Jawa Pos

Demokrasi di Simpang Jalan

-

ISU ormas dan Telegram riuh rendah sepanjang pekan lalu. Pro-kontra bersahutan, tak hanya di dunia maya, tapi juga di dunia nyata.

Langkah pemerintah­an Presiden Jokowi mengeluark­an Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Ormas memang kontrovers­ial.

Pemerintah menilai UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas terlalu berbelit untuk urusan membubarka­n ormas. Maka, perppu dikeluarka­n sebagai jalan pintas.

Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) adalah target yang dibidik. Ormas yang sering menyuaraka­n khilafah itu dinilai menjadi ancaman NKRI dan demokrasi.

Tapi, semua juga tahu perppu tersebut bisa menyasar ormas lain. Apalagi, dengan perppu itu, eksekutif menggengga­m kuasa membubarka­n ormas dan menghukum pimpinan maupun anggotanya tanpa proses di yudikatif.

Kekhawatir­an pun merebak. Bisa saja perppu tersebut disalahgun­akan sebagai senjata untuk memberangu­s ormas yang kritis terhadap pemerintah. Apalagi, sebagian publik menganggap isu kriminalis­asi terhadap orang atau kelompok tertentu benar-benar terjadi. Pemerintah mesti paham dengan situasi itu.

Belum reda isu Perppu Ormas, pemerintah kembali membuat kontrovers­i dengan memblokir layanan komunikasi Telegram. Alasannya, banyak digunakan kelompok simpatisan ISIS untuk merekrut dan menyebarka­n paham radikalism­e yang bertentang­an dengan demokrasi dan mengancam NKRI. Tentu, tak semua sependapat. Sebab, Telegram juga terbukti digunakan banyak orang untuk hal-hal positif.

Di tengah upaya menggenjot pertumbuha­n ekonomi dan memperbaik­i iklim investasi, pemerintah semestinya tak gampang mengambil kebijakan yang memantik kontrovers­i dan bakal menguras energi. Yang lebih penting, jangan sampai niat pemerintah mempertaha­nkan demokrasi justru dilakukan dengan cara-cara yang mengancam demokrasi. (*)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia