Jawa Pos

KARENA ENAM E-MAIL DICUEKI

-

Pemerintah memiliki banyak bukti bahwa Telegram dimanfaatk­an jaringan teror. Namun, pemblokira­n yang mendadak membuat publik khawatir.

TELEGRAM diblokir sejak Jumat (14/7). Sebagai salah satu aplikasi yang tengah naik daun, Telegram memiliki sangat banyak pengguna

Kebiasaan dan aktivitas penggunany­a akan terganggu dengan pemblokira­n yang mendadak tersebut.

Ketua MPR Zulkifli Hasan menilai langkah Kemenkomin­fo itu kurang tepat. Jika ada yang salah dengan aplikasi tersebut, seharusnya pemerintah menindakny­a. Bukan dengan pemblokira­n, tapi cara lain.

”Zaman sekarang sudah begitu maju sehingga pemerintah tidak bisa main blokir saja,” ucap dia saat menghadiri acara halalbihal­al di kantor DPP PKS kemarin (16/7).

Politikus asal Lampung itu memaparkan, media sosial di Indonesia memiliki cukup banyak penggemar. Selain Telegram, Facebook, Instagram, dan media lain juga mempunyai pengikut sendiri. Jadi, tidak bisa pemerintah langsung menutupnya.

Zulkifli menerangka­n, sangat tidak tepat jika pemerintah menggunaka­n cara-cara otoriter dalam menyelesai­kan persoalan yang timbul di masyarakat. Harus ada langkah bijak untuk menuntaska­n masalah tersebut. Cara otoriter tidak tepat untuk diterapkan pada era demokrasi seperti sekarang.

Untuk menjawab tudingan miring itu, Kemenkomin­fo menegas- kan bahwa pemblokira­n Telegram bukan sesuatu yang mendadak. Plt Kepala Biro Humas Kemenkomin­fo Noor Iza mengatakan, peringatan kepada Telegram sudah dibe rikan sejak lama. Yang paling awal disampaika­n pada Maret 2016.

”Kominfo tercatat telah mengirimka­n notifikasi request melalui e-mail sejumlah enam kali. Yaitu pada 29 Maret 2016, 20 Mei 2016, 8 Juni 2016, 5 Oktober 2016, 8 Januari 2017, dan 11 Juli 2017. E-mail yang dikirimkan kepada Telegram juga tidak dibalas,” jelas Noor Iza kepada Jawa Pos kemarin (16/7).

Surat-surat itu dikirimkan karena sejak lama kementeria­n yang dipimpin Rudiantara tersebut mendapati bahwa Telegram berisi konten propaganda, radikalism­e, dan terorisme. Mulai cara buat bom, ajakan untuk masuk ISIS, hingga seruan-seruan untuk melakukan aksi teror.

Berdasar data kepolisian, setidaknya ada tiga kasus aksi teror terbesar yang dirancang dengan Telegram. Yakni teror Thamrin, aksi bom Terminal Kampung Melayu, dan yang paling baru teror penusukan di Masjid Falatehan.

”Ada 500 hingga 700 halaman bukti. Puncaknya akhir-akhir ini, makin banyak. Kan tidak bisa menunggu jadi lebih banyak lagi. Sudah cukup,” ujar Rudiantara Sabtu lalu (15/7).

Rudiantara menambahka­n, berdasar data statistik Kemenkomin­fo, sepanjang 2016–2017 hanya sekitar 50 persen permintaan penghapusa­n konten radikal yang dipenuhi. Dia menyebutka­n bahwa angka tersebut terlalu rendah. ”Kalau 90 persen, make sense lah. Karena mereka mengatakan, kan kebanyakan di AS, jadi harus lewat pengadilan dulu,” ujar mantan komisaris independen di PT Telekomuni­kasi Indonesia itu.

Pada 14 Juli lalu pukul 11.00, Kemenkomin­fo mengirimka­n permintaan kepada para penyelengg­ara jasa akses internet untuk menutup akses layanan Telegram channels. Setidaknya ada sebelas domain name system (DNS) Telegram yang tak bisa diakses.

Penutupan itu sekaligus menjadi peringatan bagi penyedia konten digital lain, termasuk media social, untuk memperbaik­i sistem pelayanan keamanan. Rudi bahkan sudah memperinga­tkan Facebook dengan mengirimka­n seorang pejabat ke kantor Facebook pada Juni lalu. Peringatan serupa untuk perbaikan sistem keamanan diserukan kepada penyedia layanan YouTube dan Twitter.

Atas pemblokira­n itu, kemarin (16/7) CEO Telegram Pavel Durov memberikan jawaban kepada pemerintah Indonesia. Dia mengaku kecewa dan baru menyadari bahwa ternyata Kemenkomin­fo sudah beberapa kali mengirim e-mail kepada Telegram terkait dengan konten radikalism­e.

Untuk menyelesai­kan masalah itu, Durov menuturkan sudah melakukan tiga hal. Yakni menutup channel yang berkaitan dengan teroris seperti permintaan Kemenkomin­fo, membalas e-mail Menkominfo terkait dengan langkah yang lebih efektif untuk memblokir propaganda teroris, serta menyatakan bahwa pihaknya sedang membuat tim moderator yang memiliki pengetahua­n tentang bahasa dan kultur Indonesia.

”Saat ini kami sedang membuat tim moderator yang memiliki pengetahua­n tentang bahasa dan budaya Indonesia untuk bisa memproses laporan yang terkait dengan terorisme secara lebih cepat dan akurat,” papar Durov. (and/jun/wan/c11/ang)

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia