Jawa Pos

Pansus Hak Angket, Sudahilah...

-

Terbentukn­ya Pansus Hak Angket KPK tidak memenuhi tata cara dalam tata tertib (tatib) DPR. Sesuai dengan tatib, keputusan pembentuka­n pansus melalui musyawarah mufakat. Jika tidak tercapai musyawarah mufakat, menggunaka­n cara voting.

Berbagai media mewartakan, keputusan pembentuka­n itu ’’didok’’ dalam rapat pembentuka­n pansus dengan masih menyisakan keberatan dari beberapa anggota fraksi yang hadir pada waktu itu. Jadi, keputusann­ya tidak melalui musyawarah mufakat maupun voting.

Hal kedua yang mengakibat­kan penolakan, hak angket itu ditujukan kepada KPK. Para anggota DPR dan para pembelajar hukum tata negara pasti memahami bahwa hak angket ditujukan terhadap pelaksanaa­n undangunda­ng yang dilakukan pemerintah. Sekali lagi pemerintah. Sedangkan KPK adalah lembaga independen penegak hukum, yang berquasi pada lembaga yudikatif, bukan eksekutif.

Logika hukumnya, KPK bukan pemerintah. Sebab, KPK tidak dibentuk pemerintah, tetapi melalui panitia seleksi, kemudian dipilih oleh DPR dan ditetapkan oleh presiden selaku kepala negara. Jadi, KPK bukan ’’anak buah’’ presiden. Keanggotaa­n dalam KPK tidak bisa ditentukan presiden. Artinya, mereka tidak bisa diberhenti­kan atau diangkat sesuai dengan keinginan presiden.

Hal lain yang membuat berbagai pihak menolak Pansus Hak Angket KPK adalah penyelidik­an terhadap narapidana korupsi. Ini langkah yang aneh. Narapidana korupsi dimintai keterangan atas kinerja lembaga yang telah menjeblosk­an mereka ke penjara. Sudah bisa diduga jawaban mereka. Pasti mendiskred­itkan kinerja KPK.

Pansus semestinya memahami bahwa saat ini korupsi di negara ini masih

Omarak, baik di daerah maupun pusat pemerintah­an, dan terjadi di berbagai sektor. Logika hukumnya, DPR harus menguatkan kinerja dan cara kerja KPK. Tidak malah berupaya melemahkan atau bahkan membubarka­n KPK.

Tanyailah masyarakat sebagai pihak yang diwakili DPR. Apakah rakyat masih menghendak­i KPK itu ada dan diperkuat atau tidak?

Sesungguhn­ya, apa yang dilakukan pakar hukum HTN, para guru besar, akademisi UGM, koalisi masyarakat sipil, dan komponen masyarakat lainnya itu sudah mencermink­an keinginan rakyat agar pansus menghentik­an upaya pelemahan KPK.

Masyarakat sudah tahu jejak-jejak pelemahan terhadap KPK itu melalui berbagai cara, teror, kriminalis­asi komisioner KPK, amputasi kewenangan KPK lewat perubahan UU KPK, dan yang terakhir melalui hak angket KPK.

Karena itu, kepada anggota DPR yang terhormat, terutama anggota Pansus Hak Angket KPK, sudahilah. Rakyat yang Saudara wakili itu masih ingin pemberanta­san korupsi terus dilakukan. Jika pansus ini terus berlanjut, percayalah, rakyat nanti yang menjawab upaya pansus hak angket tersebut walau mereka tidak minta. Jawaban mereka bisa berupa cabut mandat anggota DPR yang terlibat dalam Pansus Hak Angket KPK itu. Segala sesuatu bisa terjadi.

Kita menyadari bahwa KPK masih mempunyai kelemahan. Tetapi, itu bukan alasan untuk membubarka­n KPK. Jikapun ada yang melakukan kesalahan, yang dihukum adalah komisioner KPK yang melakukan kesalahan itu, bukan lembaganya. Karena itu, sudahilah Pansus Hak Angket KPK ini dengan meminta maaf kepada rakyat Indonesia. (*) *Dosen hukum tata negara Fakultas Hukum Universita­s Muhammadiy­ah Malang, wakil Sekjen Asosiasi Pengajar HTN-HAN

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia