Order Mebel Pindah ke Vietnam
Butuh Subsidi Kredit Peremajaan Mesin
SURABAYA – Nilai ekspor mebel Indonesia pada 2016 mencapai USD 1,6 miliar atau turun 16 persen bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pada periode Januari–Mei 2017, nilai ekspor mebel tercatat USD 109,6 juta atau meningkat hampir 5 persen jika dibandingkan dengan tahun lalu.
Ketua Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) Jatim Nur Cahyudi menyatakan, meski kinerjanya di Jatim pada Mei ini mengalami peningkatan, secara nasional ekspor mebel cenderung turun. Penurunan terjadi akibat hambatan-hambatan proses ekspor. ’’Sebenarnya secara permintaan di pasar ekspor itu lebih bagus dan positif, tetapi terbentur berbagai macam kendala dan aturan,’’ katanya.
Salah satu penyebab penurunan ekspor mebel adalah sebagian besar importer telah mengalihkan pesanan dari Indonesia ke Vietnam dan Malaysia. Sebab, harga mebel Vietnam lebih murah dengan kualitas bersaing kalau dibandingkan dengan produk Indonesia. ’’Daya saing mebel Vietnam bagus karena industrinya mendapatkan dukungan pemerintah,’’ ujarnya.
Menurut Nur, salah satu bentuk dukungan tersebut adalah suku bunga perbankan di Vietnam kurang dari 10 persen, lebih rendah bila dibandingkan dengan Indonesia yang masih berkisar belasan persen. Selain itu, subsidi diberikan bagi pelaku industri untuk meremajakan permesinan mebel dengan teknologi mutakhir. Jadi, produksi mebel di Vietnam bisa lebih efisien.
Daya saing industri mebel Vietnam juga tidak lepas dari pengembangan kawasan integrasi yang diyakini menciptakan efisiensi bagi industri. Kawasan itu mengintegrasikan terminal penyediaan bahan baku, industri pengolah, industri pendukung, hingga distribusi produk. ’’Indonesia seharusnya juga mampu tumbuh sebagai basis produksi mebel,’’ tutur Nur.
Sebab, potensi dalam negeri untuk tumbuh sebagai produsen mebel ditopang jumlah penduduk yang besar dan sumber daya alam bahan baku mebel yang melimpah seperti kayu dan rotan.
Faktor lain yang mengakibatkan industri mebel kurang bergairah adalah persaingan pasar mebel domestik yang sangat ketat. Industri harus bersaing dengan mebel impor. ’’Perkembangan usaha di dalam negeri kurang maksimal karena serbuan produk impor. Saat ini barang impor sudah menguasai 30 persen pasar domestik yang didominasi Tiongkok,’’ ungkap Nur.
Pelaku usaha mebel lokal masih sulit mengembangkan usaha karena sejumlah kendala seperti bunga bank yang terlampau tinggi dan keterbatasan infrastruktur. Selain itu, pelaku usaha sulit mengakses bahan baku, kurang mengikuti pameran, dan memiliki keterbatasan kualitas desain. ’’Akibatnya, daya saing kami masih di bawah Vietnam dan Malaysia,’’ jelasnya. (car/ c14/noe)