Angkat Isu Krisis Air
SURABAYA – Ketersediaan air di Pulau Jawa hampir mencapai titik kritis. Rasionya hanya 0,4 persen. Selain itu, Pulau Jawa, khususnya Surabaya, mulai sulit menampung air yang masuk. Sebab, marak pengalihan fungsi lahan dan pendangkalan tempat penampungan air seperti waduk.
Permasalahan air yang semakin genting itu menjadi salah satu pembahasan dalam Community and Technological (CommTECH) Camp 2017. Kegiatan tersebut diikuti 45 peserta dari 17 negara. Di antaranya Indonesia, Filipina, Thailand, Malaysia, Singapura, Australia, dan Kazakhstan. Lalu, ada Tiongkok, Belarus, Vietnam, Taiwan, Jerman, Rusia, dan Brunei Darussalam.
Kegiatan yang diselenggarakan International Office (IO) Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) itu berlangsung selama 14 hari. Salah satunya membahas solusi agar air yang masuk selama musim hujan dapat ditampung secara maksimal. Dengan demikian, tidak terjadi kekeringan pada musim kemarau.
Agar program lebih nyata, peserta akan diajak terjun langsung ke kampung-kampung dan pelosok Surabaya. Mereka akan melihat pengolahan air yang ada. Kemudian, didiskusikan solusi untuk menyelesaikan permasalahan air di Surabaya. ’’Salah satunya ialah kontrol jumlah air, baik pada musim penghujan maupun kemarau,’’ ujar Rektor ITS Prof Joni Hermana pada pembukaan CommTECH di Rektorat ITS kemarin (12/7).
Selain aspek kuantitas, penekanan aspek kualitas perlu dipertimbangkan. Untuk itu, pemantauan pengolahan air di Surabaya menjadi hal penting. Di Surabaya, saat ini jumlah SDM dari pemkot belum sebanding dengan kebutuhan pemantauan kualitas air.
Bukan hanya permasalahan air, CommTECH tahun ini juga membahas tentang smart city. Salah satu isu yang diangkat adalah rencana pembangunan trem dan monorel. Hal tersebut dihubungkan dengan kondisi saat ini yang banyak online transportation. Bagaimana keduanya dapat tetap berjalan tanpa saling menghambat. ’’Pemikiran anak-anak dari berbagai negara ini nanti jadi solusi untuk masalah perkotaan kita,’’ tuturnya. (ant/lif/c19/oni)