Penggemar dan Perangkap Kapitalisme
Melalui buku ini, Rahma Sugihartati menunjukkan betapa dirinya terampil mengombinasikan teori dan metode dengan beragam tawaran konsep mutakhir dalam studi subkultur. Masih terdapat beberapa celah kecil, terutama pada banyaknya repetisi.
BUDAYA populer berikut konsumennya merupakan fenomena budaya yang senantiasa dinamis dan menarik untuk dipahami, termasuk di Indonesia. Sebagai bagian dari era digital, konsumen, yang lantas beralih menjadi ”penggemar’’, mengembangkan bentuk-bentuk aktivitas serta identitas yang kini lebih banyak berada dalam ruang-ruang virtual.
Menariknya, seperti yang menjadi asumsi dasar buku ini, fenomena penggemar itu tidak cukup dijelaskan sebagai kegiatan waktu senggang, kenikmatan semu, atau semata ”objek-kapitalis”. Fans page novel pop Amerika atau melodrama Korea yang bertebaran di internet adalah contoh yang bisa diajukan.
Bagaimana budaya pop dan perilaku penggemarnya dijelaskan dalam buku yang bersumber dari distertasi ini? Berhasilkah buku ini menawarkan kebaruan kajian yang bukan sekadar mampu menjelaskan dan memprediksi perilaku penggemar budaya pop di Indonesia, melainkan juga merumuskan strategi terhadap fenomena tersebut? Perangkap Kapitalisme Sebagai akademisi, sosiolog, dan aktivis literasi, Rahma Sugihartati jitu dan piawai dalam memilih dan merumuskan arah kajian yang tak jauh dari aktivitas serta habitusnya.
Komunitas penggemar serial The Mortal Instruments karya novelis populer Cassandra Clare, yakni The Mortal Instruments Indonesia (TMIndo), dipilih sebagai subjek kajian. Novelnovel tersebut dialihwahanakan ke media film dan serial televisi di Amerika Serikat. Meskipun secara tekstual lebih mengacu pada konteks kultural Amerika Serikat, jumlah penggemar di Indonesia mencapai 769 ribu orang (hal 99).
Tentu, yang menarik bukan kuantitas, melainkan aktivitas para penggemar. Rahma menemukan bahwa komunitas tersebut bukan sekadar fans. Lebih dari itu, mereka telah menjelma subkultur virtual berbasis fandom.
Konsep fandom mengacu pada aktivitas yang bukan hanya menggandrungi dan meresepsi suatu teks budaya pop. Melainkan juga mengkreasi teks hipogram (asal) menurut versi mereka sendiri. Mengubahnya sesuai dengan selera dan kemauan penggemar tersebut ( fanfiction), lantas menyirkulasikannya sehingga tercipta suatu pengalaman bersama (13).
Beberapa penggemar, seperti cosplayer, bisa teramat menjiwai karakter yang digandrunginya. Hingga taraf kostum, aksesori, karakternya, bahkan tak canggung mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam konteks TMIndo, teks novel tersebut lantas menjelma produkproduk konsumsi seperti parfum, baju, aksesori, dan bahkan perhiasan. Pada tahap inilah, Rahma meyakini konvergensi media, yakni kesalingterkaitan media-media baru berbasis teknologi informasi, menjadi arena sekaligus pasar baru bagi industri budaya dan kapitalisme global.
Rahma kemudian beranjak lebih jauh dengan membahas taste atau selera dan gaya hidup dalam subkultur penggemar ini. Dengan ”mencabar” atau menunjukkan kelemahan teoriteori subkultur terdahulu yang kini dianggapnya kurang relevan.
Tetapi, tidak semua penggemar, memang, berperilaku seperti di atas. Temuan lain Rahma mengidentifikasi juga apa yang disebutnya dengan kelompok penggemar ”kritis”. Yakni, peng- gemar dengan tingkat literasi media dan literasi digital yang memadai. Repetisi Melalui buku ini, Rahma menunjukkan betapa dirinya terampil mengombinasikan teori dan metode, seperti netnografi, critical discourse analysis, critical theory, dengan beragam tawaran konsep mutakhir dalam studi subkultur. Meski cemerlang, masih terdapat beberapa celah kecil.
Pertama, secara redaksional, teramat banyak repetisi penjelasan konseptual dan temuan di setiap babnya. Paparan tentang dua jenis penggemar di atas, misalnya, tercantum nyaris di setiap bab.
Kedua, repetisi itu tidak hanya bersifat redaksional, melainkan juga substansial. Seperti diakui oleh penulisnya, buku ini ”... memperlihatkan kesesuaian dengan asumsi dasar mazhab Frankfurt... yang lebih cenderung melihat ketidakberdayaan dan pasivitas subjek yang terhegemoni ketika menghadapi kapitalisme (241).”
Keterampilan dan kecanggihan Rahma, peraih nilai absolut 4 untuk studi doktoral di Universitas Airlangga, dalam mengaplikasikan beragam konsep plus kedalaman analisisnya akan memberikan pencerahan kepada pengamat, mahasiswa, peneliti, atau siapa pun yang hendak memahami kepenggemaran di Indonesia. (*)