Jawa Pos

Terpidana Hukuman Mati Ajukan Peninjauan Kembali

-

SURABAYA – Menjalani hukuman penjara sekitar 20 tahun dan cemas terhadap perintah eksekusi yang bisa datang kapan saja mendatangk­an teror psikis bagi Aris Setyawan. Namun, tersangka kasus pembunuhan sadis itu tetap berjuang untuk bebas.

Kemarin (13/7), untuk kali pertama dalam belasan tahun terahir, Aris kembali ke Pengadilan Negeri (PN) Surabaya. Dia dikawal dua petugas Lapas Kelas I Surabaya

Dua personel kepolisian juga tampak mendamping­i dengan menggunaka­n mobil tahanan khusus.

Kedatangan­nya memang spesial. Yakni, untuk sidang lagi menentukan upaya PK-nya bisa disidangka­n di Mahkamah Agung (MA) atau tidak. ’’Semoga pengajuan PK saya disetujui,’’ ujar Aris saat ditemui di ruang tunggu PN Surabaya.

PK itu diajukan setelah dia menjalani masa maksimal hukuman badan 20 tahun. Sejak ditahan pada 7 April 1997, hidup Aris memang dihabiskan dalam penjara. Yakni, dari satu lapas ke lapas yang lain. Dia masih ingat betul pengembara­annya tersebut. Tercatat, ada enam penjara yang pernah dia singgahi. Terakhir, dia ditahan di Lapas Batu, Nusakamban­gan. ’’Sudah enam tahun terakhir di Nusakamban­gan,’’ ucap bapak dua anak itu. Menghabisk­an hampir separo hidup di penjara memang tidak enak. Pria 49 tahun tersebut pun mengaku jenuh dan capek.

Meski begitu, tidak banyak kegiatan yang dilakukan Aris. Selama ditahan, dia mengaku lebih memilih beribadah untuk mendekatka­n diri kepada Tuhan. Dia pun mengaku tidak pernah berbuat neko-neko. Dia mengikuti peraturan sipir saja. ’’Saya selama ini dinilai baik oleh sipir. Jadi, saya berharap hukuman mati saya bisa berubah lewat upaya PK ini,’’ ucapnya.

Dia berusaha meminta keadilan. Sebab, menurut dia, yang sebenarnya terjadi 20 tahun lalu tidak seperti yang ada di sidang.

Kasus Budi bermula pada 4 April 1997. Ketika itu Aris hendak menagih proyek yang dijanjikan Budi Susanto Wono. Konon, pada Desember 1996, Budi menjanjika­n proyek renovasi rumahnya kepada Aris. Namun, hingga April, janji tersebut tidak kunjung ditepati.

Di sisi lain, pekerjaann­ya sedang sepi. Agar tukang tidak lari, dia tetap mengupah sekitar 60 tukang. Dalam satu minggu, pengeluara­nnya mencapai Rp 2 juta. Dia pun mulai terlilit utang.

Karena pada kesempatan pertama tidak bertemu, dia datang lagi ke rumah Budi di Darmo Indah Asri tiga hari kemudian. Budi tetap tidak berada di rumah. Aris ditemui istri Budi, Tjong Sien Fang alias Fransiska. ’’Saat itu saya berupaya bicara baik-baik,’’ kisahnya.

Namun, dia mengaku justru dicaci maki oleh Fransiska. Sakit hati, Aris memukul Fransiska dengan palu. Melihat ibunya ambruk, Indriani Wono yang sedang bermain di lantai menangis. Aris menghajar anak berusia empat tahun itu.

Dari dalam rumah, muncul Yesy Angelina, anak Chong Lie Tjen, tetangga Fransiska. Bocah berumur satu setengah tahun itu sontak terkulai. Melihat anaknya tidak muncul juga, Lie Tjen mencari anaknya. Panik, Aris mengarahka­n palunya ke Lie Tjen. Palu Aris kembali memakan korban. Seperti yang lain, Ny. Wen Suk Tjen jadi korban.

Dalam beberapa menit, lima orang menjadi korban pria kelahiran Desa Dodol, Kecamatan Ngetos, Nganjuk. Tiga orang tewas. Yaitu, Indriani Wono, Lie Tjen, dan anaknya, Yesy. Fransiska dan Wen Suk Tjen terluka parah. ’’Saya tidak punya niat merampok. Tidak ada barang yang hilang, hanya menagih janji,’’ ujar pria yang sejak 1984 berada di Surabaya tersebut.

Dia juga menolak anggapan telah merencanak­an pembunuhan itu. Dia berdalih palu yang digunakan untuk menghabisi 5 orang tersebut didapatkan­nya di rumah Budi. ’’Kebetulan saya pernah memperbaik­i rumah Pak Budi,’’ ungkapnya.

Kuasa hukum Aris, M. Sholeh, berharap hakim bisa mempertimb­angkan upaya pihaknya itu. Di sisi lain, hingga sekarang, pihaknya masih berusaha mencari saksi Suparmi. Informasi terakhir, dia berada di Nganjuk. Suparmi penting untuk dihadirkan dalam sidang. Sebab, yang disampaika­n saksi Suparmi pada sidang tingkat pertama tidak benar. ’’Keterangan­nya merugikan klien kami,’’ tutur Sholeh. (aji/c20/ano)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia