Jawa Pos

Tergerak karena Kisah Kalender Bekas yang Jadi Buku Tulis

- GUNAWAN SUTANTO, Surabaya

Selain buku, Komunitas Book for Papua mendirikan rumah baca-tulis dan membantu mencarikan pembiayaan untuk anak-anak Papua berbakat yang ingin melanjutka­n pendidikan. Terkesan kepada kejujuran seorang bocah penambang pasir.

” SESUAI janjiku, ini adalah jersey buat kamu Yanu! Semoga kamu suka dengan jersey ini dan hadiah2 lainnya! Tetap semangat terus untuk belajar, yang rajin ke sekolah demi capai masa depanmu.”

NUKILAN suntikan semangat itu melengkapi foto Kim Jeffrey Kurniawan di Instagram pada 30 Maret 2017. Dalam foto tersebut, gelandang Persib Bandung itu memamerkan jersey klubnya.

Tapi, nama di atas nomor punggung 23 bukan Kim. Yang tertulis di sana malah Yanuarius. Dia adalah seorang bocah Asmat di pedalaman Papua sana.

Lewat Book for Papua-lah Kim ”menemukan” Yanu. Persisnya melalui foto yang diunggah Satrya Said melalui akun pribadi dan akun Book for Papua. Di foto tersebut, bocah kelas I SD itu mengenakan kostum Persib yang dibelikan sang mama.

”Ada yang mention ke Kang Emil (Ridwan Kamil, wali kota Bandung) dan para Bobotoh. Dari sanalah donasi akhirnya mengalir untuk Yanu, termasuk dari Kim,” kata Satrya di drop point Book for Papua di kawasan Jalan Citarum, Surabaya, pada Selasa lalu (27/6).

Empat tahun sudah Satrya bersama tiga rekannya, Arum Ratna Pratiwi, Roslina Ginting, dan Bingar Subari, menjalanka­n Book for Papua. Dari home base di Surabaya, mereka menjalanka­n komunitas yang berkomitme­n mengabdi untuk pendidikan di Papua itu.

Konsep awal komunitas tersebut hanya menyebarka­n buku-buku, baik bekas maupun baru, ke Papua. Buku-buku itu didapat dari donasi masyarakat.

Tapi, setelah melihat langsung kondisi di Papua, empat anak muda itu melihat bahwa membuat perpustaka­an saja tidaklah cukup. Akhirnya, dengan segala upaya, mereka mewujudkan kelas baca dan tulis.

Saat ini Book for Papua telah membuat enam rumah baca dan dua kelas baca-tulis. Untuk kelas baca-tulis, mereka melibatkan relawan dari gereja dan peserta Sarjana Mendidik di Daerah Terluar, Terdepan dan Tertinggal (SM3T).

Keempatnya dipersatuk­an kesukaan pada traveling. Khususnya mendaki gunung. Di luar Satrya, tiga anggota komunitas itu seharihari merupakan perawat. Mereka bekerja di dua rumah sakit swasta di Surabaya. Sedangkan Satrya yang pernah berkuliah di Jogjakarta sehari-hari berdagang.

Kalau kemudian Papua yang dipilih, kata Satrya, sang inisiator, itu karena kondisi pendidikan di sana paling buruk bila dibandingk­an dengan seluruh daerah di Indonesia.

Seorang pastor yang berkawan dengan Satrya sempat menyebutka­n, memberikan bantuan ke Papua ibarat memberikan setetes air kepada orang yang kehausan. ”Saya dapat cerita dari pastor tersebut bahwa di Papua kalender bekas saja bisa dijadikan buku tulis bagian belakangny­a. Dari situlah, saya terpacu untuk melanjutka­n membuat perpustaka­an seperti yang dulu saya lakukan semasa kuliah di Jogjakarta,” kenangnya.

Satrya lantas ”mengompori” temannya yang lain. Arum orang yang pertama diajaknya.

Arum mengaku bersedia diajak Satrya karena ”panas” setelah sahabatnya itu bilang, ”Masak hanya mendaki gunung di Jawa.”

”Eh, akhirnya saya bisa sampai Papua, meskipun akhirnya tidak bisa traveling karena di sana harus ngurusi anak-anak. Tapi, setiap sudut Papua itu indah, jadi tetap merasa traveling,” katanya.

Perempuan kelahiran Mojokerto itu lantas mengajak dua orang kawan yang juga perawat, Roslina dan Bingar. Selain mengumpulk­an dan mengirimka­n buku serta mendirikan rumah baca-tulis, Book for Papua turut mencarikan dana untuk para bocah Papua berbakat. Yakni, yang ingin melanjutka­n pendidikan ke jenjang lebih tinggi.

Robert Um salah satunya. Ketika donatur yang akan menanggung biaya sekolah Um sudah didapat, sang ibu ternyata tidak rela dia keluar dari kampung mereka yang ada di pedalaman hutan Asmat. Untuk melanjutka­n SMP di Merauke. Saat itulah, muncul Yanu yang menjadi semacam ” ice breaker” alias pemecah ketegangan berkat kaus Persib yang dikenakan tadi.

Bocah lain yang juga dibantu untuk melanjutka­n pendidikan adalah Musa Ilintamon.

Ketika lulus SMP, dia sudah memilih merantau. Dari pedalaman Yahukimo ke Tiom, Kabupaten Lanny Jaya. Ketika merantau itu, dia harus berjalan kaki 16 hari.

Melewati tiga kabupaten, menembus kawasan Pegunungan Jayawijaya. Untuk bisa bersekolah di SMA Negeri 1 Tiom, Musa harus bekerja kepada orang. Mengurus rumah orang plus ternak-ternaknya.

Nah, ketika hendak lulus SMA, Musa sempat bertemu relawan Book for Papua yang punya agenda kegiatan di Tiom. Musa mengutarak­an cita-citanya agar bisa melanjutka­n kuliah. Book for Papua lantas menemukan orang yang siap membiayai Musa kuliah di Medan.

Musa jelas sangat girang. Bahkan, dia mengutarak­an siap menabung agar tak begitu memberatka­n orang yang membantu.

Tapi, Tuhan berkehenda­k lain. Belum sempat Musa merasakan bangku kuliah, dia berpulang. ”Dia meninggal hanya gara-gara infeksi dari luka yang ada di kakinya,” ujar Arum Ratna Pratiwi, anggota komunitas Book for Papua lainnya.

Selama empat tahun berkiprah, mereka merekam begitu banyak kondisi memprihati­nkan di Papua. Banyak sekolah di pedalaman yang vakum. Tidak ada murid. Guru-guru juga jarang datang. Entah karena malas atau memang akses ke sekolah yang jauh dan sulit ditempuh.

”Ada gedung sekolah yang sudah empat tahun tidak terpakai. Ada juga guru yang datang hanya enam bulan sekali,” kata Satrya.

Di satu sisi memprihati­nkan, di sisi lain, itu pula yang terus menyemanga­ti Book for Papua untuk terus bergerak. Mengatasi berbagai kesulitan.

Selama ini Book for Papua kerap terkendala persoalan biaya untuk mengangkut bukubuku donasi. Karena itu, mereka lantas memilih Surabaya sebagai home base.

Sebab, pengangkut­an buku ke Papua akan lebih murah jika dibawa dari Surabaya. ”Selama ini buku-buku ini sering kami bawa lewat kapal laut,” katanya.

Dari kapal laut, buku-buku itu didistribu­sikan ke pedalaman Papua. Ada yang dilanjut menggunaka­n speedboat, mengarungi lautan ganas, agar bisa mencapai pedalaman di Asmat.

”Untuk kelas baca dan tulis, Satrya juga yang selalu ada di sana. Biasanya dia bisa 2–3 bulan keliling pedalaman Papua,” ujar Arum.

Para donatur datang dari berbagai lapisan. Biasanya para penyumbang itu tahu aktivitas Book for Papua dari media sosial. Nilai sumbangann­ya sukarela dan bisa diwujudkan dalam beragam bentuk.

Belakangan donasi bukan hanya buku. Tapi, juga alat tulis, seragam, baju bekas, hingga obat-obatan.

Satrya maupun Arum sama-sama mengakui, di Papua, mereka tak hanya ”memberi”. Tapi, juga mendapatka­n banyak pelajaran berharga. Salah satunya kejujuran.

Misalnya, dari bocah bernama Lepinus yang harus menambang pasir hanya agar bisa melanjutka­n sekolahnya di sebuah SD swasta. Uang dari keringatny­a ditabung di sebuah celengan.

Book for Papua akhirnya berhasil mengumpulk­an donasi untuk membayar uang sekolah Lepinus. Plus membelikan seragam. ”Dia ke sekolah telanjang kaki. Kami pun sempat mengajak dia beli sandal untuk ke sekolah, tapi dia tidak mau,” ujar Arum.

Lepinus ternyata ingin sekali punya sepatu bola. Tapi, tidak mau diberi begitu saja. Dia hanya ingin ditambahi uang untuk membeli sepatu bola. Dia ingin membeli barang berharga dari keringatny­a sendiri.

”Kepolosan dan kejujurann­ya itulah yang membuat kami sangat terharu,” kata Arum. (*/c10/ttg)

 ?? GUNAWAN SUTANTO/JAWA POS ??
GUNAWAN SUTANTO/JAWA POS
 ?? BOOK FOR PAPUA/ FOR JAWA POS ?? PEDULI: Satrya Said dan Arum Ratna Pratiwi sedang mengemas buku, seragam, dan peralatan tulis untuk dibawa ke Papua. Foto atas, Lepinus mengenakan seragam hasil donasi para donatur Book for Papua.
BOOK FOR PAPUA/ FOR JAWA POS PEDULI: Satrya Said dan Arum Ratna Pratiwi sedang mengemas buku, seragam, dan peralatan tulis untuk dibawa ke Papua. Foto atas, Lepinus mengenakan seragam hasil donasi para donatur Book for Papua.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia