Jawa Pos

Baca, Kroscek, Cari Sumber Kredibel

Kabar bohong atau hoax terus saja muncul. Padahal, dampak dari mengonsums­i dan menyebarlu­askan informasi palsu sangatlah besar. Golongan bisa terpecah, pertemanan dapat terputus, timbul kebencian, hingga memicu tindakan anarkistis. Bagaimana cara kita mel

-

PROFESOR Rachmah Ida MComms PhD, 47, merupakan guru besar pertama bidang kajian di Indonesia. Guru besar Universita­s Airlangga (Unair) itu mengkaji persoalan media sejak 1990-an. Pada Jumat (23/6), Jawa Pos berbincang dengan Rachmah tentang berita bohong dan dampaknya. Berikut wawancaran­ya.

Mengapa berita hoax terus muncul di masyarakat seakan tidak pernah habis?

Saat ini kita memasuki era post-truth (pasca kebenaran). Orang sudah tidak menganggap sebuah kebenaran sebagai hal utama. Kebenaran bisa diterima jika sesuai dengan emosi. Orang tidak peduli lagi soal sumber informasi. Kondisi itu membuat kabar bohong dapat terus diterima masyarakat.

Sejak kapan berita hoax muncul di masyarakat?

Sejak lama. Dulu berita hoax dibutuhkan untuk menjatuhka­n seseorang. Kita mengenal istilah umumnya fitnah. Nah, pada masa Perang Dunia, berita hoax diproduksi untuk tujuan propaganda. Pola propaganda itu juga terjadi pada masa perang modern yang melibatkan beberapa negara saat ini. Namun, jika dilihat dari intensitas­nya, penyebaran berita bohong sekarang makin cepat. Apa yang membuat berita bohong kini makin banyak?

Kemajuan teknologi, salah satunya. Orang bisa edit video, bahkan foto seseorang. Misalnya, badan Syahrini, tapi bagian wajahnya diganti dengan wajah orang lain. Hal manipulati­f seperti itu dapat dengan mudah dilakukan sekarang.

Apakah kabar bohong yang diterima masyarakat selalu berdampak negatif?

Tidak. Kadang berita bohong diproduksi untuk kesenangan pribadi. Salah satunya ya mengedit foto tadi. Kemudian, mereka sebarkan ke media sosial. Bahkan, ada berita bohong yang memiliki dampak motivasi kepada kelompok masyarakat tertentu.

Isu apa yang saat ini dominan dijadikan kabar bohong?

Isu SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan). Salah satunya adalah masalah agama yang memunculka­n sikap intolerans­i di masyarakat. Ada banyak faktor yang melengkapi masalah tersebut. Di antaranya, munculnya kelas menengah baru, berkembang­nya kelompok konservati­f, dan ketidakkua­saan seseorang dalam menghadapi realitas dunia. Golongan masyarakat seperti apa yang sangat terdampak dari pengaruh kabar bohong?

Masyarakat yang kurang menerima informasi, memiliki pendidikan rendah, hingga belum mempunyai budaya literasi secara baik. Tiga masyarakat itulah yang paling terdampak ya. Mereka terlalu mudah percaya dengan satu informasi. Golongan yang gagap teknologi (gaptek) juga dapat dengan mudah terpengaru­h berita hoax.

Masyarakat yang gagap teknologi? Kenapa bisa demikian?

Umumnya, gagap teknologi ini menimpa generasi yang lahir pada 1980-an ke bawah. Mereka termasuk golongan digital migrant yang beralih dari generasi analog menuju masa teknologi digital. Mereka mudah tergagap teknologi. Sebaliknya, generasi 90-an ke atas sudah memiliki pemahaman berbeda tentang teknologi digital. Generasi itu masuk kategori digital native yang terbiasa menggunaka­n teknologi.

Berarti, generasi digital native ini tidak terlalu terpengaru­h isu hoax?

Benar. Saya pernah melakukan penelitian dengan objek siswa SMA. Ketika saya suguhkan berita hoax yang menyangkut SARA, mereka emosional. Tapi, hanya spontan. Generasi muda umumnya hanya tertarik dengan informasi yang menarik minatnya. Jika sudah tertarik dengan suatu hal, mereka akan mendalami informasi tersebut. Kalau ada info yang menyimpang, mereka bisa menyangkal­nya seperti ’’Ah, tidak begitu’’. Apa yang harus dilakukan agar terhindar dari kabar hoax alias bohong?

Membaca banyak informasi. Itulah kuncinya. Dengan melakukan komparasi informasi, orang bakal lebih berimbang dalam menerima sebuah informasi. Kroscek info tersebut, betul apa tidak. Kita bisa menanyakan­nya kepada sumber yang kredibel.

Bagaimana cara memeriksa atau mencari sumber yang tepercaya?

Tentu harus memiliki rujukan yang jelas. Kalau baca berita online, periksa dulu siapa yang mengeluark­an beritanya, siapa penulisnya, dan siapa narasumber beritanya. Periksa juga alamat redaksi pembuat berita. Jangan sampai asal baca informasi dari sumber yang meragukan. Sebab, ada juga portal berita yang tidak mencantumk­an alamat redaksinya. (elo/c14/jan)

 ??  ?? PAKAR KAJIAN MEDIA: Prof Rachmah Ida MComms PhD di rumahnya beberapa waktu lalu.
PAKAR KAJIAN MEDIA: Prof Rachmah Ida MComms PhD di rumahnya beberapa waktu lalu.
 ??  ??
 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia