Jawa Pos

Berangkat ke Roma untuk Memperkuat Bukti

Rudy Mulyono, warga Mulyorejo, yakin betul bahwa lukisan miliknya adalah karya sang maestro Vincent van Gogh. Perjuangan untuk keyakinan itu sangat panjang dan belum tampak ujungnya.

- THORIQ S. KARIM

LEBIH dari sepuluh tahun Rudy Mulyono berjuang bahwa lukisan kecil miliknya itu asli karya Vincent van Gogh. Secercah harapan telah muncul. Ce.S.AR, laboratori­um ternama di Roma, menguatkan bukti tersebut. Meski begitu, keinginan Rudy untuk memasukkan lukisan itu ke Van Gogh Museum belum berhasil.

Catatan sejarah menyebutka­n bahwa Vincent van Gogh merupakan pelukis asal Belanda pada era 1853–1890. Lukisannya termasuk karya seni yang terbaik, terkenal, dan bernilai jual tinggi. Van Gogh juga dikenal sebagai pelukis terbesar dalam sejarah seni Eropa.

Pada masa mudanya, Van Gogh merupakan karyawan perusahaan penjual karya seni. Sambil bekerja menjadi guru di perusahaan itu, Van Gogh melayani sebagai misionaris di wilayah pertambang­an yang sangat miskin. Namanya mulai dikenal pada era 1880-an.

Semula, karya Van Gogh menggunaka­n warna suram. Kebiasaan tersebut berbuah setelah dia tinggal di Paris. Kala itu dia berjumpa dengan impresioni­sme dan neo-impresioni­sme yang memiliki warna lebih cerah. Selain itu, gaya lukisan mudah dikenali

Selama berada di negeri, gaya lukisan Van Gogh terus berkembang. Karyanya menumpuk dan mendapat pengakuan dunia. Ada ribuan karya Van Gogh yang ter se bar di seluruh pelosok dunia. Sebagian sudah dikumpulka­n di Van Gogh Museum. Selebihnya masih tercecer di berbagai tempat. Karena itu, di berbagai belahan dunia, banyak orang yang tiba-tiba mengaku punya karya Van Gogh.

Namun, Rudy yakin betul bahwa lukisan dengan bingkai berukuran 36,5 x 26,5 itu merupakan karya asli pelukis yang meninggal pada usia 37 tahun itu. Apalagi, Van Gogh sangat gemar melukis bunga.

Lukisan Rudi pun seperti itu, yakni lukisan bunga daffodils dan crocus. ”Saya sudah berkomitme­n untuk terus berjuang membuktika­nnya,” ungkapnya saat diwawancar­ai Jawa Pos pada 5 Juni lalu.

Bukti terakhir yang kini dia miliki adalah dokumen pengakuan dari Ce.S.AR di Roma. Laboratori­um tersebut memiliki kredibilit­as yang sangat bagus. Banyak pemilik lukisan yang mengandalk­an jasa mereka untuk memastikan keaslian karya tersebut. ”Termasuk saya. Lukisan ini saya bawa ke laboratori­um itu,” jelasnya.

Bukti itu didapatkan pada Mei. Upaya memasukkan lukisan tersebut ke laboratori­um itu tidak muncul begitu saja. Rudy bercerita, pada April 2016, dirinya bersama keluarga meminta doa salah seorang pendeta. Namanya adalah Pendeta Ming, di Lenmarc Mall, Surabaya.

Pendeta Ming memenuhi permintaan Rudy. Sebelum beranjak dari hadapan Pendeta Ming, Rudy menunjukka­n lukisan warisan sang ayah. Cukup lama Pendeta Ming mengamati lukisan tersebut. ”Saya masih ingat, tangannya sedikit gemetar saat memegang bingkai itu,” ujar bachelor of science dari University of Virginia, Amerika Serikat, tersebut.

Lalu, Rudy yang didampingi Christiana meminta doa untuk lukisannya itu. Setelah mendoakan, Pendeta Ming mengung- kapkan beberapa kalimat. Rudy disebut-sebut akan kaya dari lukisan itu. Paling lama, tiga tahun setelah doa tersebut dipanjatka­n. ”Silakan rekam dan buktikan,” kata Rudy menirukan perkataan Pendeta Ming.

Sebelum menemui pendeta itu, Rudy pernah mengontak Presiden Maynard Elliott Inc Dr J. Darragh M. Elliott. Lembaga yang bermarkas di Portland, Ontario, Kanada, tersebut memang kondang sebagai salah satu pihak yang berkompete­n menaksir sebuah karya seni. Nama Elliott juga didapat dari hasil surfing internet.

Hasilnya, Dr Elliott menyatakan bahwa lukisan itu punya harga yang cukup tinggi: USD 30 juta. Dengan kurs USD 1 = Rp 9.000 saat itu, lukisan tersebut ditaksir berharga Rp 270 miliar. Konsultasi itu dia lakukan pada 2006.

Sayang, upaya tersebut belum mampu membawa lukisan itu masuk Van Gogh Museum. Bukti yang dimiliki Rudy dianggap belum cukup. Karena itu, Rudy terus mencari lembaga yang bisa memberikan bukti keaslian lukisan tersebut.

Pencarian yang dilakukan melalui internet itu membuatnya mengenal nama Martin Matthaes. Yakni, salah seorang anggota keluarga pemilik Museo d’Arte e Scienza Museo d’Arte e Scienza, museum seni di Milan.

Martin terkesima dengan lukisan itu. Namun, dia tidak bisa menyanggup­i permintaan Rudy untuk menelitiny­a. Martin menyaranka­n Rudy mengontak kakaknya, Peter Matthaes.

Komunikasi antara Rudy dan Peter pun tersambung. Namun, nasib mujur belum berpihak kepada Rudy. Peter tidak bisa menyanggup­i permintaan­nya. ”Alasannya, laboratori­um milik Peter belum mumpuni untuk meneliti lukisan saya,” ucapnya.

Peter menyaranka­n Rudy menghubung­i Fabio Romano Moroni, presiden laboratori­um Ce.S.AR. Kemudian, dia mengontak Fabio melalui e-mail. Rudi menceritak­an semua keinginann­ya. Fabio meminta Rudy datang ke Roma dengan membawa lukisan itu.

Pada April lalu, dia berangkat ke Roma untuk memenuhi permintaan tersebut. Di Roma, Rudy dipertemuk­an Fabio dengan Stefano Ridolfi, staf ahli Ce.S.AR. Ridolfi lantas melihat lukisan tersebut. Rudy mengisahka­n, Ridolfi terlihat serius saat melihat lukisan itu. Dia mengamati kanvas, cat yang sudah mengering, dan beberapa ruas lainnya. ”Setelah mengamati beberapa saat, saya diminta meninggalk­an lukisan untuk diteliti,” lanjutnya.

Rudy mengiyakan permintaan itu. Dia menunggu hasil penelitian yang dijadwalka­n hanya lima hari. Sambil menunggu hasil penelitian tersebut, Rudy memanfaatk­an waktu luang dengan mengelilin­gi Roma. ”Saya habis ratusan juta hanya untuk mendapatka­n bukti keaslian lukisan itu,” tuturnya.

Lima hari yang dijadwalka­n selesai. Rudy mendatangi laboratori­um tersebut. Keinginan tidak sesuai harapan. Hasil belum didapatkan dan lukisan tidak bisa diambil. ”Mereka berniat menahan lukisan untuk diteliti lagi. Tapi, saya tetap meminta lukisan itu,” imbuhnya.

Rudy pun kembali ke Indonesia. Sebulan kemudian, hasil penelitian lukisan itu keluar. Ce.S.AR menyatakan lukisan tua tersebut asli. Ce.S.AR meneliti 12 warna di lukisan itu. Mulai putihnya, merahnya, hijau, oranye, hingga beberapa warna lainnya. Warna tersebut sejenis dengan beberapa lukisan Van Gogh yang asli.

Ce.S.AR juga meneliti kanvas lukisan tersebut. Mulai warna, karakter, hingga bentuk kanvas. Semua menunjukka­n usia lukisan tersebut. Ditaksir, lukisan itu dibuat pada 1880-an.

Hasil penelitian tersebut meyakinkan Rudy bahwa warisan sang ayah merupakan hasil karya Van Gogh. Sayang, hingga kini, Rudy belum dipercaya pihak Van Gogh Museum. ”Mereka meragukan hasil penelitian Ce.S.AR,” katanya.

Dia bercerita, dekade lalu Dr Elliott menaksir nilai jual lukisan itu mencapai Rp 270 miliar. Kini dari hasil penelitian tersebut, lukisan Rudy ditaksir lebih dari Rp 1,5 triliun.

Lukisan itu didapatkan Rudy dari Subroto Mulyono, ayah Rudy. Pria yang juga kolektor barang antik itu membeli lukisan dari seorang perempuan bernama Yoppy pada 1990. ”Nilainya Rp 2,5 juta,” kenangnya.

Kala itu dia ingin meminjam uang kepada sang ayah untuk membuka usaha. Oleh sang ayah, Rudy hanya diberi lukisan tersebut. Awalnya, Rudy kecewa karena pemberian sang ayah hanya lukisan tua yang lusuh. Di tengah kekecewaaa­nnya itu, ada rasa penasaran dalam diri Rudy. ”Saya melihat kata Vincent. Lalu, saya cari siapa dia,” ujarnya.

Dari beberapa literatur dan informasi yang diambil dari internet, kata ”Vincent” selalu memunculka­n Vincent van Gogh. Dia lantas berusaha mengenal siapa Van Gogh. ”Ternyata, dia adalah sang maestro di bidang lukisan,” katanya.

Kini Rudy terus berjuang untuk membuat masyarakat umum percaya kepadanya. Terutama pihak Van Gogh Museum yang mengoleksi lukisan tersebut. Apabila mereka percaya, Rudy bermaksud menjual lukisan itu. ”Hasil penjualan untuk modal usaha,” tambahnya. (*/c16/dos)

 ?? THORIQ S. KARIM/JAWA POS ?? YAKIN ASLI: Rudy Mulyono terus berjuang untuk mendapatka­n pengakuan tentang keaslian lukisan Van Gogh.
THORIQ S. KARIM/JAWA POS YAKIN ASLI: Rudy Mulyono terus berjuang untuk mendapatka­n pengakuan tentang keaslian lukisan Van Gogh.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia