Berharap Presiden Menguatkan KPK
PADA 23 Mei 2000, pernah dibentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) yang diketuai mantan Ketua Muda Mahkamah Agung (MA) Adi Andojo Soetjipto. Tim ini diberi mandat untuk menangani korupsi yang sulit pembuktiannya.
Saat tim lagi bersemangat menjalankan tugas eliminasi korupsi dengan mengajukan beberapa hakim agung ke pengadilan, tim ini justru dibubarkan melalui sebuah judicial review Mahkamah Agung (MA).
Fakta di atas itulah yang kini menghantui KPK. Kalau ada kelemahan yang dilakukan KPK, harus diakui itu pasti ada. KPK juga kumpulan manusia biasa.
Seperti kita tahu, KPK pernah menahan besan Presiden Ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). KPK juga kini sedang memeriksa adik ipar Presiden Jokowi terkait kasus suap pengurusan masalah pajak PT EKP. Kalau ada yang mengatakan KPK bekerja berdasar kepentingan politik tertentu, sebenarnya yang lebih tepat adalah KPK bekerja di bawah tekanan politik. Termasuk soal hak angket DPR yang ditujukan kepadanya hari-hari ini. Kenapa demikian? Sudah jelas bahwa desakan angket terhadap KPK tidak lain sebagai respons politik DPR terhadap indikasi terlibatnya beberapa politikus besar Senayan dalam kasus suap e-KTP, sebagaimana ditengarai ketua KPK beberapa waktu lalu.
Segala cara, termasuk meminta pendapat terhadap pakar-pakar hukum yang terkesan memiliki ’’sentimen’’ terhadap KPK, dilakukan DPR untuk memperkuat legitimasi penembakan angket pada KPK. Ada yang mengatakan bahwa kedudukan KPK masuk dalam lembaga eksekutif sehingga pansus sah memberi angket buat KPK. Otokritik Lagi pula, politisi Senayan terlalu opresif terhadap KPK tanpa melakukan otokritik terhadap kinerjanya sendiri yang masih minim di mata rakyat. Tak usah jauhjauh, patokannya bisa diukur dari penyelesaian Prolegnas Prioritas DPR. Di antara 37 RUU Prolegnas Prioritas pada 2015 yang dibuat DPR, yang selesai hanya 3. Begitu pula, di antara 50 RUU Prolegnas prioritas di 2016, yang selesai hanya 9. Itu belum lagi potret politik transaksional dan korup yang dilakukan DPR yang tidak pernah berubah dari tahun ke tahun. Pernah anggota parlemen periode 1999–2004 dicatat sejarah sebagai anggota parlemen yang terkorup di Indonesia. Pada periode tersebut, parlemen seakan memiliki hak untuk mengatur sendiri pendapatan mereka sehingga panen koruptor terbanyak ada pada anggota parlemen periode tersebut ( Surga Para Koruptor, 2004). Di periode 2014–2019, tabiat korup tersebut malah menjadi-jadi. Justru pada periode inilah, DPR paling getol melawan KPK.
Kita berharap presiden mampu membeton (memperkukuh) eksistensi KPK dengan mengambil sikap jelas dan tegas terhadap kondisi tersebut. Jangan biarkan situasi politik nasional menjadi inkondusif. Presiden bisa menyerukan kepada DPR untuk memberhentikan kerja Pansus Angket KPK, termasuk menyerukan kepada koalisi partai pendukung pemerintah yang mendukung angket untuk menarik diri dari proses angket di Senayan.
Rakyat ingin pemerintah mengambil sikap konkret, bukan normatif, terhadap segala bentuk niat pelemahan pemberantasan korupsi jika tak ingin korupsi menenggelamkan kapal negeri ini. (*) *) Dosen FISIP Undana, Kupang