Jawa Pos

Penanganan ABH Belum Maksimal

Anak Bercampur dengan Tahanan Dewasa di Rutan

-

SURABAYA – Jumlah perkara anak menunjukka­n tren menurun. Setidaknya itu terlihat dalam tiga bulan terakhir. Meski begitu, penanganan perkara anak masih dianggap belum maksimal.

Sekretaris Surabaya Children Crisis Center (SCCC) Muhammad Umar menilai, penanganan perkara anak belum sesuai dengan Undang-Undang Perlindung­an Anak. Terutama berkaitan dengan pemberian hak-hak anak selama proses peradilan. ’’Aturan sudah bagus. Pelaksanaa­n saja yang belum sesuai,’’ ujarnya kemarin (6/7).

Umar menyoroti proses penahanan anak berhadapan dengan hukum (ABH). Selama proses persidanga­n berjalan, mayoritas ABH tidak ditempatka­n di lokasi yang layak. Mereka lebih sering ditempatka­n di rumah tahanan. Mereka bergaul dengan tahanan dewasa. ’’Ini sangat tidak layak. Seharusnya anak tidak ditempatka­n di tempat seperti rutan,” ujarnya.

Pria yang juga berprofesi sebagai advokat tersebut menganggap hal itu dapat ber- pengaruh dan mengganggu tumbuh kembang anak. Secara psikologis, anak akan semakin tertekan, apalagi ketika anak tidak mendapatka­n pembinaan yang cukup. ’’Belum lagi jika mereka terpengaru­h tahanan dewasa,” katanya.

Pernyataan Umar cukup beralasan. Berdasar pengalaman­nya, anak-anak yang dititipkan di lembaga penyelengg­araan kesejahter­aan sosial (LPKS) dan lembaga penitipan anak sementara (LPAS) cenderung hidup lebih baik. Berbeda dengan anak yang dititipkan di rutan. Mereka cenderung jadi kambuhan. ’’Kalau anak yang kami bimbing, dari 60 orang, hanya dua yang pernah berbuat kriminal,” ujarnya.

Mengacu kecenderun­gan tersebut, Umar berharap setiap ABH bisa dititipkan di tempat yang layak. Sayang, selama ini keberadaan LPKS dan LPAS kurang maksimal. Problemnya sama: overkapasi­tas. Lembaga-lembaga tersebut memiliki kapasitas yang minim.

Sementara itu, Kepala Seksi Bimbingan Klien Anak Balai Pemasyarak­atan (Bapas) Kelas I Surabaya Tri Pramoedjo mengungkap­kan, selama tiga bulan terakhir, grafik perkara anak terus menurun. Namun, jumlah perkara anak pada semester pertama 2017 masih lebih tinggi daripada tahun lalu. Perkara yang mendominas­i masih kejahatan jalanan, khususnya kejahatan dengan kekerasan. ’’Menurun, meski tetap tinggi,’’ ujarnya.

Selama ini pihaknya sudah berusaha memberikan rekomendas­i terbaik, khususnya dalam hal penahanan. Sebisa mungkin bapas meminta para aparat penegak hukum memberikan yang terbaik untuk anak. ’’Kami selalu meminta agar anak tidak ditempatka­n di rutan, walau hanya melalui lisan,” ungkapnya.

Namun, rekomendas­i tersebut tidak selalu diindahkan. Masih ada anak yang terbelit masalah hukum yang ditempatka­n di rutan. Meski, ada juga yang dititipkan ke LPKS atau dikembalik­an ke orang tua untuk sementara waktu.

Pada bagian lain, Kajari Surabaya Didik Farkhan Alisyahdi mengatakan berada dalam posisi dilematis. Di satu sisi, pihaknya ingin menerapkan UU Perlindung­an Anak. Di sisi lain, secara kualitas, kejahatan anak hampir sama dengan kejahatan yang dilakukan orang dewasa. ”Bahkan, dalam beberapa hal, lebih parah,” ujar pria asal Bojonegoro tersebut.

Lantaran kualitasny­a yang tinggi itu, anak menjadi sulit diatur. Beberapa LPKS yang sempat akan dititipi memilih menolak. Apalagi jika menyangkut perkara pencurian dengan kekerasan. ”Dulu sempat ada anak yang kabur sehingga mengganggu proses persidanga­n,’’ bebernya.

Karena itu, selama ini penuntut umum lebih memilih menitipkan anak di rutan. Meski demikian, pihaknya tidak menutup kemungkina­n untuk menitipkan kembali ke LPKS. (aji/c7/c17/fal)

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia