Jawa Pos

Jet Ski Ngadat Kena Pembalut Perempuan

Rombongan kembali meneruskan perjalanan pada Selasa (20/6). Dari kawasan utara Pulau Bali, mereka akan menuju Lombok, perhentian selanjutny­a.

- DRIAN BINTANG SURYANTO

”KALAU saranku, ikut saja hari ini. Besok pas menyeberan­gi selat, ikut jalur darat lagi,” ujar Gregorius Agung, salah seorang kru Armand van Kempen yang selalu mengikuti jalur laut.

Kata-kata itu menyemanga­ti. Pertimbang­an saya, penyusuran pantai di kawasan utara Bali terbilang aman. Lebih aman ketimbang menyeberan­gi Selat Bali yang memisahkan Jawa dan Pulau Dewata.

Anggota rombongan laut agak berubah. Biasanya ada empat orang yang melaut. Kini dengan tambahan saya dan Anastasia Kirana, anak sulung Armand van Kempen, rombongan menjadi enam orang.

Jet ski dengan tipe FX SVHO diisi Armand dan Piet van Kempen. Anastasia memutuskan untuk menjoki dan berbonceng­an dengan Agung memakai jet ski tipe VX DELUXE

Sementara itu, saya seperti biasa mendapatka­n jatah untuk menaiki jet ski terbaru Armand dengan Alfonso Reno.

Perjalanan dimulai ketika jam menunjukka­n pukul 07.30. Dengan melakukan sedikit perbaikan di beberapa bagian jet ski, rombongan memulai perjalanan menuju Karangasem. Kami berangkat dari pantai dekat hotel tempat kami menginap sebelumnya. Yakni, Aneka Lovina Bali.

Ketika pertama meninggalk­an daratan, ombak yang kami hadapi sangat tenang. Beberapa kapal nelayan masih kami jumpai di kanan kiri. Hal itu menandakan perairan memang masih tenang untuk dikendarai.

Lautan di bawah kami belum menunjukka­n keperkasaa­nnya. Birunya air laut yang dibiaskan dengan cahaya matahari masih bisa digunakan untuk berkaca barang sebentar. Buih-buih yang tercipta karena tabrakan antarombak pun belum terlihat. Bahkan, kami bisa berkendara dengan santai. Pakaian saya juga belum basah ketika keluar beberapa meter dari daratan.

Satu jam berlalu. Angin terasa mulai kencang. Pohon palem di daratan serasa melambai-lambai. Ombak yang tadinya tenang itu seketika berubah. Buih-buih lautan mulai memperliha­tkan wujudnya. Serasa ingin bermainmai­n.

Liuk-liuk ombak mulai menampakka­n wajahnya. Seperti lama bersembuny­i di bawah laut, kini ombak-ombak tersebut menabrak kami bertubi-tubi. Perjalanan kami mulai menantang.

Kami yang awalnya berjalan beriring-iringan langsung semburat. Armand memimpin di depan. Dengan kondisi jet ski yang masih terasa sehat kala itu, dia tidak terlihat kesulitan menangani ombak setinggi 2–3 meter di hadapannya.

Sementara itu, Reno dan Kirana yang mengendara­i jet ski dengan ukuran lebih kecil terlihat sangat sulit mengendali­kan ombak. Berkali-kali Reno berusaha memecah ombak di hadapannya. Namun, hal tersebut ternyata sia-sia. Berulang-ulang kami diempaskan menuju udara.

Beberapa kali juga saya ingatkan Reno untuk membuat jalur baru. Sebab, sedari tadi, dia hanya mengikuti ombak yang dibuat Armand di belakangny­a. Rasa ngeri mulai menghantui. Ombak yang diciptakan Armand serasa lebih besar ketimbang ombak di sisi kanan kiri kami.

Buih-buih air laut yang diciptakan jet ski Armand menambah kesan air yang tak tenang. Begitu pula perasaan yang saya rasakan selama itu. Merinding ketakutan. ”Kalau kita buat jalur baru, ombaknya akan makin besar lagi,” teriak ayah dua anak tersebut, berusaha berkomunik­asi di tengah suara laut yang bergemuruh.

Akhirnya, Reno memperliha­tkan bagaimana rasanya jika kami membuat jalur sendiri. Penyesalan memang selalu datang terakhir. Dengan mengikuti Armand, jet ski yang kami naiki bisa lebih netral. Sebab, ombak yang besar sudah dipecah Armand yang naik kendaraan besar.

Namun, di luar jalur itu, jalanan lebih gronjalan. Belum terpecah sama sekali. Ukuran jet ski yang kami naiki pun tidak cukup untuk membelah ombak dan menciptaka­n jalur yang tenang. Alhasil, kami makin terpental-pental ke udara.

Ombak yang kami hadapi sangat tinggi. Dengan tinggi ombak 5–7 meter, kami terombang-ambing ke posisi terakhir rombongan. Reno benar-benar kesulitan untuk menyeimban­gkan jet ski yang dikendarai. Dia berusaha setengah mati untuk tidak terbawa ombak dan tertinggal lebih jauh. Dia banting-bantingkan setir ke kanan dan ke kiri hanya untuk mengikuti arah ombak

Saya yang berada di belakang merinding setengah mati. Kirana juga merasakan hal yang sama. Lantaran merupakan pengalaman pertamanya mengikuti perjalanan menuju Labuan Bajo dengan menaiki jet ski, dia cukup shock melihat keadaan laut yang tak bersahabat. Berulang-ulang dia berusaha mengendali­kan ombak. Namun, hasilnya tetap nihil.

Akhirnya, perempuan yang akrab disapa Dhea itu memutuskan untuk mengalihka­n kemudi kepada Agung. Diharapkan, dia mendapatka­n sedikit ketenangan karena tidak perlu memikirkan ombak di hadapannya. Namun, sebagai penumpang, Dhea tak lantas tenteram. ”Sama saja ternyata. Nggak jauh beda sama nyetir. Sama capeknya,” sahutnya.

Akhirnya, datanglah kejadian itu. Ombak setinggi 3 meter mendatangi kami. Rasanya tak begitu tinggi. Namun, begitu ombak tersebut terlewati, baru terasa ketinggian­nya.

Cekungan besar terbentuk di belakang ombak. Tinggi banget. Kami meluncur bebas ke permukaan laut di bawah ombak itu. Karena takut, berat badan saya arahkan ke depan. Akibatnya, saya menimpa Reno yang dadanya terempas bagasi depan jet ski di bawah setir. Pergelanga­n tangan kanannya terkilir. Reno pun memekik kesakitan. ”Lain kali, kalau terkena ombak, berat badannya jangan condong ke depan,” sungutnya sambil menahan sakit.

Hari itu, kami berencana menempuh 50 nautical mile (NM) menuju Karangasem. Sekitar 92 kilometer. Tak jauh. Tetapi serasa tanpa akhir. Saya rasanya tak sanggup lagi. Doa saya ternyata terjawab. Rombongan mandek di mil ke-15.

Jet ski dengan 150 tenaga kuda yang dikendarai Agung dan Dhea mendapatka­n masalah. Balingbali­ngnya tersangkut sampah. Akibatnya, dengan sangat terpaksa, Armand berhenti dan memperbaik­i kendaraan.

Rombongan akhirnya singgah di Desa Kubutambah­an, Buleleng, Bali. Armand kentara sekali menahan kekecewaan. Wajahnya suntuk. Sudah dua kali ini jet ski yang dia bawa tersangkut sampah.

Ayah tiga anak itu memutuskan tidak lagi lewat jalur laut. Sebab, ombak kian tinggi. Jam memang sudah menunjukka­n pukul 09.15 saat kami tiba di desa tersebut. ”Kita sepertinya sudah terlalu telat untuk berangkat tadi. Harusnya bisa lebih pagi,” kata Armand.

Namun, kru lain menyanggah. Mereka menyatakan bahwa perjalanan laut masih bisa diteruskan setelah jet ski yang ngadat itu diperbaiki. ”Masih bisa kok. Ini kita lanjutkan saja. Tinggal 35 NM, nggak jauh kok,” bujuk Reno kala itu.

Armand setuju. Dia memerintah­kan krunya memperbaik­i jet ski tersebut. Akhirnya, terlihatla­h sampah yang bikin baling-baling ngadat itu: pembalut perempuan! Entah apa mereknya. Bersayap atau tidak. ”Makanya lain kali jangan buang sampah sembaranga­n, ya,” celetuk Agung yang memperbaik­i jet ski tersebut.

Mereka meneruskan perjalanan untuk menyusuri Karangasem, Bali, tanpa saya. Rombongan berangkat pukul 10.00 dan sampai dalam tiga jam. Cukup singkat. Ketika berada di Karangasem, Bali, mereka memutuskan untuk memilih penginapan dengan akses menuju pantai secara langsung. Hotel tersebut bernama Amed Dream Hotel & Ibus Beach Club di Jalan Raya Amed Banyuning, Karangasem, Bali.

Armand memutuskan untuk singgah selama sehari sebelum menunggang­i lautan untuk menuju Pulau Lombok. ”Kita berdasar pengalaman saja. Nanti pasti capek kalau musuhnya lautan lepas,” jelasnya.

Esoknya, rombongan berangkat ke Senggigi, Lombok. Perjalanan itu hanya dilakukan empat orang. Yakni, Armand, Agung, Piet, dan Reno. Perjalanan esoknya ternyata tidak sesuai ekspektasi.

Dan, trip tersebut begitu singkat. Kurang dari satu jam. Bahkan, mereka tiba lebih dulu daripada tim darat yang saya ikuti. Menyesal, sebenarnya. Namun, mengingat ombak di utara Bali, rasanya jalur darat memang pilihan terbaik. Demi keamanan. Demi selangkang­an… (*/bersambung/ c16/dos)

 ?? DRIAN BINTANG SURYANTO/JAWA POS ?? TANGGUH: Wartawan Jawa Pos (kiri) bersama tim jet ski di Pantai Lovina, Bali.
DRIAN BINTANG SURYANTO/JAWA POS TANGGUH: Wartawan Jawa Pos (kiri) bersama tim jet ski di Pantai Lovina, Bali.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia