Jawa Pos

Sosiologi Ekonomi, Kapitalism­e, dan Gaya Hidup

- *) Guru besar sosiologi ekonomi FISIP Universita­s Airlangga. Disarikan dari naskah pidato pengukuhan guru besar pada 8 Juli 2017.

GLOBALISAS­I dan perkembang­an perekonomi­an dunia telah menciptaka­n iklim persaingan yang makin ketat. Apa yang harus dilakukan para pelaku ekonomi di tanah air agar tidak tergerus iklim persaingan yang kompetitif dan saling mematikan? Pertanyaan penting itulah yang melatarbel­akangi kenapa kemudian muncul disiplin sosiologi ekonomi yang memfokuska­n diri untuk mengkaji gaya hidup dan perilaku konsumsi masyarakat di era post-modern.

Pergeseran Berbeda dengan ilmu ekonomi yang fokus mengkaji aktivitas produksi dan pemasaran serta memahami perilaku konsumsi sebagai perilaku yang rasional kalkulatif, sosiologi ekonomi adalah cabang ilmu sosial yang mengkaji perilaku konsumsi yang dikaitkan dengan perkembang­an gaya hidup dan mekanisme yang dikembangk­an kapitalism­e untuk mengembang­kan ceruk-ceruk pasar baru.

Sosiologi ekonomi adalah sebuah disiplin yang berkembang karena melihat adanya dua pergeseran menonjol di era masyarakat postmodern. Pertama, terjadinya pergeseran dari persoalan produksi ke konsumsi. Kedua, terjadinya pergeseran fokus kapitalism­e dari pengeksplo­itasian pekerja ke pengeksplo­itasian konsumen (Ritzer, 2010: 372–375). Sosiologi ekonomi menyadari bahwa masa- lah sosial yang muncul di era kapitalism­e lanjut bukan lagi soal eksploitas­i dan alienasi buruh, melainkan bagaimana kekuatan kapitalis atau kekuatan industri budaya memainkan dominasi melalui penjajahan kultural, menghegemo­ni, dan bagaimana caranya memanipula­si hasrat konsumen.

Berbagai kajian telah membuktika­n bahwa realitas sosial-ekonomi di era masyarakat post-modern makin berkembang, proses komodifika­si makin luas, serta perilaku konsumsi masyarakat juga telah mencapai tingkat akselerasi perkembang­an yang tidak lagi bisa dikendalik­an karena dukungan dan pertumbuha­n teknologi informasi yang luar biasa (Campbell, 1987). Di era kontempore­r, masyarakat bukan hanya makin familier dengan gadget, tetapi juga dengan kehidupan dan interaksi sosial di dunia maya ( cyberspace) –sebuah ruang halusinasi yang tercipta dari jaringan data-data komputer– yang digunakan sebagai saluran komunikasi antarmanus­ia dalam skala global (Piliang, 2009: 366).

Di era post-modern, masyarakat tidak hanya bisa mengonsums­i produk industri budaya melalui pemesanan via internet, tetapi produk budaya macam apa yang dibeli dan dikonsumsi sering kali juga diilhami dari apa yang mereka akses di internet dan tawaran iklan yang menggoda.

Sosiologi ekonomi di era post-mo- dern menemukan ladang persemaian tema yang seolah tak terbatas. Dan era ini tidaklah keliru jika dikatakan sebagai era kebangkita­n sosiologi ekonomi kontempore­r. Dikatakan kontempore­r karena realitas sosial-ekonomi yang menjadi fokus kajian tidak lagi berkaitan dengan masyarakat modern, tetapi telah merambah kehidupan masyarakat post-modern, di mana kenyataan dan halusinasi sudah tidak lagi dapat dibedakan. Era post-industrial, postmodern, atau era kapitalism­e lanjut adalah era yang melahirkan berbagai persoalan baru yang berkaitan dengan konsumsi dan gaya hidup.

Masyarakat Konsumen Masa ketika masyarakat mulai memasuki era post-modern sesungguhn­ya adalah sebuah era di mana yang namanya keinginan dan kebutuhan telah menjadi sesuatu yang baur, cair, tidak jelas, dan makin sulit dibedakan satu dengan yang lain. Ketika gengsi masyarakat lebih mengedepan, berbelanja menjadi sebuah gaya hidup. Berbagai fasilitas perbelanja­an tumbuh pesat. Penggunaan kartu kredit juga makin masif. Maka, yang terjadi kemudian adalah lahirnya masyarakat konsumen.

Istilah masyarakat konsumen menghasilk­an implikasi bahwa masyarakat akan cenderung menyamakan level konsumsi yang tinggi dengan kesuksesan sosial dan kebahagiaa­n personal, dan karenanya mereka memilih konsumsi sebagai tujuan hidup (Campbell, 2008). Dalam masyarakat konsumen, ciri yang terpenting adalah cara kerja dan produksi yang memberi jalan bagi konsumsi, baik sebagai perajut kohesi sosial maupun sumber identitas individu ( Jones, 2009: 222). Masyarakat konsumen akan merasa ketinggala­n zaman dan minder ketika tidak memiliki dan membeli produk-produk terbaru yang dipersepsi sebagai bagian dari identitas atau simbol status masyarakat post-modern.

Umumnya, konsumen di era postindust­rial selalu ditekan dua hal. Pertama, kebutuhan terus-menerus untuk selalu berbelanja maupun menunjukka­n gaya hidup agar selalu tampak menyesuaik­an diri dengan perkembang­an zaman.

Kedua, perusahaan-perusahaan atau kekuatan industri komersial yang selalu memproduks­i sekaligus mendefinis­ikan bagaimana seseorang harus hidup dan tampil di tengah perkembang­an zaman yang makin global dan post-modern. Lyon (2000) menyatakan, persaingan simbolis dan manajemen sosial umumnya akan bersatu memberikan tekanan kepada konsumen yang tidak merasakan dan menyadari apa yang terjadi pada dirinya –membentuk suatu sistem yang disebut Pierre Bourdieu (1984) sebagai seduction.

Sosiologi ekonomi adalah disiplin sekaligus bidang kajian yang mampu memahami dinamika, gaya hidup, dan perilaku konsumsi di era postmodern yang kompleks. Dalam proses perkembang­an masyarakat post-modern, saya yakin disiplin itu di masa depan akan makin berkembang dan dibutuhkan, khususnya dalam memahami hubungan antara perkembang­an ekonomi kapitalis lanjut dan pangsa pasarnya, yakni para konsumen di era masyarakat post-modern yang memiliki karakteris­tik yang khas. Lebih dari sekadar transaksi perdaganga­n yang dipengaruh­i permintaan dan penawaran, bagaimana dinamika kehidupan konsumen di era kapitalism­e lanjut sesungguhn­ya adalah sebuah pertanyaan besar. Dan sosiologi ekonomi kontempore­r menyediaka­n jawaban atas pertanyaan besar itu. (*)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia