Mewaspadai Crowding Out Effect
PEMERINTAH baru saja merampungkan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBNP) 2017. Di satu sisi, ada sinyal optimisme yang dipancarkan pemerintah. Di tengah menyusutnya penerimaan perpajakan, pagu belanja pemerintah dirancang naik menjadi Rp 2.111 triliun dari pagu semula Rp 2.080 triliun.
Faktor eksternal, agaknya, membangkitkan optimisme pemerintah. Predikat layak investasi dari S&P serta perbaikan harga sejumlah komoditas ekspor unggulan menebalkan keyakinan pemerintah menaikkan target pertumbuhan PDB menjadi 5,2 persen untuk mengakhiri perlambatan ekonomi domestik selama tiga tahun terakhir.
Alhasil, optimisme pemerintah harus dibayar oleh pelebaran rasio defisit menjadi 2,92 persen atau 2,67 persen jika ada penghematan alamiah. Konsekuensinya, ada kebutuhan utang setidaknya Rp 433 triliun hingga 467 triliun dengan Rp 33 triliun hingga 67 triliun di antaranya adalah penambahan utang baru.
Di sisi lain, pemerintah harus menerbitkan surat utang negara (SUN). Pilihannya ada dua, yakni diedarkan di luar negeri atau di dalam negeri. Menerbitkan SUN ke luar negeri berisiko capital ouflow. Sensitivitas terhadap imbal hasil aset finansial sejenis di luar negeri cukup kuat untuk mendorong kembali kaburnya dana asing ke luar negeri.
Menutup defisit dengan meng- edarkan SUN di dalam negeri berpotensi meningkatkan tekanan kepada pasar keuangan domestik. Itu berarti pemerintah harus bersaing dengan sektor privat dalam memperoleh dana masyarakat. Sektor korporasi, misalnya, menjual saham untuk meraup dana guna ekspansi usahanya.
Tensi perebutan dana publik semakin kompleks dengan memasukkan perbankan. Perbankan menjembatani antara pemilik dana dan debitor yang membutuhkan dana. Salah satu debitornya adalah korporasi. Perbankan –yang juga berstatus sebagai korporasi– turut menerbitkan saham untuk memenuhi kebutuhan fungsi intermediasi jangka panjang.
Akibatnya, masing-masing issuer terpaksa menaikkan return (imbal hasil) sebagai daya tarik agar pemilik dana mau memegang issuancenya. Tidak pelak lagi, perang imbal hasil terjadi sebagai imbas dari penerbitan SUN. Kondisi tersebut dalam terminologi ekonomika disebut crowding out effect.
Fenomena crowding out effect demikian patut diwaspadai lantaran membawa implikasi pada perekonomian secara luas. Mengikuti pandangan ekonomi Klasik, suku bunga adalah harga investasi. Kenaikan suku bunga berakibat lang sung kepada pelemahan aktivitas penanaman modal. Pada akhirnya, pertumbuhan ekonomi akan terkoreksi.
Pandangan Klasik tersebut mem- berikan penegasan bahwa penerbitan SUN menimbulkan efek negatif bagi perekonomian. Atas dasar itu, mereka menganjurkan untuk menggunakan sumber pembiayaan yang berasal dari luar negeri guna menghindari gejolak suku bunga di pasar finansial domestik.
Masih dalam pemikiran mereka, utang luar negeri mengisyaratkan adanya aliran dana neto masuk ke perekonomian. Sementara itu, utang domestik dipandang sebatas hanya migrasi dana yang semula akan digunakan oleh sektor privat untuk investasi berpindah kepada investasi yang dilakukan pemerintah.
Asumsi Klasik bahwa perekonomian mengalami keterbatasan pasokan dana patut dicatat. Realitas yang terjadi tidaklah selalu demikian. Hal itu yang menjadi premis aliran pemikiran Keynesian dalam berkonfrontasi konsep dengan ekonom klasik. Alhasil, jika masih ada dana nganggur ( idle fund), eksistensi crowding out tidak bakalan ada.
Kendati demikian, dua mazhab besar tersebut sepakat bahwa penerbitan SUN niscaya memicu persaingan dalam menghimpun dana masyarakat. Tetapi, persaingan dalam pemahaman Keynesian justru memicu peningkatan kualitas investasi alih-alih penurunan kuantitas investasi sebagaimana pendapat Klasik.
Peningkatan kualitas investasi diklaim Keynesian mampu mempertahankan tingkat pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian, Keynesian tidak antipati terhadap SUN meski menyokong naiknya suku bunga perbankan. Penerbitan SUN diyakini memacu atmosfir kompetisi hingga mencapai level crowding in sebagai lawan dari crowding out.
Pilihan pemerintah mengedarkan SUN di pasar keuangan dalam negeri atau luar negeri pada akhirnya tetap harus dibayar beserta bunganya. Pada jalur lain, paham Ricardian berasumsi pelaku ekonomi sadar bahwa penerbitan SUN saat ini adalah isyarat terjadi kenaikan pajak pada masa mendatang guna membayar pokok dan bunga utang.
Asumsi rasionalitas membimbing pelaku ekonomi untuk sejak dini mengantisipasi hal itu. Aksi konkretnya ialah memelihara cadangan tabungan untuk berjaga-jaga ( precautionary) sedemikian rupa sehingga besaran nilainya nanti ( future value) sama dengan beban kenaikan pajak pada masa depan.
Akibat selanjutnya, tabungan (sebagai sumber dana investasi) tidak terganggu, volume investasi tetap konstan, dan pertumbuhan ekonomi tidak terpengaruh. Ringkasnya, penjualan SUN di pasar keuangan dalam negeri dan/atau luar negeri berefek netral bagi perekonomian nasional.
Kembali kepada persoalan pasar finansial di Indonesia, fenomena crowding out sejatinya hanyalah akibat dan bukan esensi persoalan yang sesungguhnya. Merujuk kepada debat konseptual antara paradigma Klasik, Keynesian, dan Ricardian, inti persoalan sesungguhnya terletak pada respons masyarakat.
Dalam respons itulah, kenaikan SUN bisa menjadi momentum untuk menstimulasi masyarakat agar terbiasa berinvestasi di obligasi negara. Selama ini masyarakat merasa nyaman menjadi investor pasif dalam bentuk simpanan di perbankan. Beragamnya jenis SUN menjadi wahana perubahan paradigma menjadi investor aktif.
Alhasil, pelaku pasar finansial domestik sedang berproses menuju titik ekuilibrium yang baru. Mekanisme pasar yang terkelola secara efisien (alih-alih bebas-liberal) akan menyediakan outcome berupa suku bunga dan kualitas dana yang optimal, baik bagi pemasok dana maupun bagi penggunanya. (*)
*) Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta, doktor ilmu ekonomi alumnus PPs-UGM Jogjakarta