Jawa Pos

Bukan lagi SD Lowo yang horor

Sidoarjo memiliki beberapa bangunan lawas yang keaslianny­a masih terawat. Salah satunya SDN Wonocolo 2, Taman, yang merupakan satusatuny­a bangunan cagar budaya. Begitu juga perkampung­an di Desa Sawohan, Kecamatan Buduran.

-

MEGAH. Itu kesan setelah melihat bangunan yang dikeliling­i tembok setinggi 10 meter tersebut. Di bagian pojoknya, terdapat dua menara dengan cat yang sudah memudar tapi masih kukuh. Di tiap menara, terdapat pengeras suara yang mengumanda­ngkan lantunan suara anak-anak saat mengaji di musala. Bangunan tersebut dipakai sebagai SDN Wonocolo 2, Taman.

Ketika memasuki halamannya yang bersebelah­an dengan SMK Taman itu, aura lawas langsung menyedot perhatian. Panorama yang kali pertama terlihat adalah gedung tinggi dengan gerbang melengkung besar yang tersusun dari batu bata khas zaman Belanda. Istilahnya bata satu sen. Kusen pintu utama dibuat dari besi yang bermotif ukiran simetris.

Ruang kelasnya pun unik. Misalnya ruang kelas I. Bangku yang digunakan masih berupa meja dan kursi pendek. Tingginya setara dengan lutut perempuan dewasa. Lantainya masih keramik bermotif bunga dengan dasar warna putih tulang. Jendela dan pintu pun menjulang tinggi. Bangunan tersebut belum pernah direnovasi. Asli sejak awal dibangun.

Berapa usianya? Berdasar dokumentas­i SDN Wonocolo 2, bangunan dengan arsitektur kolonial tersebut ada sejak 1913. ”Dulunya Sekolah Baperki (Badan Permusjawa­ratan Kewarganeg­araan Indonesia, Red),” ungkap Kepala Sekolah SDN Wonocolo 2 Lilik Dwi Retnowati. Usia bangunan yang sudah lebih dari satu abad membuat banyak proyek pembanguna­n untuk sekolah itu terbengkal­ai. ”Alasan utamanya ya takut,” katanya.

Saat baru pindah ke sekolah tersebut pada 2014, dia miris dengan kondisi SDN Wonocolo 2. ”Kotor, banyak semak, temboknya lumutan, pokoknya horor,” ucap perempuan kelahiran Tuban 52 tahun silam itu. Dia bahkan mendapatka­n banyak cerita hantu ketika kali pertama menginjakk­an kaki di sekolah yang berlokasi di seberang Stasiun Sepanjang tersebut. ”Mau membenahi ruangan yang dulunya ditutup saja, perjuangan­nya setengah mati. Semua guru menentang,” ujarnya kemarin (6/7).

Ketakutan para guru tidak membuat Lilik berhenti berbenah. Dia sudah memutuskan untuk merombak bangunan yang telah menjadi cagar budaya di Sidoarjo itu. Pertama, Lilik mengecat bangunan satu per satu. Ruangan yang sebelumnya haram dibuka dia fungsikan. Termasuk ruangan yang kini menjadi unit kesehatan siswa (UKS) dan ruang guru. Bahkan kebun pisang di halaman belakang sekolah yang tak terawat pun dia bersihkan. Kemudian, sebuah musala didirikan. ”Saya percaya, jika niatnya baik, pasti nggak ada apa-apa,” paparnya.

Niat tersebut makin kuat karena beberapa kali Lilik mendengar bahwa sekolah yang dipimpinny­a itu disebut sekolah lowo alias kelelawar. ” Ya, disebut begitu karena banyak kelelawar. Katanya, baunya nggak enak. Sekolah hantu,” paparnya. Kini sekolah yang menjadi bangunan cagar budaya satu-satunya di Sidoarjo itu tak lagi dikatakan sebagai SD Lowo. Penampilan­nya sudah berubah. Bersih, tertata, dan memesona sebagai warisan budaya. Bahkan, assessor dinas pendidikan yang datang pun dibuat takjub. ”Mereka ke sini lagi setelah pembenahan. Ya kaget, kok bisa ya,” ucap Lilik, menirukan mereka, lantas tertawa. (via/c11/ai)

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia