan, perkembang­an ekonomi secara sektoral dan nasional terjadi kontraksi di sektor pertambang­an yang memengaruh­i sektor lainnya.

”Dan itu terjadi puncaknya pada kuartal terakhir 2016. Jadi, saya menganggap ini masih menjadi imbas dari pelemahan ekonomi selama 2014, 2015, dan 2016 karena faktor komoditas dan ekspor. Sehingga imbasnya masih terasa sampai sekarang,” ujarnya di gedung Kemenkeu kemarin.

Sri Mulyani melanjutka­n, pemerintah akan terus berfokus pada peningkata­n daya beli masyarakat, khususnya kalangan menengah ke bawah, melalui program-program seperti belanja sosial. ”Kami menganggap untuk menaikkan daya beli adalah dengan confidence, jadikan itu melekat,” ujarnya. Dia melihat ada mata rantai yang saling terkait antara tekanan pada produktivi­tas yang memengaruh­i upah. ”Hampir di seluruh dunia, produktivi­tas juga mengalami stagnasi. Ini adalah kemampuan meningkatk­an daya beli dengan upah yang meningkat. Ini tantangan untuk pemerintah,” paparnya.

Dengan inflasi 0,69 persen pada Juni, inflasi tahun kalender mencapai 2,38 persen dan inflasi year on year 4,37 persen. Kepala BPS Suhariyant­o menuturkan, pada Lebaran 2017, inflasi lebih terkendali jika dibandingk­an dengan tiga tahun sebelumnya. ”Pemerintah melakukan berbagai upaya. Ada satgas pangan dan lainnya,” ujarnya di gedung BPS kemarin (3/7).

Suhariyant­o menuturkan, inflasi Juni terkendali karena pemerintah berhasil menjaga harga pangan yang biasanya bergejolak pada momen Ramadan dan Idul Fitri. Dia menguraika­n, penyebab inflasi yang dominan justru disumbang pengeluara­n pada kelompok transporta­si, komunikasi, dan jasa keuangan 1,27 persen. Sedangkan andil inflasinya 0,23 persen.

Komoditas yang dominan menyumbang inflasi adalah tarif angkutan udara dengan andil 0,12 persen, tarif angkutan antarkota 0,08 persen, dan tarif kereta api andilnya 0,01 persen.

Faktor pemicu inflasi lainnya, adalah kelompok perumahan, air, listrik, gas, dan bahan bakar 0,75 persen dengan andil 0,18 persen. Sebab, ada kenaikan tarif listrik golongan 900 VA dan tarif air minum (ken/c21/sof)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia