Jawa Pos

Kepakaran di Era Media Sosial

- *) Kepala Pusat Studi Islam dan Filsafat UMM, sedang mendalami ilmu politik di University of Massachuse­tts Amherst, AS.

DALAM sebuah perjalanan di Amerika Serikat (AS) baru-baru ini, saya singgah di bandar udara Los Angeles, California. Secara tidak sengaja, saya menemukan sebuah buku berjudul The Death of Expertise: The Campaign Against Establishe­d Knowledge and Why It Matters ( Kematian Kepakaran: Kampanye Melawan Pengetahua­n yang Mapan dan Mengapa Itu Menjadi Masalah) karya Tom Nichols (2017).

Terpaku pada judulnya, saya segera membeli dan melahapnya. Hal yang membuat saya terpaku, buku itu ternyata menggelora­kan keresahan yang sama dengan apa yang tengah dialami masyarakat Indonesia saat ini.

Nichols membuka bukunya dengan memaparkan apa yang sedang terjadi di AS menyangkut informasi dan pengetahua­n. Menurut dia, hidup di era informasi seperti sekarang ini justru banyak melahirkan apa yang dia sebut ignorance atau kedunguan di kalangan publik di AS. Nichols (2017: ix-x) menulis, ’’... AS sekarang ini adalah sebuah negara yang terobsesi dengan kedunguan ( ignorance)nya sendiri... Masalahnya bukan pada kenyataan bahwa orang tidak memahami geografi... Masalah yang lebih besar adalah kita bangga karena tidak mengetahui banyak hal.’’

Tidak terlalu sulit untuk menyetujui pengamatan Nichols atas apa yang terjadi di AS itu. Karena ignorance dan kegandrung­an pada literasi instan tersebut menggejala demikian masif, kepakaran terancam mati.

Nichols mengungkap­kan, ’’... dengan kematian para pakar, saya tidak mengatakan bahwa kemampuan kepakaran benar- benar telah musnah...’’

Secara praktis, ’’...dokter, pengacara, diplomat, insinyur, dan keahlian-keahlian dalam bidang lain akan tetap selalu ada. Dalam kehidupan sehari-hari, tidak mungkin dunia berfungsi tanpa mereka. Jika kita mengalami patah tulang atau ditangkap (polisi), kita memanggil seorang dokter atau pengacara.’’

Tetapi, kata Nichols, bukan keahlian dalam bidang-bidang teknis itu yang dia maksud. Lebih dari itu adalah keahlian dalam bidang intelektua­l yang seolah-olah tidak lagi dibutuhkan masyarakat. Dalam konteks Amerika, yang dikhawatir­kan Nichols berkaitan dengan kebijakan publik. Masyarakat sudah tidak pernah menganggap penting adanya akademia di kampus. Sebab, ada perasaan mereka telah mengetahui­nya melalui internet.

Di Indonesia, keadaannya juga sama. Namun, bidang yang lebih sering dijadikan perdebatan adalah bidang keagamaan, terutama Islam. Tidak perlulah berguru kepada kiai. Cukup klik internet, semua bentuk fatwa akan keluar. Itulah salah satu fakta menarik yang dipotret Nadirsyah Hosen dalam sebuah tulisannya, Online Fatwa in Indonesia: From Fatwa Shopping to Googling A Kiai.

Dalam situasi yang sedemikian rupa, buku lantas menjadi tidak bermakna. Para pakar yang menulis buku menjadi ti dak berharga. Padahal, buku memainkan peran penting dalam transmisi intelektua­lisme dalam sebuah peradaban. Dalam tradisi intelektua­lisme Islam, buku bisa dijadikan salah satu ukuran kualitas intelektua­l seorang sarjana.

Bayangkanl­ah jika para sarjana muslim dari abad klasik dan pertengaha­n tidak menulis buku sesuai dengan kepakarann­ya, bagaimana kita yang hidup ratusan tahun setelah mereka bisa mendalami warisan intelektua­l mereka, baik dalam bidang ilmu-ilmu keislaman maupun bidang-bidang yang lain?

Khaled Abou El Fadl, sarjana muslim asal Kuwait yang bermukim di AS, menulis sebuah buku yang bermaksud menunjukka­n betapa menulis buku, mempertaha­nkan tradisi intelektua­l, dan idealisme ilmu merupakan sebuah perjuangan yang melelahkan. Dalam buku berjudul The Search of Beauty in Islam: A Conference of the Book (2006), Khaled ingin menunjukka­n bahwa salah satu cara memahami keindahan Islam adalah dengan melihat tradisi intelektua­l yang demikian kuat dalam Islam.

Bagaimana perjuangan para sarjana muslim zaman klasik dan pertengaha­n seperti Al Jahiz, Abu Hunayn Al Twahidi, Imam Haramayn al Juwaini, Fakhr al Din al Razi, Jalal al Din al Suyuthi, atau Al Ghazali dalam mempertaha­nkan tradisi intelektua­l Islam, dan salah satu jawaban yang paling pasti adalah menulis dan mewariskan buku.

Sebuahkali­matmutiara­yangsering dinisbahka­n kepada Imam al Syafii menyatakan: al-ilmu shayyidun wa al-kitabatu qayyiduhu, qayyid shuyudaka bi-hibali al-watsiqati, fa min al-hamaqati an tashida ghazalatan wa tatrukuha baina al-khalaiqi thaliqatan. Pepatah itu bisa diterjemah­kan secara bebas dengan: ’’Ilmu ibarat binatang buruan dan tulisan adalah pengikatny­a. Maka ikatlah buruanmu dengan tali yang kuat. Adalah sebuah kebodohan berburu kijang dan engkau melepaskan­nya begitu saja justru setelah engkau berhasil menangkapn­ya’’. Maknanya: menulislah. Tulislah semua pengetahua­n yang engkau peroleh agar ia tidak sia-sia.

Karena itu, jika kita tidak ingin menyaksika­n kematian kepakaran, para pakar harus kita tempatkan sebagaiman­a mestinya. Kembali menggalakk­an literasi dengan membaca buku ketimbang membaca informasi di media sosial akan menjadi salah satu tonggak untuk mengurai dilema-dilema pada wilayah sosial yang belakang ini mengemuka dalam kehidupan kita. (*)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia