Rancak Bunyi Alunan Gong Kebyar
Jarak Bali masih ratusan kilometer dari Surabaya. Namun, suasana magis dan daya tarik budaya Pulau Dewata itu terasa hingga ke sini. Tepatnya di Pura Agung Jagat Karana yang terletak di Jalan Lumba-Lumba Nomor 1.
SUARA gamelan gong kebyar mulai terdengar pukul 19.00 di Pura Agung Jagat Karana. Perpaduan macam-macam alat musik tradisional khas Bali tersebut menghasilkan suara rancak. Sejenak, pikiran terbawa, merasa seperti sedang berada di Pulau Dewata. Padahal, kaki masih berdiri di Kota Pahlawan.
Nada semakin banter saat masuk ke pura di kawasan Surabaya Utara itu. Sumber suara tersebut berasal dari bagian Madya Mandala. Malam itu (7/7) ada 18 pemain musik gamelan gong kebyar. Irama yang mereka mainkan mengiringi lenggaklenggok tujuh penari Bali. Itu adalah kegiatan yang dapat ditemukan di Pura Agung Jagat Karana setiap akhir pekan. Mulai Jumat malam hingga Minggu.
Penari-penari jegeg tersebut menggunakan kebaya Bali. Lengkap dengan selendang yang melingkar di pinggul. ”Kalau ada event, latihannya lebih sering lagi,” ungkap Lintang Ni, penari yang berlatih malam itu. Lintang suka menari sejak kecil. ”Sering ikut event, di pure maupun di luar pure,” tambah perempuan 18 tahun tersebut dengan logat Bali.
Lintang lahir di Surabaya. Namun, sebagian besar keluarganya berasal dari Bali. Jadi, logatnya masih kental. ”Ini sudah sedikit bercampur dengan Surabaya, ya,” ucap mahasiswa Universitas Negeri Surabaya (Unesa) itu.
Selain Lintang, enam penari lainnya adalah Dewa Ayu, Ni Putu, Ni Komang Ayu, Putri Novi, Ni Made Charmenitha, dan Nyoman Sathya Wardani. Mereka adalah anggota Sanggar Ekanta Swavita Budaya, sanggar tari dalam pura. Mereka berlatih hingga pukul 22.00. Rutinitas tersebut sudah menjadi kegiatan yang menyenangkan bagi mereka. Sanggar tari di sana punya 15 penari tetap. ”Setelah berlatih, biasanya kami makan samasama,” cerita Ni Komang Ayu.
Anak Agung Raditya menjelaskan, sanggar tari itu dibentuk pada 2005. Kepala Tari Sanggar Ekanta Swavita Budaya tersebut menyatakan, umat pura bebas mengikuti tari di sanggar itu. ”Ada yang rutin, ada juga yang tidak,” katanya. Hanya penari tetap yang sering mengikuti event di luar pura.
Menurut dia, menari Bali telah menjadi budaya yang turuntemurun. Orang tua mengajari anaknya. Seterusnya seperti itu. Mereka dapat mengasah kemampuan dengan ikut sanggar tari. Hanya, lanjut dia, tidak semuanya mendalami tari Bali dengan baik. ”Mungkin kalau di Bali, banyak ditemukan penari Bali. Kalau di luar Bali, ya memang sedikit,” tutur pria 46 tahun tersebut.
Agung merupakan penari senior di sanggar itu. Dia sering tampil di nasional. Berbagai macam tarian sudah dia kuasai dengan baik. ” Tari yang dipelajari di sini banyak. Kami sesuaikan dengan yang sedang berlangsung,” lanjutnya.
Dia mencontohkan pada acara keagamaan. Perayaan Nyepi, misalnya. Beberapa tarian yang dipertunjukan, antara lain, tari baris gede, tari rejang dewa, dan tari topeng sidakarya.
”Mungkin ini di sini bisa dikatakan sanggar tari Bali terbesar di Surabaya,” jelas pria asal Gianyar, Bali, tersebut. Agung adalah penari pria satu-satunya di sanggar itu. (bri/c16/jan) PALING SUCI: Sejumlah umat menuju pintu keluar Utama Mandala setelah sembahyang di dalam Pura Agung Jagat Karana Sabtu siang (8/7).