Jawa Pos

Bertahan karena Kebanggaan Memakai Seragam Perawat

Melintasi Belantara dan Jalan Berlumpur, Merawat Orang Sakit tanpa Gaji

- HADRIAN I.-ABDI M., Buranga

Meski berstatus honorer, sepuluh tenaga medis di Buton Utara harus bekerja siang malam tanpa bayaran sepeser pun. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, ada yang menerima orderan menjahit atau membersihk­an karang gigi.

KALAU ada hari-hari yang membuat Enci Karisma hanya bisa tersenyum pahit, itu adalah harihari di awal bulan

Hari-hari ketika rekan-rekan sekerjanya mungkin sibuk menyiapkan rencana belanja atau berburu makanan enak. Sebab, gajian telah tiba.

Dara 22 tahun itu cuma bisa tersenyum kecut karena, jangankan gaji, honor sebagai perawat di Puskesmas Kambowa pun tak ada. Untung, kebanggaan sebagai perawat membuatnya tetap tabah.

”Bisa memakai baju perawat dan bekerja di sini saja sudah senang,” katanya kepada Kendari Pos ( Jawa Pos Group).

Padahal, pengorbana­nnya agar bisa mengabdi di puskesmas yang berada di Kabupaten Buton Utara, Sulawesi Tenggara, itu tak ringan. Tiap hari dia harus menempuh sekitar 30 kilometer bolak-balik. Dengan kondisi jalanan yang sebagian besar berlumpur dan berlubang.

”Sebulan lebih dari Rp 300 ribu lah harus saya keluarkan untuk biaya bolak-balik dari rumah ke sini (puskesmas). Orang tua yang talangi karena status saya di sini masih honorer,” ungkap Enci.

Enci tak sendirian. Di puskesmas yang berdiri megah di pusat kecamatan itu, ada sembilan tenaga honorer lain yang nasibnya serupa. Mereka adalah Ada Erniwatu, 25, yang baru genap lima bulan mengabdi. Kemudian, Jumarni, 25; Wa Ode Juniarti, 24; dan Asrifah, 24, yang sudah mengabdi selama tujuh bulan.

Selain itu, ada Novianti Ansar yang telah delapan bulan menjadi sukarelawa­n. Tiga nama lainnya, Ade Marlina, 25; Yohana, 26; dan Sarman, 26, bahkan sudah lebih dari setahun mengabdi.

Selama ini, kata Enci, modal dirinya dan rekan-rekan mengabdi di puskesmas itu hanyalah sepucuk surat keputusan (SK) pengangkat­an yang dikeluarka­n kepala Puskesmas Kambowa. Tapi, mereka baru boleh diberi honor bila SK-nya diteken bupati.

Enci, alumnus Akademi Keperawata­n (Akper) Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Kendari itu, mengaku dirinya dan rekan-rekan sebenarnya sudah mengajukan surat ke bupati. Agar mereka bisa diangkat menjadi tenaga honorer yang digaji lewat APBD. ”Tapi, belum ada hasil sampai sekarang,” ujarnya.

Enci dan rekan-rekannya sadar, jumlah honor lewat APBD bakal tak seberapa. Namun, bagi mereka, itu sudah lebih dari lumayan. Setidaknya mengurangi beban pengeluara­n yang mereka tanggung sendiri. ”Bekerja nirgaji sangat berat dan tak mudah. Namun, tekad saya untuk mengabdi dan mendapatka­n pengalaman kerja begitu besar,” ucapnya.

Selain mengandalk­an bantuan orang tua, beberapa pegawai tanpa gaji itu bekerja sampingan memanfaatk­an kealihan di bidang lain. Atau di- support suami.

Novianti Ansar, misalnya, dia memenuhi kebutuhan sehari-harinya dan membiayai transporta­sinya pulang pergi ke Puskesmas Kambowa dengan menyisihka­n gaji suami. ”Saya cari pengalaman. Kurang lebih 10 kilometer tiap hari saya tempuh untuk sampai ke puskesmas,” kata alumnus kampus Akademi Pelita Ibu Kendari tersebut.

Sementara itu, Asrida mengaku menerima order jahitan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Keterampil­an itu dia dapatkan saat mengenyam pendidikan di sekolah kejuruan. ”Penghasila­nnya kecil, tapi lumayan bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari. Selain itu, saya masih mendapat bantuan orang tua kendati telah menyelesai­kan studi,” ungkapnya.

Asrida mengatakan sering mendapat cibiran dari rekan-rekannya karena bekerja tanpa digaji. Tetapi, keiginan untuk mengabdi membuatnya bertahan.

Sebab, bagi dia, tak semua harus dinilai dengan gaji semata. ”Saya dididik sejak dini untuk bermanfaat bagi sesama,” tegas alumnus Stikes Baubau itu.

Seperti Asrida, Jumarni mengandalk­an pemasukan dari membuka praktik di rumah. Berbekal kemampuan sebagai tenaga ahli madya kesehatan gigi. ”Saya membuka praktik membersihk­an karang gigi dan mencabut gigi,” ujar Jumarni.

Kondisi 10 tenaga honorer tanpa gaji itu sangat ironis jika dikomparas­ikan dengan kondisi fisik Puskesmas Kambowa. Puskesmas tersebut terhitung bagus untuk ukuran sarana kesehatan di tingkat kecamatan. Tiga bangunan yang berdiri di area tersebut difungsika­n untuk memberikan pelayanan kesehatan bagi warga yang sakit.

Tenaga medisnya cukup. Ada satu dokter plus puluhan pegawai negeri sipil dan ditambah tenaga honorer. Jika ditotal, 60 petu- gas bekerja di sana. Puskesmas tersebut juga melayani rawat inap bermodal empat ruangan kamar.

Meski nirgaji, tugas yang ditanggung 10 tenaga honorer itu sama beratnya dengan rekan-rekan mereka yang lain. Keterampil­an mereka dalam merawat pasien juga sama sekali tak kalah cekatannya dengan pegawai yang mendapat gaji bulanan. Bahkan, mereka sesekali harus berdinas malam demi merawat dan menjaga pasien yang dirawat inap agar segera pulih dari sakit.

Termasuk harus siap menghadapi berbagai kendala dalam memberikan pelayanan. Misalnya, saat meladeni pasien yang rewel.

Bayangkan, sudah tak digaji, mesti melewati medan yang berat menuju tempat kerja, dan di tempat kerja harus berhadapan dengan pasien yang bandel atau doyan uring-uringan.

Mereka rata-rata bermukim di kecamatan yang sama, hanya berbeda desa. Tapi, setiap hari perjalanan menantang harus mereka lakoni. Melintasi belantara, dengan medan tak ramah, jadi menu harian.

”Kami hanya berharap segera diangkat jadi honorer, dengan SK bupati yang jadi impian terdekat kami. Syukur-syukur bila suatu saat dipatenkan jadi aparatur sipil negara (ASN),” kata Jumarni.

Sementara itu, Bupati Kabupaten Buton Utara Abu Hasan tak menampik bahwa memang ada tenaga honorer yang tak mendapat gaji karena minimnya anggaran yang tersedia. ”Tenaga honorer yang mengajukan mendapatka­n SK bupati menumpuk. Kini tengah divalidasi dan disinkronk­an apakah mereka bisa diangkat menjadi tenaga honorer atau tidak. Pertimbang­annya kemampuan anggaran,” ujarnya.

Kendati demikian, mantan Karo Humas Pemprov Sultra itu tetap mengimbau agar kepala puskesmas memperhati­kan nasib tenaga honorer. Misalnya, melalui anggaran taktis untuk meringanka­n beban mereka.

Dia pun berjanji menyelesai­kan masalah tenaga honorer yang tak mendapat gaji. ”Mereka yang menjadi sukarelawa­n akan saya perhatikan. Semua data tenaga honorer tengah divalidasi berapa jumlahnya,” katanya.

Sebuah janji yang pasti sangat ditunggu realisasin­ya oleh Enci, Asrida, Jumarni, dan tujuh rekan mereka. Sekecil apa pun itu, mereka akan sangat bersyukur. (*/JPG/c5/ttg)

 ?? HADRIAN I. MAPPA/KENDARI POS /JPG ?? MENCINTAI PROFESI: Pelayanan kepada pasien di Puskesmas Kambowa, Kabupaten Buton Utara. Foto kanan, jalan berlumpur di Kambowa yang harus dilalui tenaga medis honorer menuju puskesmas setempat.
HADRIAN I. MAPPA/KENDARI POS /JPG MENCINTAI PROFESI: Pelayanan kepada pasien di Puskesmas Kambowa, Kabupaten Buton Utara. Foto kanan, jalan berlumpur di Kambowa yang harus dilalui tenaga medis honorer menuju puskesmas setempat.
 ?? HADRIAN I. MAPPA/KENDARI POS /JPG ??
HADRIAN I. MAPPA/KENDARI POS /JPG

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia